Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.
Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.
Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola.
Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.
Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara.
Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pembeli di dalam dan di luar negeri, jangkauan yang tidak terbatas. Aku juga mengikuti pameran yang disponsori oleh departemen perdagangan.
Sampai sekarang, usaha ini berkembang pesat. Aku membangun sistem kerja, sehingga perusahaan tetap jalan, walaupun aku tidak berada di kantor sepanjang waktu.
Hal-hal kunci saja yang tetap di tanganku, seperti design dasar dan tema di setiap musim, juga pengeluaran anggaran dana di setiap musim produksi.
Designku ini yang menjadi identitas disetiap produk yang berlabel, Lintang Soul.
"Astuti ... Astuti .... Buka pintu, ini Bulek Ningsih." Namaku dipanggil sambil ketukan di pintu kamar. Segera aku membukanya.
"Tik, ke depan, yuk. Pak Salim beli martabak," ucap Bulek Ningsih sambil menarikku untuk mengikutinya.
Pak Salim memang tinggal di rumah ini juga, tetapi di bangunan terpisah. Di depan dekat pintu gerbang, ada bangunan kecil sebagai tempat tidur Pak Salim. Sekalian jaga dan membukakan pintu gerbang saat ada yang datang.
"Kok sepi, Bulek?" tanyaku setelah melihat ke sekeliling. Di garasi tinggal satu mobil tua yang parkir, mobil Den Langit tidak ada.
"Den Ajeng dan Den Langit pergi kondangan. Temenin saya di sini, ya," sahut Pak Salim.
Kami berbincang, sekalian aku menggali informasi tentang mereka berdua. Mereka sudah lama kerja di sini, malah semenjak Den Langit sejak bocah.
Mereka juga bertanya tentangku. Aku ceritakan saja bahwa aku sebatang kara, pastinya tanpa menyebut pekerjaanku sebenarnya.
"Sabar, ya. Anggap saja kami ini saudaramu. Jangan merasa sendiri," ucap Bulek Ningsing sambil menepuk bahuku.
Sebenarnya, aku tidak suka menceritakan hal ini. Teringat kejadian tragis itu, membuat hatiku terasa perih kembali.
Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan menikmati martabak telor ini. Mengusir sedih di hati.
Makan apapun kalau bersama-sama, rasanya lain. Aku merindukan kebersamaan ini. Sudah lama, aku tidak makan sambil berbincang santai seperti ini.
Keseharianku selama ini diisi dengan bagaimana cara supaya berkembang atau sekadar bertahan, minimal bisa menggaji karyawan. Perbincanganku hanya seputar pekerjaan dan teman berbicara pun para manager.
Setelah mulai menulis, aku seperti mendapatkan dunia baru, teman, sahabat, bahkan penggemar. Walaupun ini sekadar di dunia maya. Aku bisa saling menyapa tanpa ada jarak.
Pernah aku mempunyai penggemar yang ternyata penjahitku sendiri. Awalnya, aku tidak mengenalnya karena dia bagian produksi. Dari dialah, aku bisa berbincang biasa seperti sekarang. Bertanya tentang apa yang diharapkan atau apa yang dikeluhkan, tanpa ada canggung.
Ya iyalah, dia hanya tahu sebatas nama pena.
Selama mendengar obrolan mereka, aku melirik mobil antik yang kelihatan tetap mengkilap. Mobil Jaguar klasik Land Rover berwarna tosca.
Aku penasaran.
"Pak Salim, itu mobil siapa? Bagus."
Bulek Ningsih dan Pak Salim langsung terdiam, saling pandang dan menatapku bersamaan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini?
Bulek Ningsih mengusap kedua lengan dan menoleh ke kanan kiri. "Astuti ... jangan tanya hal gituan. Aku merinding," celetuknya.
Aku semakin tidak mengerti, menoleh ke arah mobil itu. Warna tosca dengan lampu bulat berbingkai warna silver, terlihat cantik. Apalagi jaguar loncat menambah mobil ini terlihat berkelas. Aku suka.
"Itu mobil Den Besar, suaminya Den Ajeng. Mobil inilah yang dipakai saat kecelakaan itu," ucap Pak Salim dengan suara pelan. "Sejak itu, mobil tidak pernah dipakai, yah, paling saya yang panasin putar komplek saja."
"Awalnya, pintu depan penyok. Setelah dimasukkan bengkel, jadi bagus lagi," tambah Bulek Ningsih.
"Kadang-kadang, Den Langit duduk di dalam mobil itu. Lama banget." Tatapan Pak Salim menerawang, tergambar kesedihan. "Anak itu, kasihan. Sejak ditinggal keduanya, hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, kerja dan kerja terus. Penampilan sampai tidak terurus seperti itu."
"Iya, Tik. Walaupun penampilannya sangar, Den Langit itu hatinya lembut. Kalau marah atau ngomel, kami ini maklum. Mungkin dia capek kerja. La wong kata orang, pabrik batik dulunya hampir bangkrut."
"Tapi sekarang maju, Yu," sahut Pak Salim memotong ucapan Bulek Ningsih. "Sekarang itu, malah yang datang wong Londo. Embuh bicara apa. Cas cia cus, gitu."
"Den Langit, bisa?"
"Wah, malah lancar. Mereka pesan banyak, malah pabrik sekarang kewalahan."
"Memang Kang Salim tahu, mereka omong apa?"
"Ya tidak tahu. Kira-kira aja!" jawab Pak Salim sambil tertawa, disambut gelak tawa Bulek Ningsih.
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Ada rasa pengertian dan sayang saat Den Langit kelihatan lelah, dan ada harapan ketika yang diusahakan mulai berkembang. Rasa sayang terpancar dari ucapan mereka
"Astuti, kita tidur, yuk. Katanya besuk akan pergi dengan Den Langit?"
"Eh, iya, Bulek. Aku hampir lupa."
Duh iya, aku lupa belum tahu caranya meloloskan diri. Ini tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau aku benar-benar tidak bisa, mungkin karena sakit.
Yah, betul!
Karena sakit.
***
"Tik ... Astuti ...." Suara Bulek Ningsih, kemudian terdengar pintu dibuka pelan.
"Kamu sakit, Tik? Badanmu kok panas?!"
Tangannya meraba keningku, aku membuka mata dan mencoba menjawab pertanyaannya. Namun, aku tidak mampu. Tenggorokanku serak dan sakit. Penyakitku kumat.
Yes!
Usahaku berhasil!
Bulik Ningsih menyelimutiku sampai leher, dan memastikan kakiku juga terselimuti. Aku menatapnya nanar sambil menunjuk leher ini.
"Kamu istirahat saja, Bulek yang nyapu. Dibuatkan teh anget, ya. Nanti tak ngomong ke Den Langit, kamu sakit," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.
Aku tersenyum lemas teringat usahaku tadi malam. Radang tenggorokanku pasti kambuh saat minum air dingin, apalagi air es dalam jumlah banyak. Itu yang aku lakukan semalaman. Ditambah, kipas angin yang terpusat kepadaku dengan kecepatan maksimal.
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak.
Ini demi riset untuk tulisanku berikutnya.
Duh!
Sampai berkorban seperti ini.
*****
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?
"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas
Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini."Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. "Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?""Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus."Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya."Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk lan
POV Langit BaskoroSemenjak meninggalnya Romo Baskoro dan Mas Bumi, duniaku menjadi terbalik.Keseharianku yang biasanya pergi ke kampus, nge-band, dan nongkrong di cafe, hilang sekejap. Tiba-tiba tanggung jawab besar tertumpuk di pundakku. Aku harus bertanggung jawab dengan keluarga dan perusahaan.Memang dalam keluarga ada dua putra, aku dan Mas Bumi. Namun, Romo lebih menyiapkan Mas Bumi sebagai putra pertama sebagai pemegang pabrik batik. Awalnya merasa tersisih, dan aku merasa Mas Bumi dianak emaskan. Mas Bumilah yang memberiku pengertian."Dek Langit, Romo tidak bermaksud seperti itu. Malah sebenarnya, Mas ingin seperti Dek Langit. Diberi kebebasan untuk kuliah apapun dan bisa ngumpul dengan teman. Lihat Mas, kuliah diharusnya mengambil managemen bisnis. Setelah itu langsung ke pabrik sampai sore. Teman pun, hanya orang pabrik atau relasi bisnis," keluhnya kala itu. Kami mempunyai kebiasaan menghabiskan malam dengan bernyanyi dan mengobrol di halaman belakang. Itu karena hanya