“Aku sedang menunaikan janjiku padamu. Kamu masih ingat, kan?” Priam sudah membawa dua kotak merah itu ke meja makan.
Alecta masih terpaku di tempat, merasa semuanya adalah ilusi. Priam datang untuk memenuhi janjinya! Apa aku tidak salah! Berkali-kali Alecta mengucek matanya.
“Ini nyata?”
Priam berdecak saat melihat Alecta masih terpaku di tempat saat dia menyambutnya. “Apakah aku harus menggendong Alecta untuk sampai di meja ini?”
“Aku?” Untuk memastikan sekali lagi, Alecta mencubit pipnya. “Aduh, sakit! Ternyata ini bukan mimpi.”
Priam yang gemas karena Alecta tak segera beranjak, akhirnya ia yang mendekati Alecta yang masih bengong di tempat itu.
“Sepertnya Alecta terlalu lelah,” Priam melingkarkan tangannya ke pinggang Alecta untuk mengikat kimononya yang terbuka.
Tepat saat Priam mendekat, Alecta merasa kaku dan dia bisa menghirup aroma maskulin yang membuatnya candu. Tapi, otak warasnya segera meme
udah cukup butjin belum? hehehe, jangan lupa tinggalkan komentar setelah membaca, terima kasih.
Priam mengendarai mobilnya menuju ke pantai Kota Dennosam. Itu berarti berada dekat dengan gedung perusahaannya. Dari jalan yang dilewati, dia bisa melihat megahnya gedung perusahananya. Bahkan tulisan KARYA NUSA disinari cahaya berwarna orange. Perusahaan yang dibangun Priam sejak 15 tahun yang lalu. Berawal dari mimpinya bersama Camelia semasa kuliah. Mimpi bagaimana makanan atau barang kebutuhan lain bisa diantar ke rumah tanpa perlu datang langsung ke tokonya. Atau memesan makanan jauh lebih mudah, hanya tinggal menunggu kurir datang. Intinya efisiensi waktu yang jadi patokan, serta menciptakan lapangan kerja baru. Hingga kini sudah jutaan mitra tersebar di negara ini. Priam masih melajukan mobilnya mencari tempat yang tenang. Beruntung malam ini bukan malam minggu, jadi pengunjung pantai tidak terlalu banyak. Dia paling sebal jika ada pasangan muda-mudi yang bermesraan duduk di pinggir pantai. Itu membuatnya iri. Dia keluar dari mobilnya dan duduk
Alecta sudah membersihkan meja makan, membuang kotak merah yang berasal dari restoran tempat Priam membeli charsiu ayam, nasi hainan, dan udang pedas gurih. Tak lupa dia juga mencuci piring, merapikan semuanya seperti semula. Dia tidak mau tiba-tiba Naratama datang dan melihat jika meja makan ini berantakan dan menjadi saksi kalau priam pernah makan bersama. Alecta sempat berpikir, bagaimana jadinya jika meja atau kursi ini bisa berbicara, pastinya mereka akan mengadukan semua ini kepada Naratama. Dia mengumpulkan karton, tissu, dan wadah makan di kantong kresek sampah yang besar. Selanjutnya, Alecta melihat ponselnya. “Astaga sudah jam setengah sebelas malam!” Dia harus bergegas membuang sampah itu ke tempatnya. Semua penghuni apartemen sudah diberitahu, jika membuang sampah harus menuju lantai dasar di bagian belakang. Di sana sudah ada beberapa tong khusus sampah. Itu berarti Alecta harus turun ke bawah. “Bagaimana jika besok pagi sa
Naratama memainkan kursi putar di ruangan kepala pelayan. Saat ini dia sedang dilanda kebosanan karena nyonyanya, Freya tidak mengizinkan dia untuk ikut ke lokasi syuting. Alasannya, Freya akan pulang pagi, dan lebih baik ia menginap di hotel untuk istirahat. Naratama tidak menyukai itu. Dia sanggup untuk menunggui Freya sampai selesai. Dia bisa tidur di mobil. Tapi tetap saja Freya menolak dan menyuruh Naratama pulang. “Dibanding aku mengantar Miss Alecta, aku lebih suka mengantar Nyonya Freya,” gumannya. Naratama meletakkan ponselnya di meja, lalu melanjutkan untuk memainkan kursi putar itu. Sampai Naratama tertarik pada susunan buku yang ada di belakangnya. Sangat rapi dan selalu ditata sesuai warna. “Kamu selalu membuatku takjub Sensei.” Naratama memanggil kepala pelayan dengan sebutan sensei yang berarti guru. Dia memutuskan untuk bangkit untuk mengambil salah satu buku. “Tak salah jika Tuan Ardiaz masih mempergunakanmu, Se
Priam baru menyadari jika seseorang yang berlari melewatinya adalah Naratama. Ia bahkan tidak menyapa Priam. “Kenapa dia berlari seperti itu.” Priam menggeleng karena tingkah aneh Naratama yang sedikit lebih heboh dibanding Pak Samsul. Dia melanjutkan jalannya menuju kamar. Baru di langkah ketiga, Priam berhenti lalu berbalik memandangi Naratama yang sudah menghilang di balik pintu. “Kenapa Naratama sudah ada di rumah. Berarti Freya juga sudah ada di rumah!” Priam panik, bagaimana menjelaskan kepergiannya. Dia harus mencari alasan kenapa malam ini dia pergi tanpa sopir. Ketika hendak berbalik, Priam terkejut dengan Feris yang sudah berdiri di hadapanya. “Kamu mengagetkanku!” Priam berusaha menangkan dirinya agar Feris tidak terlalu curiga. Feris mengedus. “Charsiu ayam, nasi hainan, masakan seafood, dan bau parfum perempuan.” Priam terdiam karena bingung akan menjawab apa. Dia lupa kalau Feris bisa menghidu aroma yang m
“Kenapa kamu menyerang Nyonya Alecta? Jawab! Dasar bajingan!” Salah satu penjaga apartemen harus mengumpat tepat di depan wajah pria mabuk yang menyerang Alceta. Namun pria mabuk itu hanya mengeringai tidak jelas dengan wajah merah, mata yang sipit. Ia benar-benar terlihat kacau dan teler. Sekarang Alecta sedang duduk bersama Nenek Neena yang tangannya terus mengusap-usap bahu Alecta untuk memberikan ketenangan. “Apakah sebelumnya Nyonya mengenal pria ini? Atau punya konflik yang belum terselesaikan?” tanya penjaga tadi. Kelihatannya ia sudah sebal karena kesulitan meminta jawaban dari pria mabuk itu. Alecta masih menampilkan kesedihannya. Dia memandang pria mabuk itu dengan ekspresi ketakutan seakan ia adalah monster yang menyeramkan. ‘Saatnya beraksi Alecta.’ Alecta mengerang seakan seperti mendapat trauma berat. “Saya tidak punya konflik dengan dia.” Alecta memaksa matanya untuk terus mengeluarkan air mata, agar akti
Di dalam toilet Alecta berpikir keras bagaimana caranya membungkam Nenek Neena. Dia merasa harus membenci dirinya yang terlalu ramah. Tanpa angin ataupun petir, rasa nyeri menyerang perut Alecta.Ini bukan masuk bagian aktingnya, rasa nyeri ini benar-benar seperti jarum yang menusuk perut Alecta. Dia limbung dan jatuh terduduk di lantai. Beberapa kali Alecta harus mengambil napas dan mengembuskannya demi menahan rasa nyeri ini.Tiba-tiba pintu toilet diketuk. “Nyonya, suamimu sudah datang. Dia bersama Pak Priam.”‘Apa? Priam juga datang? Aku tidak salah dengan, kan?’Alecta bangkit dan menyalakan keran. “Sebentar lagi saya keluar,” ucapnya.Alecta masih mencoba menoleransi rasa sakit yang dirasakanya, selain itu masih ada masalah lainnya, Naratama dan kesaksian Nenek Neena.“Sial! Kenapa semuanya seakan berantakan.” Alecta tak yakin rencana ini bisa sukses.Ketukan
“Naratama!” Perempuan itu berteriak.Alecta bisa mendengar samar-samar pertengkaran dari balik pintu. “Sepertinya mereka sudah meninggalkanku sendirian di kamar ini.” Dia membuka matanya sempurna.“Jelaskan padaku, siapa perempuan itu?”“Dia orang yang disewa rahim oleh Nyonya dan Tuan.”“Apa? Surogasi? Nyonya dan Tuan melakukan surogasi? Jawab aku Naratama!”Rasa nyeri yang tadi menyerang Alecta perlahan mulai menghilang. Dia baru ingat pesan dokter, jika sesudah melakukan prosedur itu, biasanya akan ada rasa nyeri yang muncul di bagian tertentu dan terkadang tidak berlangsung lama.Alecta bisa menolerir rasa nyeri itu saat ini.Perlahan Alecta mendekat ke pintu. Dia membuka sedikit untuk mendengar percakapan antara Naratama dan perempuan bernama Lusi itu. Tak lupa, dia juga merekam percakapan mereka dengan mode video.“Namanya Alecta Zeline. Dia menjadi w
Saat ini Alecta menjadi pendengar yang baik. Perempuan di sampingnya memiliki nama lengkap Lusiana, dan ternyata umurnya jauh lebih muda dua tahun dari Alecta. Tiga tahun Lusi bekerja di rumah besar, dan dua tahun hingga saat ini dia menjaga vila ini. Merawat tempat ini sendirian.Entah magnet apa yang terkandung di rumah besar itu, semua pelayan merasakan kemakmuran dan emosi dari majikannya. Semua bekerja sesuai jadwal. Ada lebih dari dua puluh pelayan di rumah besar itu. Jumlah itu belum termasuk jajaran keamanan dan juru masak.Setiap pelayan di sini memiliki tugasnya masing-masing yang diawasi langsung oleh kepala pelayan. Namanya, Feris Pradana. Saat Lusi menyebutkan nama itu, senyumannya mengembang tanda kekaguman yang indah. Kepala pelayan itu juga mengawasi semua sistem yang berada di rumah ini. Tak hanya itu, sistem bekerja di rumah ini terbilang cukup bersahabat. Semua pelayan mendapat satu hari libur setelah bekerja selama enam hari. Tentu saj