Taylor merasa risih dengan tatapan Dave. Ancaman pun keluar dari mulut Taylor. "Aku sedang memegang garpu. Jangan sampai garpu ini mengenai matamu."
Dave tidak pernah takut dengan ancaman Taylor. Hanya tawa saja yang menjadi reaksinya.
Bukan Dave namanya, jika tidak menjahili Taylor sampai Taylor marah. Salah satu kaki Dave bergerak mengenai dan mengusap dengan sengaja kaki Taylor, membuat Taylor yang sedang minum menjadi tersedak.
Kesal dengan perilaku sahabat mama, Taylor menciprati Dave dengan air minum. "Apa tujuanmu melakukan itu?! Mau buat aku mati tersedak?!"
"Kamu terlalu serius. Tersenyumlah sedikit, untuk Paman Jo-mu ini," balas Dave dengan menunjukkan senyum jahil.
Taylor memilih diam, ketika menaruh piring kotor di wastafel. Hendak pergi dari ruang makan, Dave memanggil Taylor karena sang mama menelpon dengan panggilan video.
"Halo, Ma. Belum berangkat?" tanya Taylor sambil berdiri di sebelah Dave. Namun, Dave menarik pinggang Taylor, sehingga Taylor terduduk di salah satu paha Dave. Tidak ada perlawanan dari Taylor.
"Sebentar lagi. Mama ingin memastikan kamu baik-baik saja di tangan pria menyebalkan itu." Kepala mama bergerak menunjuk Dave yang sedang menyender kepala di bahu Taylor.
Taylor yang merasa risih, langsung menyingkirkan kepala Dave. "Kalau menyebalkan, kenapa dititipkan padanya? Aku tidak betah, Ma."
Sebelum menjawab, Mama menghela napas. "Habisnya, hanya dia sahabat Mama yang dapat dipercaya. Sahabat Papamu juga."
"Dipercaya apanya?" gumam Taylor yang terdengar oleh Dave.
"Oh ya, salah satu karyawan kepercayaan papamu sudah mengerjakan sebagian tugas. Kemungkinan, Mama hanya seminggu di sana. Jadi, kamu akan tinggal dengannya hanya seminggu." Ada secercah kebahagiaan pada hati Taylor.
"Anakmu ini semakin lama semakin membenciku, tapi jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Dave meyakinkan Tina, sang mama.
"Kupegang ucapanmu, Dave. Ya sudah, pesawatnya mulai terbang. Mama tutup dulu." Mama pun mematikan panggilan.
Belum sempat mengatakan selamat tinggal dan hati-hati, Taylor merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada sang mama. Namun, pikiran buruk tersebut dihapus dari otak.
Ketika Taylor ingin pergi ke kamar, Dave menahan pinggang Taylor untuk tidak pergi ke mana-mana.
"Jangan terburu-buru. Aku merindukanmu."
"Lepaskan aku, Pak tua!"
Karena berontakan Taylor yang begitu cepat, tidak sengaja membuat salah satu bagian tubuh Dave tersenggol. "Ugh, kamu membuat menara sutetku bangun."
"Hah? Tidak jelas." Taylor pun langsung mencubit paha Dave sampai kesakitan, supaya bisa kabur. Mau atau tidak, Dave melepaskan Taylor, dan Taylor langsung berlari ke kamar.
"Anak itu memang tidak pernah berubah," gumam Dave sambil tersenyum.
***
"Taylor, makan malam sudah siap." Sudah berkali-kali Dave memanggil Taylor, tetapi tidak ada sahutan dari kamar anak sahabatnya.
Apa terjadi sesuatu? Atau Taylor melakukan hal bodoh?
Dave mengetuk pintu kamar Taylor berkali-kali. Sama, tidak ada sahutan dan pintu pun dikunci dari dalam. Panik melanda Dave. Dave menggedor-gedor pintu kamar Taylor.
Taylor pun membuka pintu kamar dengan kesal, lalu sengaja mengeluarkan bagian kepala saja. "Apa?!"
"Kamu melupakan peraturan nomor empat. Dilarang mengunci pintu." Dave mengingatkan.
"Bagaimana aku tidak mengunci pintu? Aku sedang mandi! Paman kalau mandi juga mengunci pintu, 'kan?" balas Taylor semakin kesal.
"Kata siapa?" tanya Dave dengan senyum jahil.
Tiba-tiba Dave memasuki kamar Taylor, membuat Taylor menjadi panik. Tentu saja panik, karena Taylor hanya memakai handuk yang dibalut ke tubuh.
"Keluar! Heh!"
"Kamu mengusir pemilik rumah .... " Dave yang tadinya ingin terlihat menyeramkan di depan Taylor, malah seketika menelan ludah. Kedua matanya tidak berhenti menatap bagian tubuh Taylor yang terekspos.
Terdapat beberapa sepatu yang Taylor bawa dari rumah. Sepatu itu Taylor simpan di dekat pintu kamar, tetapi sekarang sepatu itu melayang ke wajah Dave.
"Baiklah! Aku pergi sekarang!" Dave pergi dengan memegangi wajahnya yang terkena lemparan sepatu.
Selesai memakai pakaian, Taylor memilih belajar untuk menghabiskan waktu sebelum tidur. Kali ini dengan pintu kamar yang terbuka. Padahal, Taylor lebih suka yang tertutup, jadi tidak ada yang mengganggu.
Namun, rumah yang Taylor tempati bukan lagi rumah orang tua. Rumah ini milik Dave Jo, pria yang selalu disebut Pak tua. Maka dari itu, Taylor tidak punya hak untuk melawan.
Sedang konsentrasi belajar, Taylor dikejutkan dengan suara berat Dave. "Jangan terlalu serius."
"Tidak bisakah ketuk pintu sebelum masuk? Di mana tata kramamu, Paman Jo?"
Bukannya menjawab, Dave malah tertawa melihat kekesalan Taylor. "Ingat, ini rumahku. Aku bebas untuk mengetuk atau asal masuk. Makan malam sudah siap. Kita makan dulu," ajak Dave sambil mengambil pulpen yang Taylor pegang.
Makan malam dalam keadaan hening cukup membuat pikiran Taylor tenang. Sayangnya, hanya bertahan beberapa detik saja.
"Berikan nomor ponsel teman kelasmu," pinta Dave yang sudah berada di sofa ruang tamu.
Perjalan Taylor untuk kembali ke kamar pun berhenti. "Untuk apa? Tidak akan ada perempuan yang menyukaimu. Apa Paman ingin kukenalkan dengan teman laki-lakiku?"
"Aku ini normal. Berikan saja satu," pinta Dave sedikit agak memaksa.
Hanya satu. Taylor memutuskan memberi nomor ponsel teman laki-laki, ketika duduk di sebelah Dave. "Namanya Brian Gullit." Tiba-tiba ada ide yang terlintas. "Dia pacarku."
Kepala Dave menoleh dengan cepat, terkejut dengan ucapan Taylor. "Kamu? Pacaran? Tidak mungkin. Tidak ada yang mau denganmu."
"Kata siapa? Nyatanya Brian pacarku," kukuh Taylor. Taylor sengaja mengatakan itu, supaya Dave tidak lagi mendekatinya.
"Oh, ya? Biar kutanya Mamamu-"
"Jangan!"
Dave tersenyum miring. Jika Taylor tidak mau Dave mengabari Tina, pasti ada sesuatu. Taylor tidak mengatakan pada sang mama, jika sedang berpacaran, atau mungkin Taylor berbohong belum berpacaran.
"Aku hapal perilakumu, gadis dingin. Kamu tidak pandai berbohong. Lihat, kalau kamu bohong, pasti kamu tidak berani menatapku," tukas Dave sambil menatap Taylor, tetapi Taylor malah menatap ke segala arah.
"Kamu tidak berpacaran. Berani bohong sama Pamanmu ini." Dave menggelitiki tubuh Taylor, sehingga Taylor kembali berontak.
Lelah berontak, Taylor terlihat mengantuk. Tubuhnya bersender pada lengan Dave yang kekar.
"Kamu mengantuk? Tidur saja. Besok sekolah, 'kan?" Tiba-tiba Dave menggendong Taylor ala pengantin. Dave sengaja melakukan ini, karena jika Taylor sudah mengantuk, pasti malas bergerak.
Dave pun menaruh Taylor di ranjang, lalu menyelimuti layaknya seorang papa pada anak. Melihat beberapa buku yang terbuka di meja, Dave juga merapikan buku tersebut.
"Buku untuk besok sudah disiapkan? Besok pakai baju apa? Mau bawa bekal atau tidak?"
Taylor yang sudah menutupi tubuhnya dengan selimut, menjawab dengan malas, "Buku sudah kusiapkan. Baju bisa diurus besok. Tidak perlu, ada kantin di sekolah. Paman terdengar seperti Mama."
"Ini tanggungjawabku," balas Dave yang sudah duduk di ranjang, membelai wajah dari anak sahabatnya. "Mimpikan aku, ya?"
"Lebih baik tidak tidur," jawab Taylor dengan mata tertutup.
Terlihat menggemaskan, Dave mencubit pipi Taylor dengan gemas.
"Sakit!"
"Cepatlah, Paman! Jangan lambat!""Kamu yang lambat. Ikat dulu tali sepatumu!""Nanti saja di mobil."Dave dan Taylor masuk ke mobil bersamaan. Duduk bersebelahan. Dave memakai sabuk pengaman, sedangkan Taylor mengikat tali sepatu sambil menggigit roti."Lepas dulu rotimu. Sini, biar kupegang." Dave mengambil roti Taylor. "Apa kamu selalu seperi ini, jika ingin berangkat sekolah?""Tidak. Ini karena Paman lambat, jadi aku sedikit kesiangan," tuduh Taylor sambil memakai sabuk pengaman.Dave mengembalikan roti Taylor dengan wajah masam. "Bisanya menuduhku saja. Nanti pulang kabari aku, biar kujemput.""Tidak perlu," balas Taylor sambil mengunyah. "Setelah sekolah, aku ada tugas kelompok dengan teman-teman di rumah teman."Sambil menyetir, Dave menoleh sesekali pada Taylor dengan curiga. "Siapa temanmu? Brian?"Seketika, salah satu ujung bibir Taylor terangkat. Sengaja membuat Dave kesal. "Ya. Ada tugas kelompok. Aku dan dia harus b
Taylor sudah membaik, karena inhaler dari Dokter Elsa, juga sarapan yang disuapi Dave. Padahal, tangan Taylor masih bisa bergerak, tetapi Dave keras kepala. Membuat Dokter Elsa tertawa melihat perilaku dua orang di depan.Sekarang, Taylor sudah siap untuk pergi ke rumah teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok."Tay, sepertinya kamu pulang saja. Aku takut asmamu tiba-tiba kambuh." Fanny menggendong tas dengan wajah khawatir."Tugasnya dikumpul besok. Lagipula, aku sudah ada inhaler dari Dokter Elsa. Santai saja," kekeh Taylor yang ingin ikut. Demi mendapat nilai tambahan, kerjasama memang harus. Apalagi, guru yang mengajar telah mengatakan, yang hanya menumpang nama tidak akan mendapat nilai.Rudy yang satu kelompok dengan Taylor, menyetujui ucapan Fanny. Namun, wajah Rudy terlihat tidak suka. "Fanny benar. Kamu pulang saja. Kalau ditengah tugas tiba-tiba kamu kambuh, tapi inhaler tidak berfungsi, percuma saja, 'kan?"Entah kenapa, Taylor merasa ada
"Apa Donna membuatmu tak nyaman?"Pagi hari sudah membuat Taylor malas bicara. Kenapa harus membicarakan tentang orang asing? "Paman tahu sendiri, kalau aku tidak nyaman dengan orang asing.""Kalau begitu, apa kamu sudah nyaman denganku?" tanya Dave dengan senyum miring.Taylor mendecakkan lidah. Menyesal menjawab pertanyaan yang menjebak. "Jangan lambat, Paman Jo! Aku ingin berangkat sekarang. Tugas kelompok tinggal sedikit lagi selesai, akan kulanjut di sekolah saja."Dave meminum kopi dengan cepat. Memperhatikan Taylor yang asal memakai sepatu, Dave kembali bersuara. "Ikat tali sepatumu dulu dengan benar.""Nanti saja di mobil." Taylor mulai bergerak keluar dari rumah.Sebelum itu, Dave menghalangi jalan Taylor untuk mengikat tali sepatu. Membuat Taylor merasa sedikit tidak nyaman. "Kalau kamu jatuh sebelum masuk mobil, jangan salahkan aku. Tinggal diikat seperti ini saja, tidak sulit, 'kan?.""Terima kasih." Taylor pun memasuki mobil den
Ini ketiga kalinya Taylor mendecakkan lidah. Sudah lelah berpikir karena tugas, sekarang lelah menunggu Dave yang katanya sedang berangkat menjemput. Cuaca semakin lama semakin gelap.Brian datang duduk di sebelah Taylor, yang sedang duduk di tangga sekolah. Menemani dengan setia."Sepertinya, pamanmu akan datang terlambat. Mungkin macet. Ini sudah sore, jam pulang orang kerja," imbuh Brian sambil menonton beberapa murid yang bermain basket."Mungkin," balas singkat Taylor. "Kamu tidak pulang?" Kembali Taylor mengabari Dave melalui pesan."Bagaimana bisa aku meninggalkan perempuan yang telah mengungkapkan perasaannya di kantin?"Candaan Brian membuat Taylor malu. Taylor sengaja menyenggol lengan Brian, sambil berbisik, "Menyebalkan."Jika Taylor sudah mengungkapkan perasaan di kantin, kini giliran Brian yang akan mengungkapkan perasaan di tangga sekolah. Ini momen bagus. Selagi Brian duduk berdua dengan Taylor, tanpa ada murid yang mengganggu.
Kembali pada pagi hari, di mana Taylor harus sekolah, dan Dave harus bekerja. Namun, Taylor melihat ada yang berbeda dari Dave. Wajah Dave seperti kurang tidur. Apakah Dave begadang?"Paman Jo terlihat seperti manusia panda. Kalau mengantuk, lebih baik tidur saja. Aku tidak perlu diantar," celetuk Taylor yang baru saja selesai sarapan."Tidak. Aku akan tetap mengantarmu," balas Dave yang tidak sengaja menghirup wangi tubuh Taylor, ketika Taylor menaruh piring kotor di wastafel. "Kamu tidak ingin memberitahuku, apa rahasia tubuh wangimu?""Kalau Paman Jo mengantuk di tengah jalan, lalu kita kecelakaan, itu tidak lucu." Taylor menatap Dave sekilas, lalu meminum minum air putih. "Sekali rahasia, tetaplah rahasia."Taylor gadis yang tidak pernah berbohong, tetapi masalah rahasia, Taylor pandai menyimpan dengan erat. Akan sulit bagi Dave untuk mengetahui rahasia Taylor."Kamu saja yang menyetir."Terkejut mendengar ucapan Dave, Taylor mencubit pelan le
"Kamu perebut calon suamiku!""Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?""Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan de
Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.Tidak, Dave
Taylor termenung di depan pintu kamar Dave, ragu ingin meminta pertolongan. Selagi kaki Taylor belum sembuh, Taylor tidak bisa pergi ke mana-mana, kecuali harus ke sekolah."Sedang apa di sini?" tanya Dave sedikit terkejut. Tiba-tiba, rasa takut muncul. Apa Taylor mendengar Dave mendesahkan nama Taylor?"Paman, kakiku belum sembuh total. Jadi, bolehkah aku meminjam ponselmu untuk belanja?" Kedua tangan Taylor menarik ujung baju sendiri. Takut ditolak oleh Dave.Dave mengelus dada, ketika mendengar jawaban Taylor yang berbeda. Ponsel pun diambil dari meja, bersiap membuka aplikasi belanja. "Ingin belanja apa?"Ponsel Dave langsung direbut oleh Taylor. "Ini perlengkapan perempuan, dan laki-laki tidak boleh tahu." Setelah diijinkan, Taylor menjauh dari kamar Dave.Sedang asik memilih, notifikasi pesan muncul dari Madonna. Salah satu model yang pernah menuduh Taylor.Kesopanan nomor satu, tetapi rasa penasaran lebih besar. Tanpa sepengetahuan Dave, Ta