Share

Bab 9

"Nyonya!"

Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?"

"Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. 

"Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha.

Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. 

Khania hanya terdiam. 

"Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. 

"Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. 

"Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini."

***

"Bagaimana mungkin?"

"Tega sekali dia melakukannya."

"Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana."

Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang entah sampai kapan akan berlangsung.

Bisikan-bisikan itu terdengar jelas, meski begitu, tetap tidak membuat hati Khania gentar maupun takut. 

Kini, sorot mata gadis itu terlihat tegas, memandang orang-orang yang juga sedang melihat kedatangannya.

"Hei, lancang sekali dia."

"Sepertinya mau buat onar lagi."

Semua orang yang ada di sana melihat Khania dengan pandangan merendahkan.

Manik hitamnya menatap ke arah Leo yang juga sedang berada di ruangan besar itu. 

Langkah Khania berhenti tepat di belakang Leo. "Apa yang terjadi?"

Leo tersentak dan menoleh. "Kenapa kau ke sini?"

"Bagaimana tidak? Aku mendengar kabar bahwa yang meracuni bibi Rebecca adalah, aku?" Khania bertanya balik sambil melihat sosok wanita yang terbaring di atas sofa.

"Ya! Pelayanku melihatmu memasukkan sesuatu pada minumanku!" hardik Rebecca.

Khania mengernyitkan alis dan bertanya, "Kapan itu terjadi?"

"Saat Leo keluar dari kamarmu, kau diam-diam masuk ke dalam kamarku dan memasukkan racun ke dalam air minum yang terletak di atas meja," jelas wanita itu.

"Ya, aku melihat nyonya Khania melakukan itu," ujar salah satu pelayan. 

Khania sempat terkejut saat tahu pelayan Rebecca adalah sosok yang menghampiri Leo dan dirinya saat berada di taman.

"Bibi, jangan sembarangan menuduh Khania tanpa bukti." Leo melihat sang bibi dengan tatapan marah.

"Ini buktinya! Para pelayan menemukan botol racun ini di dalam kamar Khania, apa kau masih belum percaya padaku?" Rebecca berbicara sambil menangis.

Khania menghela napas. "Boleh aku lihat?"

Leo pun mengambilkan botol itu dan memberikannya pada Khania. Pria itu melihat sang istri yang begitu tenang. 

"Hm, ini memang tidak berbau, dan seperti air pada umumnya," ujar Khania sambil mengendus botol itu.

"Apa kau mengerti soal racun?" tanya Leo.

Khania mengangguk. "Aku tidak ingin membuat bibi Rebecca kecewa, tapi sayangnya aku tahu hal yang berkaitan dengan Biokimia walau tidak banyak."

Rebecca terdiam mendengarnya. 

"Dan ini adalah racun arsenik, karena sifatnya tidak berbau dan tidak berwarna," ujar Khania.

"Racun arsenik?" tanya Leo.

"Tapi racun ini bereaksi setidaknya tiga jam setelah diminum, sedangkan jarak waktu aku keluar dari kamar dan berada di taman bersama Leo, hanya sekitar satu jam."

"Benarkah begitu?"

"Lalu siapa yang benar?"

"Jadi, bukan nyonya Khania pelakunya?"

Bisikkan orang-orang di sana mulai terdengar memihak Khania, hal itu pun membuat Rebecca geram karena merasa sedang di sudutkan. 

"Hei! Jangan sok tahu!" bentak Rebecca. 

"Maaf bibi, tapi aku harus membela diri karena akulah teruga pelakunya," balas Khania dengan ekspresi datar. 

"Lalu bagaimana dengan kondisi nyonya Rebecca? beliau sampai pingsan dan mulutnya berbusa!" 

"Sebenarnya gejala dari keracunan arsenik bukan mulut yang berbusa, melainkan mual atau setidaknya mengeluarkan air liur."

"Ck! jadi kau mencari kebenaran? Ingin mengelak dan menunjukkan bukan kau pelakunya?" tanya Rebecca penuh amarah.

Khania menghela napas berat. "Aku lelah berdebat, sebaiknya kita cek langsung cctv yang kupasang di kamar," ujarnya sambil meminta Icha menyiapkan yang dia butuhkan. 

"Apa?" Rebecca kaget bukan main. 

Leo pun tersentak saat baru menyadari bahwa gadis itu memasang kamera keamanan di kamarnya.

"Hei, kau tidak boleh seenaknya memasang cctv di kediaman ini!" bentak Rebecca sambil berdiri dan hendak menampar Khania. 

Leo pun menghadang sang bibi dan berkata, "Anggap saja itu adalah otoritas yang aku berikan pada Khania," ujarnya tegas.

"Ya, aku adalah nyonya besar di sini, apapun yang kulakukan sudah menjadi hak mutlak." ujar Khania sambil melihat semua orang yang ada di sana.

Dia ingin menunjukkan, bahwa kini mereka tidak bisa bersikap seenaknya.

"Bagaimana persiapannya, Icha?" tanya Khania. 

Pelayan itu pun segera menghampiri Khania bersama dengan seorang pria paruh baya. 

"Ini adalah pak Yuda, teknisi komputer anda, nyonya," ujar Icha.

"Kalau begitu, tolong tunjukkan rekaman itu pada mereka, pak Yuda," pinta Khania. 

"Baik, nyonya." jawab pria paruh baya itu. 

Tak lama berselang, tiba-tiba Rebecca berdiri dengan kepala tertunduk. "Baiklah, aku mengaku bohong," tuturnya.

Seketika keadaan di sana menjadi riuh, namun kembali senyap saat Leo menatap tajam ke arah mereka.

"Kenapa kau lakukan ini, bibi?" tanya Leo.

"Kenapa kau bertanya? Sudah jelas karena aku membencinya!" jawab wanita itu penuh amarah. "Dia tidak pantas menjadi bagian keluarga ini, dia bahkan bukan dari kalangan yang sama dengan kita!"

"Maaf untuk itu, bibi Rebecca," ujar Khania sambil berjalan menghampiri wanita itu. "Tapi aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga ini," lanjutnya tanpa ragu. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status