Aku tengah mengupas buah naga di balkon kamar, sembari menikmati sunset sore. Mas Arya menghampiriku. Memeluk tubuhku dari belakang, lalu mencium pipiku seperti yang sering ia lakukan sehabis pulang kerja. Aku bergeming tidak menanggapi seperti biasanya, mengingat bagaimana ia telah membagi pelukan dan ciuman itu pada wanita lain. Setelahnya Mas Arya duduk di samping kiriku.
"Sayang, apa tadi pagi kamu ke kantor?" Tangannya mengambil potongan buah yang telah ku potong di atas piring. "Sepertinya Mas melihat mobilmu di parkiran," tanyanya lagi memecah kesunyian.
Aku masih diam sembari terus mengupas buah naga kedua, tanpa sengaja tanganku teriris, darah segar keluar dari bagian luka di tanganku.
"Hei, Honey tanganmu terluka!" Menyadari itu Mas Arya dengan sigap meraih tanganku dan memasukkannya ke dalam mulutnya agar darahnya berhenti mengalir.
Lelaki ini, kenapa begitu pintar bersandiwara? Aku segera menarik tanganku.
"Ini tidak seberapa sakit dari luka yang kamu buat," ucapku santai.
Mas Arya terkekeh, namun wajahnya terlihat pucat mendengar ucapanku. "Kamu pintar bersandiwara, Mas. Aku salut," sambungku lagi.
Kali ini tak ada lagi tawa yang terdengar melihat aku begitu serius dengan kata-kataku. Aku yakin perempuan ja*ang itu telah mengadukan semuanya pada Mas Arya, atas apa yang menimpanya tadi pagi meski perempuan itu tidak mengenaliku, dan Mas Arya, melihat mobilku di parkiran aku yakin dia sudah tau siapa orang yang mengancam kekasih gelapnya itu.
Aku bangkit dari duduk dan meninggalkan Mas Arya begitu saja. Mas Arya berusaha mengejarku.
"Ai, maaf." ucap Mas Arya lemas.
"Tidak perlu, pergilah jika kau sudah bosan!"
Mas Arya menggeleng kuat dan berusaha meraih tanganku, tetapi segera ku tepis.
"Tidak ada wanita yang hatinya baik-baik saja setelah diduakan, sekalipun kamu telah minta maaf," ucapku.
***
Aku dan Mas Arya tengah makan malam, setelah kejadian sore tadi tak ada lagi sapa diantara kami, dan sibuk dengan pikiran masing-masing, suasana menjadi terasa begitu sunyi hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu di atas piring.
Tiba-tiba saat kami tengah makan Kak Elma, Kakaknya Mas Arya datang, membuat selera makanku semakin hilang.
"Lagi makan, gak ngajak-ngajak," celotehnya sambil terkekeh. Ia segera menarik kursi di samping Mas Arya dan mendudukkan bokongnya dengan santai.
Aku yang merasa seketika hilang selera berniat bangkit dan pergi.
"Eh, Ai kok main pergi aja, Mbak baru datang gak sopan banget sih," gerutunya dengan nada yang menyebalkan. "Istrimu gak diajarin sopan santun, dan etika?" tanya Mbak Elma sama Mas Arya.
Aku tersenyum miring saat mendengar kalimat sopan santun, dan etika yang meluncur dari bibir merah menyalanya.
"Sopan santun, dan etika sebaiknya kalianlah yang harus diajari." Wajah Mas Arya semakin terlihat pucat.
"Ada apa sih, kenapa istrimu semakin kurang ajar kek gini?" tanya Mbak Elma.
Aku segera bangkit dan menggeser kursi dengan gusar hingga menimbulkan bunyi deret yang keras di atas lantai.
Kakiku baru saja hendak melangkah pergi, namun seketika tertahan mendengar ucapan dari bibir ceriwis Mbak Elma.
"Yah menurut, Mbak ya wajar kalau Arya punya wanita lain, seharusnya kamu sadar sudah berapa lama kalian menikah? Tak ada tanda-tanda kamu akan hamil, dan lihatlah sejak menikah tubuhmu semakin tak teurus dan gendut," ucapnya santai, tanpa memikirkan perasaanku.
Terasa lemas tungkai kakiku mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Mbak Elma. Rasanya begitu menyakitkan lebih dari rasa sakit saat luka teriris pisau tadi sore. Kalau saja aku tidak mengingat dia sebagai kakak ipar sudah kusumpal pake sambal mulutnya yang nyinyir itu.
Wait!
Dari mana Mbak Elma tau kalau Mas Arya punya wanita simpanan? Apa jangan-jangan mereka bersekongkol? Aku memutar balik tubuhku menghadap Mbak Elma dan Mas Arya yang hanya berseberangan meja makan denganku.
"Kenapa Mbak Elma bisa tau kalau, Mas Arya punya gundik?" tanyaku langsung.
Mbak Elma menghela napas, "Kamu ini gimana sih, Ai? Pura-pura bodoh atau bodoh beneran?" tanya Mbak Elma, membuat darah ini semakin mendidih, beraninya perempuan perawan tua itu berucap demikian. Dia pikir aku takut dengan mulut nyinyirnya.
"Jelaskan, Mas apa maksud semua ini?" Aku mendesak Mas Arya untuk menjelaskan semuanya.
Mas Arya tertunduk lesu semakin dalam, tak ada kata yang terucap dari bibir sensualnya.
"Maaasss ...," pekikku, menuntut penjelasan dari Mas Arya, tanpa sadar tanganku menggebrek meja makan dengan kuat, membuat dua manusia itu terkesiap.
"Maafkan, Mas, Ai ... Sebenarnya-"
"Sebenarnya Arya dan Anita sudah menikah," ucap Mbak Elma santai, sembari menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.
"Apaaa ...?" Duniaku terasa berputar, kakiku terasa mengawang. "Sejak kapan, Mas?" tanyaku lemah, akhirnya air mata yang tertahan kini berhasil lolos dari kedua netraku, ah shit kenapa harus di depan mereka?
"Ya sekitar tiga bulan yang lalu." Mbak Elma kembali menjawab dengan nada enteng, tangannya memegang pisau dan garpu yang ia gunakan untuk memotong steak.
Tak ada kata tanya lagi, aku menghapus air mataku dengan kasar dan bergerak cepat menuju kamar lantai atas, mendorong pintu dengan keras. Lalu mengemasi barang-barang Mas Arya ke dalam koper. Aku kembali turun dan melempar koper berisi barang-barang milik Mas Arya.
"Pergilah!" ucapku datar.
Mas Arya menghampiriku, memelul lututku.
"Maafkan, Mas, Ai."
Aku mundur satu langkah, "Berdirilah, kamu tidak perlu melakukan itu," ucapku dingin, sedingin hatiku yang membeku.
"Tolong maafkan, Mas! Jangan usir Mas, Ai, Mas mencintaimu!"
Aku tersenyum miring, masih sempat-sempatnya Mas Arya mengatakan 'mencintaimu' setelah apa yang telah ia lakukan padaku, bagai ditoreh sembilu hatiku, kesetian selama ini hanya berbalas luka dan dusta.
Aku kembali melangkah, meninggalkan Mas Arya dan Mbak Elma tak kupedulikan perkataan-perkataan mereka, aku berlari menuju kamar lalu mengunci pintu dengan rapat, aku bersandar pada pintu, tubuhku luruh dengan isak yang tak bisa lagi ku bendung menenggelamkan wajah diantara dua lutut.
Tega kamu, Mas. Lihat saja kamu akan menyesal telah melakukan ini padaku, dan Mbak Elma lihat saja aku akan membungkam mulut nyinyirmu yang telah mengatai aku tidak bisa merawat diri.
Bersambung ...
Permisi, Mbak ada paket untuk, Mbak!" ucap Mas kurir, sembari menyerahkan sebuah paket berukuran persegi."Pa-paket?" tanyaku heran. "Rasanya saya tidak pernah memesan barang!" Tanganku terulur menerima paket yang diberikan Mas kurir."Saya hanya mengantarkan sesuai alamat pesanan, Mbak," balasnya sambil tersrnyum. "Silahkan tanda tangan di sini, Mbak," sambungnya lagi sambil memberikan sebuah surat tanda terima paket.Aku pun menanda tangani kertas yang disodorkan Mas kurir tersebut. Setelahnya Mas kurir pun pamit. Karena rasa penasaran aku segera membuka paketnya.'Hallo, Mbak apa kabarmu? Aku ingin mengembalikan jam tangan Mas Arya, kemarin malam ketinggalan di kamarku, setelah kami memadu kasih'Seketika rasanya darah di kepalaku mendidih, membaca pesan ja*ang itu. Bre*gsek beraninya dia mengirim ini untukku. Aku meremas kertasnya lalu melemparnya dengan kuat.Kedebug!"Aww ...," pekikku.Tanganku menghantam pintu kamar, seketika aku pun terbangun. Entah sudah berapa lama aku me
Sesampainya di rumah, hatiku rasanya masih menyisahkan emosi sehabis bertemu perempuan itu, dengan perasaan jengkel aku memasukkan barang-barang yang tadi kubeli ke dalam kulkas. Snack, mie instan dan lainnya, tak lupa aku juga membeli sayur-mayur, daging dan juga ikan segar. Sebuah notif masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan dari Mas Arya. Aku sengaja tidak membukanya, apa lagi untuk membalasnya. Aku melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam kulkas.Selesai!Aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di atas kulkas. Lalu, menghubungi Hani sahabatku.[Han, lagi apa? Kalau gak sibuk pulang kerja mampir ya! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan] aku mengirim pesan pada Hani, tak lama kemudian pesanku di balas.[Oke, Bos] balasnya. Aku terkekeh, dasar si Hani. Kemudian pesan kembali masuk.[Jaga kesehatan ya!] pesan dari Mas Arya yang kesekian kalinya. Membuatku muak, percuma perhatian, tetapi ternyata tukang se*ingkuh.Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan gusar. Lalu, berlalu p
Selesai makan aku dan Hani berencana pergi nge-gym sehabis Zuhur nanti. Ini pertama kalinya aku pergi nge-gym lagi, setelah menikah. Dulu, sebelum menikah, aku sering nge-gym dan mendatangi pusat kebugaran, menjaga pola makan dan penampilan. Setelah menikah Mas Arya selalu memanjakanku, memberikan segala yang kusuka, dan kuinginkan. Selain itu juga, keahliannya di bidang memasak, juga salah satu faktor tumbuh kembangnya lemak dalam tubuhku, sementara untuk berolah raga aku sudah jarang, bahkan hampir tak pernah."Ai, kamu sudah siap?" tanya Hani, saat keluar dari kamar mandi."Udah nih, ayo berangkat!" ucapku.Karena libur aku sengaja meminta Hani untuk menginap di sini, dan tentunya sudah izin sama orang tuanya. Aku mengeluarkan mobil dari garasi, memanaskan mesinnya sebentar, lalu keluar dari gerbang menuju jalan raya.Selama perjalanan Hani tak henti-hentinya bernyanyi, menirukan penyanyi aslinya, headset yang terpasang di telinganya membuatnya sesuka hati menumpahkan suara cempr
Sejak memutuskan untuk diet aku selalu rajin melakukan olah raga, mulai dari Jogging, crunch, cardio, plank, jumping jacks dan olah raga lainnya, yang bisa di lakukan di rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan diri untuk lari ditempat sebanyak 23 kali sama seperti usiaku. Sudah minggu ketiga aku melakukan diet, dan usahaku tidak tidak sia-sia, berat badanku benar-benar berkurang sebanyak 16 kg. Aku begitu merasa senang. Pagi ini, selesai salat subuh aku melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sebelum berolah raga, aku terlebih dulu membuat sarapan sehat untuk diet. Omelet sayur dan sandwich alpukat. Tak lupa satu gelas susu. "Lagi masak apa, Non?" Tiba-tiba suara Bi Jana mengagetkanku yang tengah asyik membuat omelet sayur. "Bibi! Ngagetin aja." seruku dengan jantung seakan mau copot. "Maaf, Non!" ucap Bi Jana merasa tak enak. "Emang, Non lagi masak apa? Kayaknya senang banget, Nonnya?" tanya Bi Jana lagi. "Ini, Bi aku lagi masak om
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
"Mbak Elma, tadi ke sini?" Mas Arya bertanya sambil melepas dasinya."Ya begitulah," jawabku acuh tak acuh dengan posisi berbaring di atas sofa, sembari memainkan ponsel."Apa, Mbak Elma ada menggangumu lagi?" Mas Arya masih bertanya, kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatapku."Tidak, dia cuma ingin pinjam uang, dan aku tidak memberinya," ucapku santai, toh aku bukan lagi Aini yang dulu yang selalu nurut dengan keluarga Mas Arya. Mbak Elma pun ternyata tau prihal pernikahan Mas Arya dengan perempuan itu. Bahkan dia sendirilah yang terang-terangan memberitahuku.Sejak ia mengatakan bahwa Mas Arya sudah menikah lagi, sejak itu pula aku menganggapnya orang asing."Mas, minta maaf!" Suara Mas Arya terdengar menyesal. Ah, menyesalpun percuma nasi sudah menjadi bubur."Buat apa?" tanyaku, sambil terus memainkan ponsel. Biasanya saat Mas Arya pulang kerja aku selalu menyambutnya dengan hangat, membantunya melepas sepatu, dasi bahkan baju kemeja yang dikenakannya. Tetapi, itu dulu saat
Tiba di rumah, suasana nampak sepi dan lenggang. Sepertinya Mas Arya belum pulang. Aku segera menuju lantai atas, ingin segera melepas lelah dan penat dengan berendam di bathup. Saat membukakan pintu betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang membuat emosiku seketika mendidih.Kulihat Anita dengan santainya sedang bersandar di kepala ranjang , sambil memakai baju tidurku. Menyadari kedatanganku, ia segera bangkit dan menghampiriku sambil melipatkan tangan di dada, dan tersenyum sinis. Pamandangan yang sangat wow bukan?"Mulai sekarang kamar ini, Butik jadi milikku, dan kamu harus angkat kaki dari rumah ini!" Telunjuknya mengarah ke wajahku, ia berucap begitu percaya diri, tanpa rasa malu.Ha, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang sudah seperti seorang bos, dan apa katanya aku harus angkat kaki dari rumah ini? Benar-benar lelucon."Atas dasar apa kamu menyuruhku pergi?" tanyaku santai.Anita tertawa seolah pertanyaanku terdengar lucu. "Jelas saja. Karena mulai sekara