Share

Chapter 8. Nilakandi

Selesai mandi, badan diwa justru semakin panas, nafasnya bahkan sedikit tak beraturan. Pusing itu menyerang lagi padahal ia harus segera berangkat kerja. Tepat ketika ia hendak mengambil obat darurat di nakas, bel pintu berbunyi.

Siapa? Pikirnya. Karena memang tak banyak yang tahu apartemen Diwana, atau lebih tepatnya karena temannya pun tak banyak juga. Hanya Aiden, bunda, dan duo Jovyan Tama saja yang pernah mampir.

“Maaf, siapa?” tanya Diwa dari interkom pintu rumahnya.

“Mmm.. maaf mengganggu, saya penghuni baru yang pindah hari ini ke rumah 092. Apakah kakak punya nomor telepon SE yang bisa dihubungi? Interkom pintu rumah saya sepertinya bermasalah, jadi saya belum bisa masuk,” ucap suara dari seberang pintu yang ternyata adalah seorang perempuan.

Dengan masih menahan sisa pening di kepalanya, Diwana mengambil kartu nama sales executive gedung yang ia simpan di dompet.

Begitu ia membuka pintu, pandangannya langsung terkunci pada kedua netra perempuan yang juga tengah menatapnya itu. Dunia Diwana berhenti. Waktu yang berjalan seakan seketika berhenti berotasi, detak jam dipergelangan tangannya yang beradu seakan enggan memutar.

Sedetik kemudian, samar-samar mulai terdengar bunyi gemericik lonceng-lonceng kecil dan deburan ombak di kedua telinganya. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Agak sesak ia dibuatnya, mirip seperti saat ia masih sakit dahulu.

Itu dia. Benar, perempuan itu. Biru, gadisnya.

Bagaimana ia tidak terkejut? Perempuan yang selama enam tahun belakangan ini menghantuinya lewat mimpi-mimpi, kini berdiri didepannya secara nyata, hidup, bernafas, bahkan sempat tersenyum kecil padanya.

Bukan gaun biru, perempuan itu mengenakan gaun lengan panjang berwarna putih selutut dengan rambut terurai persis seperti di mimpi Diwa.

Diwana terpaku selama beberapa saat, seakan mau meledak jantungnya. Otaknya tidak bisa diajak berfikir sama sekali, tidak ada satupun skenario yang bisa ia ciptakan untuk menjelaskan situasi didepannya.

“B-biru...” ucap Diwa lirih seraya menghambur memeluk perempuan yang ia beri nama Biru itu. Ia kira itu halusinasi, tapi bahkan peluknya terasa nyata. Semuanya nyata.

“Biru...” lirihnya lagi dibalik punggung sang gadis.

Badan Diwana yang panas karena tengah demam bisa merasakan dinginnya kulit wanita itu, semakin meyakinkannya bahwa semua itu bukan delusi semata.

Gadis itu tidak pergi, tidak juga berubah menjadi kepulan asap yang melenyapkan. Meskipun Diwana memeluknya erat, menyentuhnya, membelai surainya, gadis itu tetap tidak pergi, tak seperti peraturan di mimpinya. Bahkan perempuan itu barusan berbicara, padanya, pada Diwana. Begitu kira-kira isi pikiran kacau Diwana, yang kemudian dihentikan oleh rintihan seseorang yang masih erat direngkuhannya.

“K-kak, ma-af kakak s-siapa?” Perempuan itu berusaha menjauhkan si laki-laki yang dimatanya terlihat sangat asing. Tangan mungilnya bermaksud melepaskan peluk yang semakin dirasa semakin mengerat, namun ia tak berdaya, hingga akhirnya berucap lagi.

“S-saya nggak b-bisa n-nafas k-kak...” ucapnya terbata-bata. Sontak Diwa tersadar dari pikiran yang beberapa saat lalu seakan telah menyihirnya. Spontan Diwa melepaskan pelukan itu, disambut pandangan ‘meminta penjelasan’ si perempuan.

Tapi tanpa sadar, air mata justru menggenang di pelupuk matanya, membuat perempuan itu membulatkan mata. Seorang petugas jasa pindahan yang baru saja datang membawa barang pun dibuat keheranan dengan adegan tak biasa barusan. Perempuan itu sepertinya sudah merasa canggung dan ingin sekali pergi dari sana, tak suka menjadi pusat perhatian.

“K-kak?” panggilnya.

“Kakak menangis? Maaf, tapi kakak kenal saya? Sepertinya kakak salah orang” Kali ini tatapan mereka beradu lagi. Air mata Diwana akhirnya jatuh juga, berkali-kali. Merekapun menjadi pusat atensi petugas kurir yang masih menatap curiga.

“K-kak?”

“KAK?? DARAH...” teriak si gadis panik saat melihat darah mengucur dari hidung Diwa, mimisan. Ia kemudian menyodorkan sapu tangan putih bersih dari tas kecilnya, yang langsung disambar Diwa tanpa pikir panjang. Si kurir yang sedari tadi mengamati pun ikut menguping ria sambil pura-pura menyibukkan diri.

“K-kamu.. siapa?” suara Diwa akhirnya. Ia masih tidak percaya si Biru benar-benar hidup didepannya. Otaknya dibuat lebih pusing dari sebelumnya, seakan melihat sketsa gambarnya hidup dan berbicara.

“Saya? Penghuni baru kamar 092, Kak. Baru pindahan hari ini. Nggak papa kak, saya anggap tadi nggak terjadi apa-apa. Lupakan saja.” Si gadis asing iba melihat lawan bicaranya sepucat itu.

“Nama kamu, nama kamu siapa?” Diwana sedikit terbata, pening dikepalanya menyeruak lagi. Tangannya menggenggam erat sapu tangan yang penuh darah. Matanya tak lepas dari si gadis.

“Ka-kandi, Nilakandi” jawabnya ragu-ragu.

Mata Diwana hanya bolak balik melihat kedua netra gadis bernama nilakandi itu bergantian. Sesekali perempuan itu melirik risih kearah si petugas yang masih setia menguping didekat mereka.

Kemudian, dengan tanpa permisi Diwana meraih pergelangan tangan perempuan didepannya, menjauh dari sana. Tanpa menunggu persetujuan, ia membawa perempuan itu masuk kedalam lift, menekan tombol lantai satu. Diam-diam perempuan bernama Nilakandi itu bergumam dalam hati.

“Kenapa aku diam saja? Laki-laki ini siapa?”

“Nilakandi bodoh, dia itu orang asing”

Hati Diwana masih tak tenang, meskipun anehnya pening di kepalanya justru mendadak hilang. Diwana mematung menghadap kearah pintu, tak berniat melepaskan genggamnya. Ini adalah pertama kali Diwana memegang tangan seorang perempuan-kecuali bunda-di usia yang sudah berkepala dua.

Sedangkan perempuan bernama Nilakandi itu diam-diam mengamati sosok lelaki asing yang sudah memeluknya tanpa aba-aba, kemudian menangis didepannya, lantas menggenggam pergelangan tangannya tanpa permisi, dan kini diam membisu mendiamkannya.

“Kamu siapa?” Lagi-lagi Nilakandi hanya bisa bersuara dalam hati. Entah bodoh atau memang hanya polos saja, tapi Kandi justru entah kenapa merasa ‘suka’ dengan genggaman tangan lelaki itu di pergelangannya yang sejujurnya terasa agak nyeri. Tapi ia bahkan sempat tersenyum untuk sepersekian detik sebelum akhirnya kembali tersadar dari lamunan.

“Bodoh, dasar bodoh” gumamnya lirih sambil masih menatap tangannya yang digenggam. Diwana yang mendengar pun langsung menoleh. Melihat Nilakandi menatap lekat kearah tangan mereka yang berpaut, ia segera melepas genggaman tangan itu yang sebetulnya tidak ia sadari sejak tadi.

“Maaf, bukan maksud saya” Nilakandi diam saja memandang gelagat lucu Diwana, ia menanggapi dengan senyuman kikuk.

Begitu pintu lift terbuka, Diwana melangkah keluar. Namun sadar perempuan dibelakangnya tak mengikuti, ia pun berbalik.

Tepat saat pintu lift hampir tertutup kembali, Diwana segera menyodorkan tangan kanannya.

“Saya, Diwana,” ucapnya agak tertahan.

“Saya boleh minta waktu kamu sebentar? Mungkin tiga puluh menit?” imbuh Diwana, menatap lekat netra Nilakandi.

Mata itu, entah kenapa terasa begitu menenangkan. Suara itu juga, entah kenapa terdengar nyaman di telinga. Seperti tersihir, tanpa disadari tangan kanan Nilakandi sudah berjabat dengan tangan Diwana. Perempuan itu lantas mengangguk tanda persetujuannya.

“Iya, Kak Diwana.”

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status