"Jangan kamu pikir dengan masuk dan memporak-porandakan sebuah pernikahan yang bahagia, hidup kalian akan bisa bahagia juga. Tidak akan!" tegas Bu Rasti pada Asuh. "Yang akan kalian dapat justru kehancuran melebihi sesuatu yang telah kalian hancurkan. Semua hanya soal waktu, dan aku selalu minta pada Tuhan untuk memberiku umur panjang untuk melihat itu."Sorot mata Asih meredup mengingat yang terjadi pada dirinya. Wanita yang telah ia renggut kebahagiaannya benar. Setelah menjadi istri Pak Wisnu, Asih tak pernah benar-benar bahagia. Meski ia memang menguasai harta Pak Wisnu, tetapi ia tidak benar-benar memilikinya. Terlebih hati Pak Wisnu. Meski raganya telah berhasil ia miliki seutuhnya. Namun, Asih tahu, raga itu kosong karena jiwanya turut pergi bersama Bu Rasti dan Dewi. Hanya saja lelaki itu pintar menyimpannya. Mungkin Pak Wisnu tidak ingin orang lain tahu, kalau keputusan yang telah ia ambil salah. Sehingga ia berusaha bersikap seolah-olah hidup bahagia."Ayo, Bu!" ajak Dewi p
Jika Dewi sedang sendiri dan berada di dalam kamarnya, tentu saat ini ia akan menangis sejadi-jadinya. Sakit. Dewi tidak bisa mengingkari rasa itu. Sangat sakit. Seseorang yang selama ini ia anggap sebagai suami, sebagai seorang laki-laki yang baik dan patut ia cintai, bahkan ia titipkan sebuah kepercayaan, tega menyatakan dirinya telah mati. Ya, telah mati. Mati!Dikhianati saja rasanya sudah sakit tiada terperi, kini Dewi harus melihat sendiri bahwa Gibran telah menyatakan dirinya mati. Segala pertanyaan yang tadi tersusun di kepalanya dengan rapi untuk ditujukan pada Pak Wiono, kini telah menguap dan tiada tersisa lagi. Dewi lumpuh dengan kenyataan yang baginya teramat menyakitkan."Pak, kami butuh ini semua sebagai bukti," ucap Bu Rasti mewakili sang putri. Melihat kondisi Dewi yang sangat syok membuat Bu Rasti berinisiatif untuk mengambil alih peran putrinya.Dewi merasa beruntung saat ini dirinya bersama sang ibu, karena jika tidak, ia mungkin tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa s
"Dok, gimana putri saya?" tanya Bu Rasti begitu dokter selesai memeriksa Dewi."Sepertinya Bu Dewi kelelahan atau terlalu banyak pikiran, Bu, sehingga mengalami pendarahan. Tapi, beruntung janin Bu Dewi baik-baik saja."Penjelasan dokter sontak membuat Dewi terperangah. "Janin? Jadi saya ... hamil?"Dokter Hanung yang sebelumnya menghadap Bu Rasti langsung kembali menoleh ke arah Dewi. "Benar, Bu. Apa Bu Dewi belum mengetahuinya?"Dewi menggeleng lemah. Baginya saat ini bukan saat yang tepat untuk hamil. Apalagi hamil anak dari laki-laki seperti Gibran. "Enggak, enggak, ini enggak boleh terjadi," gumam Dewi."Dokter!" seru Dewi dengan panik."Iya, Bu?""Bisakah kandungan saya digugurkan saja sekarang?""Loh, Bu?""Wi!" tegur Bu Rasti sembari menggelengkan kepalanya dengan tegas."Dokter, kalau sudah selesai memeriksa putri saya, biarkan kami berbicara berdua!" pinta Bu Rasti."Baik, Bu. Setelah ini silakan diurus administrasinya, karena Bu Dewi harus rawat inap beberapa hari terlebih
Sehabis ashar Dewi dan Bu Rasti tiba di rumah. Dewi langsung Bu Rasti papah ke kamarnya. Setelahnya Dewi menelepon orang yang biasa ia mintai tolong untuk mengurus rumah beberapa hari sekali. Ia tidak mau ibunya kecapaian."Ibu istirahat dulu aja, habis ini Mbak Sumi ke sini buat beres-beres," ucap Dewi."Ya udah, Ibu di kamar depan, ya? Kalau kamu butuh apa-apa panggil Ibu aja!""Iya, Bu."Benar saja tak sampai setengah jam, wanita yang biasa mengurus rumah Dewi saat Dewi membutuhkan itu datang. Dengan cekatan Mbak Sumi memilah baju-baju kotor milik Dewi dan ibunya untuk dicuci. Tak lupa juga ia membersihkan rumah yang sudah beberapa hari ini kosong."Bu, kemarin Mbak Gina ke sini, aku liat dia berdiri di gerbang depan," adu Mbak Sumi."Iya," sahut Dewi. Ia bingung harus berkata apa. Adik iparnya itu kemarin memang menelepon tetapi tidak Dewi angkat dan pesannya pun Dewi abaikan. "Udah telpon Bu Dewi, ya?""Udah kemarin."Mbak Sumi tak banyak bicara lagi. Wanita itu kemudian menyapu
"Kamu usir kami dari rumah ini, Wi?" tantang Bu Santi. "Kamu lupa rumah ini rumah siapa? Rumah ini berdiri di atas tanah siapa?"Dewi menghela napas dan membuang muka. Ia ingat betul rumah ini memang berdiri di atas tanah almarhum ayah Gibran. Dulu ia sangat tidak setuju membangun rumah di tanah ini, tetapi Gibran dan keluarganya bersikeras untuk mendirikan rumah Gibran dan Dewi di sini."Harga tanah itu sekarang mahalnya luar biasa, Wi," bujuk Gibran saat itu. "Ini kita udah punya tanah gratis, tinggal bangun rumahnya, enggak perlu keluar uang ratusan juta lagi untuk beli tanah. Kamu mau nolak?""Bukan nolak, Mas, tapi aku mau bangun rumah di atas tanah hasil keringat kita!""Bukan keringat kita, tapi keringat kamu!" hardik Gibran saat itu. "Kamu sama sekali enggak ingin aku bisa sedikit aja memberi sumbangsih untuk keluarga kecil kita, kan, Wi? Ini tanah warisan dari ayahku! Aku tahu kamu mampu membeli tanah luas dan membangun rumah besar dan megah tanpa campur tanganku, Wi. Tapi ak
Salah satu yang dulu bisa meluluhkan hati Dewi adalah sikap Gibran yang lembut dan sangat menyayangi ibu dan adiknya. Karena Dewi pikir, kepadanya pun ia akan seperti itu."Kapan pulang?" tanya Gina lagi tanpa menjawab pertanyaan Gibran."Sekitar lima hari lagi, Dek. Kenapa? Ada apa? Ibu sehat, kan?"Gina tak langsung menjawab. Di dadanya serasa ada batu besar yang mengganjal. Ia sangat kesal kepada Dewi sampai sulit untuk berkata-kata. Ia ingin segera membuktikan pada Dewi kalau tanpa kakak iparnya, ia dan ibunya bisa mendapatkan uang yang ia mau."Hei? Kenapa diam?" tanya Gibran lagi karena Gina tidak kunjung bersuara."Aku sama Ibu ... bertengkar sama Mbak Dewi," adu Gina sembari menahan tangis yang sudah membuncah di dada. "Hah? Kenapa?" tanya Gibran sangat menyesalkan itu. Ia saja sedang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Dewi. Mengapa adik dan ibunya malah bertengkar dengan istrinya itu?"Aku butuh uang dan Mbak Dewi enggak mau ngasih."Gibran yang sedang duduk di sofa kama
"Win, kamu ada kenalan pengacara bagus, enggak?" tanya Dewi saat makan siang bersama Wina. Setelah istirahat selama lima hari, Dewi memutuskan untuk kembali bekerja. Kepalanya sudah terlalu pusing dan penuh karena hanya berdiam diri di dalam rumah."Pengacara? Buat apaan?" tanya Wina dengan cueknya. Ia masih asyik menyantap nasi hangat, sambal terasi, ayam goreng, lengkap dengan lalapan.Wina memang belum mengetahui apa yang terjadi antara Dewi dan Gibran. Ia tahu kalau hubungan Dewi dan Gibran sedang ada masalah, tetapi Wina tidak mengetahui apa masalahnya dan tidak menyangka kalau masalah kedua temannya itu begitu besar."Aku ngajuin laporan ke polisi, tapi kayaknya kok, belum ada tindakan juga, ya?" Berbeda dengan Wina, Dewi sama sekali tidak selera makan. Ia hanya menusuk-nusuk ikan bakar di piringnya dengan garpu tanpa mencicipinya sejak tadi."Ngajuin laporan ke polisi? Ngeri amat? Siapa yang kamu laporin? Ada masalah apa emangnya sampai kamu lapor polisi? Kamu kemalingan? Atau
"Apa mungkin bukan Gibran yang memalsukan data dan identitas itu, Wi?" tanya Wina."Tau!" ketus Dewi."Bisa aja, kan, dari pihak Rindu?""Bisa jadi, tapi yang jelas data dan identitasku udah dipalsukan. Kamu bisa bayangin enggak, sih, gimana rasanya jadi aku? Aku enggak cuma dikhianati loh, Win, tapi aku udah dianggap mati! Mati!""Iya, sih, aku tahu kesalahan Gibran udah fatal.""Makanya itu, udah enggak usah berusaha nyari pembenaran buat dia. Mau dia yang malsuin atau siapapun, tetap dia yang pakai data palsu itu buat nikah lagi!""Iya, sih." Wina sangat menyayangkan apa yang dilakukan Gibran terhadap Dewi. Ia juga merasa bersalah karena dulu, dirinya paling bersemangat untuk menjodohkan Gibran dan Dewi. Keduanya terlihat saling mengisi di mata Wina. Dewi yang cuek dan ketus bersanding dengan Gibran yang lembut dan perhatian. Bagi Wina mereka berdua itu saling melengkapi. Ternyata Gibran justru menghancurkan segalanya.Setelah mengantar Wina ke rumahnya, Dewi langsung pulang. Badan