Dalam sesaat, Sinta tidak ada reaksi.Sedangkan Anton terdengar sangat senang, dia mengatakan kalau tidak hanya biaya pengobatan saja, keluarga Wijoyo juga telah memindahkan ibu mereka ke bangsal VIP dengan perawat khusus yang menjaga, bahkan mengunakan obat impor terbaik."Kak, sebenarnya ayahmu masih mengenang cinta lamanya pada ibu," kata Anton dengan senyuman yang polos. "Sudah, yah. Aku harus pergi belajar dulu.""Omong-omong ... kak, jangan lupa uang buku pelajaranku. Di kelasku, hanya aku yang belum bayar!""Oh ..." Sinta mengiyakan. Sampai Anton menyelesaikan panggilan itu, Sinta masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.Kesadaran Santi untuk bermurah hati?Apa benar Hendra Wijoyo masih mengenang cintanya pada ibu?Kemungkinan-kemungkinan seperti ini tampaknya sangat kecil.Memikirkan perlakuan keluarga Wijoyo padanya tempo hari saat kembali ke rumah orang tua, Sinta sudah tidak menaruh harapan pada mas kawin senilai enam ratus juta ini.Tidak disangka ....Sinta buru-buru
Billy menepuk pahanya sendiri setelah menyadari kalau dia baru saja membuat masalah besar."A ... Agus, kamu harus membantuku!" Billy tidak bisa tertawa apalagi menangis. "Aku tidak pernah berpikir untuk merebut wanita Kakak ketiga! Apalagi wanita seperti Sinta yang lemah lembut itu sama sekali bukan seleraku! Aku tidak tahu apa yang salah dengan Kakak Ketiga? Dia bisa menyukai ...."Agus menyeruput seteguk kopi dan tersenyum penuh makna.Iya, Agus sendiri juga tidak tahu kalau Tuan Muda keluarga Hidayat yang selama ini tidak dekat dengan hal-hal yang berbau wanita dan terkenal acuh tak acuh itu, tidak hanya berubah menjadi Dani Setyawangsa saja, tetapi juga menjadi begitu terobsesi dengan wanita imut-imut seperti Sinta."Bukankah Kakak Ketiga sudah mengatakan kalau dia tidak peduli dengan pernikahan ini. Dia hanya menggunakannya sebagai cangkang untuk penyamarannya."Kamu percaya omongannya?" Agus menjelingnya dan berkata, "Lihat saja nanti. Aku melihat Sinta ini tidak sesimpel itu. H
"Pengantin baru secantik ini, bisakah dia membuat martabak manis?" Beberapa orang berkumpul di depan rumah Dani, tersenyum nakal di hadapan Sinta. Di sekitar mereka, banyak orang yang menonton, tetapi para preman ini memiliki reputasi buruk, mereka suka menindas penduduk desa. Jadi, tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka. Para penduduk lainnya hanya menonton keramaian dengan pandangan sinis. Semua ini gara-gara Sinta terlalu cantik dan Dani yang terlalu ceroboh membiarkan istrinya berada di rumah sendirian. Bukankah ini sama saja dengan memberikan kesempatan pada mereka? Jantung Sinta berdebar-debar, wajahnya pun pucat. Akan tetapi, dia masih mencoba untuk tetap tenang. "Aku dengar, si pengantin wanita ini adalah anak dari keluarga kaya raya?" "Tak heran, anak orang kaya tidak pernah memasak di dapur? Bagaimana mungkin dia bisa membuat martabak manis?" "Sayang, kamu mungkin tidak mengerti aturan kami di sini."Mata para preman itu terpaku pada tubuh Sinta. "Di tempat k
“Jangan khawatir, aku ada di sini.”Dani membiarkan Sinta masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan baik.Sinta masuk ke dalam rumah dengan patuh, tetapi Dani tidak ikut masuk. Dari dalam rumah, Sinta mendengar suara gaduh yang disusul dengan suara memekik kesetanan, bahkan ada yang melolong kesakitan.Dari jendela, Sinta melihat para preman itu dipukul habis-habisan, sampai babak belur dan bersembah sujud di tanah, meminta ampun pada Dani. Ada banyak darah yang berceceran di tanah.Akan tetapi, Dani masih belum puas melampiaskan amarahnya, dia memungut kembali tongkat yang dipegang Sinta tadi, lalu menghantamnya ke kaki salah satu pria itu dengan keras ....“Awas, kalau masih berani menganggu istriku. Kalau tidak, bukan hanya kaki saja yang patah lain kali!” Suara Dani sangat tajam, tetapi setiap kata terdengar sangat jelas dan penuh dengan keseriusan.Beberapa preman itu langsung lari terbirit-birit.Sinta bersembunyi di balik pintu, dia berusaha menekan ketakutan yang membuat
Keduanya langsung tercengang bersamaan.Sorotan mata Dani memberikan isyarat pada Sinta untuk pergi ke kamar dan berdiam diri di dalam, dia sendiri yang akan pergi membukakan pintu.Lukas berdiri di luar pagar dengan ekspresi sangat cemas.“Dani, kudengar kamu memukul orang ....” Sebelum selesai berbicara, Lukas melihat bercak darah di baju Dani dan menahan napas, “Astaga, ternyata benar!”“Hanya beberapa preman saja,” kata Dani dengan enteng. “Lagi pula, aku tidak memukul mereka hingga parah, mereka tidak akan mati.”“Belum parah?” Lukas menarik Dani ke samping dan berkata dengan suara rendah, “Organ dalamnya saja pecah! Sekarang mereka harus dikirim ke rumah sakit di Kota Semarang!”Alis Dani berkedut, tetapi wajahnya tetap tak berekspresi.Mereka sendiri yang berulah, siapa suruh mereka berani menggoda Sinta? Bahkan dipukul sampai mati pun, bukanlah hal yang berlebihan.“Oh ya, ada seorang lagi yang kakinya patah karena ulahmu?” Lukas sangat cemas, “Apakah kamu tahu siapa ayah orang
Pertemuan pagi itu terasa sangat sulit dilewati.Sinta merasakan sorotan mata Tomi yang sering merayap ke bagian tubuhnya, dia juga merasakan mata Widia yang setajam pisau itu seakan-akan menusuk ke tubuhnya dengan keras.Jadi setelah pertemuan berakhir, sebelum Tomi sempat berbicara, Sinta sudah tersenyum sopan dan mencari alasan untuk meninggalkan ruang pertemuan.Sebelum pergi, Sinta mendengar suara Widia mengamuk di dalam, “Ada apa denganmu? Melihat kuntilanak itu, kamu langsung lupa diri dan menatap dia terus, 'kan! Dasar mata keranjang, tidak bisa berubah!”Jantung Sinta berdetak kencang.Saat waktu istirahat siang, Sinta menceritakan hal ini pada Jessika. Jessika juga sedikit terkejut, dia tidak menyangka akan terjadi hal kebetulan seperti ini. Di dalam perusahaan yang begitu besar, Sinta bisa begitu kebetulan bertemu dengan dua orang yang merepotkan ini.“Kelak kamu harus lebih berhati-hati, kalau bertemu dengan mereka,” bisik Jessika. “Sinta, aku tidak berada di departemen pen
“Departemen penjualan adalah salah satu departemen terpenting dalam perusahaan.” Widia sengaja menyindir Sinta pada setiap pertemuan rutin, “Ada orang yang memang tidak berbakat dalam penjualan, lebih baik tidak menempati posisi ini dengan memberikan kesempatan pada orang lain yang lebih mampu!”“Perusahaan kita bukan tempat untuk makan gaji buta, jadi sebaiknya kalian mengetahuinya. Seperti orang yang tidak mendapat pesanan satu pun dan hanya bisa mendapatkan gaji pokok saja, benar-benar harus mempertimbangkan arah tujuannya kelak!”Sinta menundukkan kepalanya dan mengerutkan keningnya sepanjang sore itu.Setelah melewati hari yang berat dan melelahkan itu, akhirnya Sinta pulang kerja. Begitu sampai di rumah, Sinta melihat Dani duduk ongkang kaki di sofa sambil memandangi ponselnya. Dani tampak seperti seorang taipan. Sinta masuk ke dapur, meja dapur masih kosong melompong, bahkan saat dia hendak meminum seteguk air hangat pun tidak ada.Semua kekesalan yang Sinta pendam sepanjang har
Sebelum Sinta sempat menolak usulan tersebut, dia sudah diseret keluar rumah oleh Dani.Dalam perjalanan, Sinta tidak mengatakan sepatah kata pun, dalam benaknya dia memikirkan masalah gajinya yang kecil itu, apakah cukup untuk bayar tagihan makanan.Sinta mengintip Dani, membayangkan kalau selama ini kehidupan Dani hidup terisolasi dalam kemiskinan, jadi Dani mungkin saja tidak tahu restoran mana saja yang ada di Kota Semarang?Sesuai dengan kemampuan konsumsi Dani, mungkin warung di pinggir jalan saja sudah bisa mengatasinya.Apalagi ada beberapa warung yang memang bisa bebas menambah nasi putih tanpa batasan, jadi seharusnya cukup untuk dimakan Dani.Sinta menundukkan kepalanya dan tersenyum.Sejak menikah, Sinta selalu menghemat, terutama pengeluaran yang bersifat konsumtif, dia biasanya membeli sayuran yang harganya paling murah untuk memasak. Dia pernah mendengar dari seorang pelayan tua keluarga Wijoyo kalau hal yang paling menakutkan bagi para pasangan muda adalah kehilangan ga