Gina sudah mengemas barang-barangnya dan juga barang-barang ibunya. Gadis yang pagi itu mengenakan kemeja warna kuning dipadu celana jeans sudah tidak sabar untuk segera pulang. Ia ingin tidur sepuasnya di kamarnya. Kamar yang beberapa saat lalu tidak bisa ia tempati."Dewa nanti ke sini jam berapa, Gin?" tanya Bu Santi yang juga sudah tidak sabar untuk pulang. Lima hari dirawat di rumah sakit, membuat wanita itu ingin segera melihat penampakan rumahnya."Kemarin bilangnya jam istirahat, Bu.""Udah kamu hubungi lagi?""Belum. Nanti aja. Enggak enak kalau terlalu sering menghubungi dia, Bu. Mas Dewa kan, pasti lagi kerja.""Iya juga, ya. Ya udah, kita tunggu aja."Waktu terasa berjalan lambat bagi Gina dan Bu Santi. Entah berapa kali mereka melihat jarum jam. Meski kamar rawat Bu Santi cukup mewah, nyatanya mereka tetap lebih nyaman berada di dalam rumah."Nanti kalau sebelum ke rumah kita besuk Masmu dulu gimana, Gin?" tanya Bu Santi. Sekitar satu minggu tidak melihat Gibran ia merasa
Gina langsung mengambil kertas yang disodorkan oleh petugas. Lalu membaca daftar pengeluaran selama ibunya dirawat. Begitu sampai bagian paling bawah, Gina tertegun, bumi seperti berhenti berputar melihat angka yang tertera. Lututnya lemas dan tenaganya menguap. Kertas yang ia pegang itu sampai lepas dari genggaman."Lima hari dirawat biayanya hampir menyentuh angka empat puluh juta?" gumam Gina tak percaya. Ia baru sadar kalau ibunya memang dirawat di rumah sakit swasta yang terkenal dengan fasilitas dan biayanya yang juga fantastis."Apa karena ini Mas Dewa enggak datang?" batin Gina. "Padahal Mas Dewa udah janji mau beresin semua biaya rumah sakit ini. Terus aku harus gimana?"Jika tidak berpegangan, tentu saat ini tubuh Gina sudah ambruk. Gina melihat kalung dan cincin dalam genggaman. "Untuk bayar separonya aja enggak akan cukup," batin Gina. "Astaga, aku harus gimana?"Dengan langkah gontai, akhirnya Gina kembali ke kamar ibunya. Bahkan saat melangkah Gina merasa kalau telapak k
Gina tergugu sembari memungut kotak perhiasan ibunya yang telah terbuka dan berserak di lantai. Dipeluknya kotak perhiasan yang telah kosong itu. Hati Gina benar-benar hancur lebur. Satu-satunya harapan untuk bisa membayar biaya rumah sakit ibunya telah raib. "Ibu .... Tega sekali orang yang mengambil perhiasan ibu .... Kita harus gimana, Bu? Kita harus gimana sekarang?" Gina menangis meraung-raung. Rasanya ia sudah sangat putus asa. Ternyata seberat ini bertanggung jawab atas dirinya sendiri tanpa bantuan dari Dewi.Dulu hidup mereka baik-baik saja saat masih ada ayah Gina. Lalu ayahnya sakit dan meninggal. Nyaris semua harta yang mereka punya habis untuk biaya berobat sang ayah. Tak lama setelah itu Gibran menikah dengan Dewi dan kondisi ekonomi mereka kembali membaik. Lalu sekarang ...."Kenapa harus begini? Kenapa jadi kayak gini?" Gina menangis tanpa memedulikan apapun. Ia tidak peduli jika para tetangga mendengar tangisannya karena memang saat ini yang ia bisa hanya menangis."
Tak berselang lama, Gina tiba di ruangan Dewi. Matanya bengkak dan pipinya sembab. Baru berjalan tiga langkah dari pintu, Gina langsung bersimpuh sembari menangis tersedu-sedu."Loh, Gin, kamu kenapa?" tanya Dewi yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Gina. "Ayo, bangun! Kamu ngapain kayak gini?"Gina menggeleng. Ia bersikeras untuk tetap bersimpuh di depan Dewi meski Dewi justru ikut bersimpuh di depan adik iparnya itu."Kamu cerita, ada apa?" tanya Dewi tidak tega melihat Gina menangis seperti itu. Meski Gina ikut serta menghancurkan hati Dewi, nyatanya Dewi tidak tega melihat Gina dalam kondisi begitu."Ibu, Mbak .... Ibu ...." Gina masih sangat sulit untuk berbicara. Dadanya masih terlalu sesak.Pikiran Dewi jadi kemana-mana. Ia justru berpikir kalau Bu Santi meninggal. "Ibu kamu kenapa, Gin?" tanya Dewi sembari mengguncang bahu Gina.Namun, Gina masih menangis meraung-raung. Untungnya ruangan Dewi kedap suara. Jadi, raungan Gina tidak terdengar sampai luar dan tidak mengg
"Aku serius, Mas. Mana mungkin aku bercanda untuk hal-hal seperti ini. Aku bukan kamu yang istilah jawanya pagi tempe sore kedelai!" tegas Dewi."Enggak, Wi! Aku enggak mau gugat cerai kamu! Aku enggak mau kita cerai!" Gibran tak kalah tegas."Jadi, kamu enggak mau aku bantuin ibu kamu keluar dari rumah sakit?"Gibran gamang. Namun, ia benar-benar tidak mau bercerai dengan Dewi. Sungguh, hal yang paling ia sesali adalah perkataannya malam itu saat mengajak Dewi bercerai. Entah berapa kali dalam sehari, Gibran berharap bisa mengulang saat itu dan menghapus perkataannya saat mengajak Dewi bercerai."Baik, kalau kamu enggak mau aku bayar biaya rumah sakit ibu." Dewi menarik kertas berisi perjanjian itu dari tangan Gibran."Wi ...." Gibran menatap dengan berat kertas yang ditarik oleh Dewi."Kenapa? Kamu setuju?"Gibran menggeleng lemah. "Aku enggak mau kita cerai.""Enggak mau aku bantu?"Gibran bingung hendak mengangguk atau menggeleng. Keduanya sama pentingnya untuk Gibran. Ibu dan ist
"Wi, kamu serius!?" tanya Wina sampai meletakkan sendoknya di piring. "Serius," jawab Dewi santai. Ia masih menikmati makan siangnya di kantin kantor.Sementara Wina sangat terkejut mendengar cerita Dewi kalau semalam Dewi yang melunasi tagihan rumah sakit Bu Santi. Wina sampai kehilangan selera makannya. "Kamu bukan manusia?""Ish!" Dewi mencebik."Ya habisnya .... Aduh, aku sampai bingung mau ngomong apa, Wi!" Wina mengangkat kedua tangannya dengan bola mata membulat sempurna. "Mereka .... Iya mereka ... udah jahatin kamu sedemikian rupa loh, Wi. Terus kamu masih mau nolong mereka!?"Dewi cuek saja dengan Wina yang masih menggebu-gebu. Ia santai menikmati ayam goreng beserta sambalnya. "Demi rasa kemanusiaan aja, Win. Enggak usah dibesar-besarin, deh!""Tetap enggak bisa, Wi. Otakku enggak bisa mencerna.""Gini, nih. Misal kamu ada di situasi dimana orang yang udah jahat banget sama kamu, butuh bantuan kamu dan cuma kamu satu-satunya orang yang bisa nolong. Cuma kamu, enggak ada la
Asih yang kondisinya masih sangat lemah hanya bisa menangis sembari mengangkat tangannya ingin meraih Rindu. Hanya saja Rindu pun tak berdaya. Mereka berdua hanya bisa menangis tanpa bisa melawan."Aku enggak lama, Ma! Mama enggak usah khawatir!" seru Rindu sembari dituntun polisi untuk keluar dari kamar rawat mamanya.Begitu diintrogasi di kantor polisi, meski berusaha mengelak, Rindu akhirnya mengakui kalau memang dirinya yang mencuri perhiasan itu. Motifnya mencuri karena sudah tidak punya uang sementara mamanya sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Jadi, terpaksa Rindu melakukannya. Terlebih menurut Rindu, perhiasan itu sebenarnya dulu pernah Bu Santi berikan kepadanya. Hanya saja Gibran tidak mengizinkan karena perhiasan itu pemberian Dewi.Karena bukti sudah cukup dan Rindu sudah mengakui perbuatannya, maka siang itu Rindu harus ditahan. Meski Rindu terus memberontak karena mamanya di rumah sakit sendirian. Namun, polisi tidak peduli. Rindu terus menangis berharap agar polisi
"Jahat kamu, Mas!" tuduh Rindu sembari terisak-isak. "Tega sekali kamu ngomong seperti itu sama aku! Kamu bilang sendiri kalau kamu cinta sama aku, kamu nyaman sama aku, tapi sekarang? Aku cuma ambil perhiasan yang seharusnya jadi milikku, Mas! Ibu udah kasih perhiasan itu ke aku! Terlepas perhiasan itu pemberian Dewi atau siapapun. Kenapa kamu enggak suka kalau ibu kamu kasih itu ke aku? Sampai kamu bilang aku seorang penipu! Tega kamu, Mas ...."Gibran membuang muka. Sebenarnya ia pun tidak tega berbuat sejauh ini pada Rindu. Karena bagaimanapun Rindu juga masih istrinya dan bahkan tengah mengandung buah hatinya. Namun, untuk saat ini Gibran harus mengambil sikap demi ibunya. Seandainya Rindu tidak selancang itu mengambil perhiasan yang seharusnya digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit ibunya, tentu ia tidak akan sampai hati melakukan ini.Rindu masih terus menangis memohon belas kasihan Gibran. "Apa kamu enggak kasihan sama anak kita, Mas? Dia masih di dalam kandungan, tapi h