Share

Lautan Sesal

Dewi menatap wajah ibunya yang sedang terlelap. Wajah tua yang tampak damai meski gurat-gurat lelah bekas perjuangan untuk bertahan hidup membesarkan seorang putri seorang diri masih tergambar jelas di sana. Namun, Dewi tak melihat penderitaan pada garis wajah itu. Yang Dewi lihat justru wajah ibunya tampak tenang dan bahagia. Garis senyum terukir indah seperti hati pemiliknya.

"Apa sedamai itu, Bu?" bisik Dewi. "Melepas laki-laki bergelar suami yang tega mengkhianati? Dewi lihat, Ibu enggak menyesal sama sekali, walaupun ibu harus menempuh jalan yang enggak mudah untuk tetap berdiri."

Dewi menghela napas panjang lalu mengambil jemari ibunya dan menciumnya dengan hati-hati. Cukup lama. Kemudian ia tempelkan ke kening. Seolah-olah Dewi sedang meminta kekuatan pada sang ibu.

"Dewi pasti juga akan sekuat Ibu," bisiknya lagi. "Berjanjilah untuk tetap berdiri di sisi Dewi, Bu. Apapun yang terjadi. Karena saat ini, hanya Ibu satu-satunya yang Dewi miliki. Ibu enggak boleh seperti mereka, pergi ninggalin Dewi. Karena Dewi butuh Ibu. Ibu sumber kekuatan Dewi. Jangan pernah tinggalin Dewi, Bu."

Pagi hari sebelum ke kantor, Dewi mengajak Bu Rasti jalan-jalan ke taman rumah sakit menggunakan kursi roda. Dewi ingin ibunya tidak jenuh terus-menerus di dalam kamar. Apalagi Bu Rasti saat sehat biasa beraktivitas meski usianya sudah tidak muda lagi. Bu Rasti memiliki toko sembako cukup lengkap di depan rumahnya. Dengan dibantu Marni dan Wati, Bu Rasti berjualan di toko yang dibangun oleh Dewi.

"Ibu ingin sarapan apa?" tawar Dewi sembari mendorong kursi roda ibunya menyusuri koridor rumah sakit.

"Sarapan jatah rumah sakit aja, Wi. Sayang kalau enggak dimakan."

Dewi tahu betul kalau ibunya pasti akan menjawab seperti itu. Mereka memang tidak pernah buang-buang makanan. Dewi pun begitu, meniru apa yang dilakukan ibunya karena mereka berdua pernah ada di fase harus benar-benar bekerja keras untuk sekadar bisa makan.

"Ya udah, nanti Dewi beli nasi sayur di depan buat sarapan sekalian Ibu tambah lauk, ya? Mau apa? Ikan atau ayam atau daging?"

"Enggak usah, dari rumah sakit kan, biasanya udah ada ayam atau daging. Udah, enggak usah makan berlebihan. Sewajarnya aja."

"Ya udah. Paling susah emang kalau mau manjain Ibu," gerutu Dewi.

Bu Rasti tersenyum simpul mendengar itu. Meski putrinya itu sering bersikap ketus, tetapi Bu Rasti tahu betul kalau sebenarnya hati Dewi sangat lembut. Ibarat buah, Dewi ini seperti durian. Kalau tidak tahu cara menyentuh hatinya, orang akan terluka dengan sikap dan kata-kata tajamnya. Namun, kalau sudah tahu cara membuka hatinya, Dewi akan menyerupai malaikat.

Pemikiran Bu Rasti yang seperti itu bukan karena Dewi adalah putrinya. Namun, ia melihat sendiri bagaimana Dewi bersikap dan berbuat untuk orang-orang terdekatnya.

Dulu saat Gibran masih belum bisa membuka pintu hati Dewi, jangankan memberi, saat dikasih pun Dewi akan menolak mentah-mentah. Dewi selalu bilang, tidak mau berhutang budi pada siapapun. Meski itu hanya hadiah-hadiah remeh dari Gibran.

Namun, setelah Gibran berhasil masuk dan mengambil hati Dewi, setiap bulannya Dewi bahkan membiayai hidup Ibu dan adik Gibran tanpa Gibran ataupun Ibu dan adiknya minta. Inisiatif Dewi sendiri karena merasa Gibran punya kewajiban terhadap ibu dan adiknya, sementara gaji Gibran tak seberapa jika dibanding-bandingkan dengan gajinya.

Tak hanya materi, Dewi juga memberi perhatian versi dia kepada ibu dan adik Gibran. Itu sebabnya Ibu dan adik Gibran sangat sayang pada Dewi meski secara komunikasi Dewi memang kurang ramah dan terkesan ketus.

Bu Rasti mengusap punggung jemari Dewi yang berada di pegangan kursi rodanya. Ia sangat bersyukur memiliki anak seperti Dewi.

Tiba di sebuah tempat orang-orang mengantri di poli-poli yang ada di rumah sakit tersebut, tampak banyak sekali orang di sana. Sebelum ke taman, mereka memang harus melewati ruangan itu. Melalui bagian tengah ruangan yang masih menyisakan ruang cukup lebar, Dewi mendorong kursi roda ibunya menuju pintu keluar.

Namun, pada saat itu langkah Dewi terhenti karena berpapasan dengan seseorang. Orang itu persis berdiri di depan ibunya. Karena orang itu tidak menyingkir, Dewi dan Bu Rasti kompak memandang orang itu dari bagian kaki kemudian naik ke atas. Tiga orang itu tertegun saat mata mereka saling bertemu.

"Ra-Rasti ...." Pria seusia Bu Rasti itu menyebut nama wanita yang kini duduk di kursi roda itu.

"Mas Wisnu?" gumam Bu Rasti sembari tersenyum simpul. Seolah-olah tidak pernah terjadi masalah apapun antara dirinya dengan lelaki itu.

Sementara Pak Wisnu menatap Bu Rasti tanpa berkedip. Dewi bisa melihat sorot mata lelaki yang merupakan ayah kandungnya itu meredup, kemudian mata itu memerah, tak lama setelahnya dipenuhi cairan bening.

"Apakah dia merasa bersalah?" batin Dewi. "Atau dia menyesal telah menyia-nyiakan Ibu?" Dewi tersenyum sinis.

"Gimana kabarnya, Mas?" tanya Bu Rasti seolah-olah bertemu teman lama.

"Ba-baik, Ras. Aku baik. Kamu sendiri? Kamu sakit?" tanya Pak Wisnu.

Dewi bisa melihat raut khawatir di wajah dan sorot mata lelaki yang telah mencampakkan dirinya dan sang ibu. "Benarkah dia khawatir?" batin Dewi. Lagi-lagi wanita itu tersenyum sinis melihat reaksi ayahnya.

"Cuma kecapean," jawab Bu Rasti dengan santai. "Mas Wisnu sendiri? Mau besuk atau periksa?"

Dewi benar-benar kagum pada ibunya. Wanita itu benar-benar bersikap sangat biasa. Padahal lelaki di depannya itu adalah mantan suaminya sekaligus lelaki yang telah memporak-porandakan hidupnya.

"Periksa, Ras. Udah tua, jadi penyakit yang pada datang," jawab Pak Wisnu sembari tersenyum miris.

Bu Rasti mencari-cari orang yang menemani mantan suaminya itu kemudian bertanya, "Sama siapa?" tanyanya karena tidak tampak wanita yang dulu merebut singgasananya itu menemani sang suami.

"Hm." Pak Wisnu tersenyum getir, kemudian menjawab, "Sendiri, Ras."

"Oh, ya sudah, mari." Bu Rasti mengangguk sopan. Ia tidak ingin berlama-lama berbincang dengan lelaki yang pernah jadi belahan jiwanya itu.

Dewi pun ikut mengangguk mengikuti sang Ibu. Namun, Pak Wisnu memanggilnya, "Wi!"

"Ya?"

Pak Wisnu menatap Dewi cukup lama. Dewi bahkan bisa melihat genangan di mata ayahnya.

"Makasih udah jaga ibumu dengan baik," ucap Pak Wisnu.

Dewi mengangguk. "Udah jadi kewajiban saya."

Pak Wisnu mengangguk karena bingung harus berkata apa lagi. Terlebih sikap Dewi seketus itu kepadanya.

"Oh, ya," ucap Dewi lagi sebelum mendorong kursi roda ibunya. "Kalau bisa, didik anak kesayangan Ayah dengan baik. Biar enggak ada lagi pernikahan yang harus hancur karena ulahnya yang meniru ulah ibunya dulu."

"Maksud kamu, Wi?"

Dewi hanya menjawab dengan senyum miris. Dan tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang dulu tidak memedulikannya itu, Dewi langsung mendorong kursi roda ibunya.

"Maksud kamu apa, Wi? Kenapa bicara begitu?" gumam Pak Wisnu sembari memandang anak dan mantan istrinya itu menjauh darinya. Pak Wisnu tertegun cukup lama di tempatnya. Bagai mimpi ia bisa kembali melihat wanita dan anak yang dulu ia sia-siakan.

"Seandainya aku bisa memutar waktu, Ras ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status