Kurang lebih lima menit kemudian Laura turun dengan keadaan sudah berganti pakaian. Gadis itu memakai dress warna peach dengan pita yang terikat di belakangnya. Sedangkan rambutnya yang agak pirang dan panjang itu dibiarkan tergerai begitu saja.Untuk menambah kesan manis dan simpel, Laura hanya mengambil sedikit rambut bagian luar kanan kirinya, lalu di satukan ke belakang dengan memakai jepit rambut yang berukuran kecil.Ivan menatap gadis yang baru saja tersebut. Tanpa Laura ketahui, Ielaki itu sudah memandanginya selama beberapa lama karena merasa ‘tersepona’ dengan penampilan Laura saat ini.Laura tidak tampak berumur 23 tahun, dia malah justru seperti seorang gadis SMA yang baru saja tamat sekolah. Wajahnya imut, tubuhnya kecil, bulu matanya lentik dan bibirnya ... merah, kecil, namun sedikit tebal di bagian bawahnya seperti bibir Donald Duck yang sering di tonton anaknya di televisi, begitulah yang sedang Ivan umpamakan.“Jadi berangkat nggak, sih?” Laura bertanya kepada lelaki
Keduanya termenung dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Salah tingkah, Laura segera memundurkan tubuhnya. ‘Apa aku sudah gila?’ batinnya begitu heran. Bahkan jantungnya kini terasa melompat seperti akan keluar dari tempatnya. Sudah jelas-jelas, Kenzo memanggil ‘Papanya’, namun kenapa dia malah menyodorkan tubuhnya ke sana?Laura hanya tak ingin nanti Ivan salah mengira bahwa ia dengan berkelakuan seperti ini lantaran sedang berusaha menggodanya. Ah, ini sangat memalukan sekali.“Saya nggak bermaksud ngapa-ngapain, kok, Pak. Jangan salah sangka,” kata Laura membela diri agar Ivan tak berpikir macam-macam.Ivan hanya menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya pria tersebut menundukkan pandangannya lagi ke bawah. Memastikan keadaan anaknya yang tadi memanggilnya. Tetapi rupanya, Kenzo hanya mengigau saja.Terdengar helaan napas dalam dari pria itu, sebelum akhirnya dia menegakkan tubuhnya kembali. Namun tatapannya masih enggan berpaling dari putranya tersebut.“Aku harap ka
Hari telah beranjak siang, matahari mulai naik merangkak ke atas kepala, yang sinarnya mencapai kedalaman ruangan-ruangan gedung melalui kaca jendela.Kedua manusia berisik; Laura dan Kenzo sudah bangun beberapa puluh menit yang lalu dan kini sedang duduk di sofa besar, tidak jauh dari meja kerja Ivan berada.Memang tidak mengganggu, mereka sedang membuat dunia sendiri dengan cara bercanda dan saling menggelitik tubuh masing-masing. Tetapi lagi-lagi membuat fokus Ivan menjadi ambyar tak karu-karuan adalah karena merasa tertarik dengan keseruan mereka.Bibirtegas Ivan mengulum senyum membayangkan kehidupannya di masa depan nanti. Akankah seperti ini? Tetapi dengan ia bergabung bersama mereka di sana.Terkadang Ivan bertanya-tanya sendiri. Siapakah kira-kira orang yang akan menjadi jodohnya kelak? Rasanya sangat sulit sekali mencari wanita yang benar-benar tulus mencintainya selain mempunyai maksud tertentu. Dan ini sudah ia buktikan selama beberapa kali sehingga ia lebih memilih untuk
Seraya turun, Laura terus menatap ke bawah dengan terus memaki pelan seolah lantailah objek sasaran kemarahannya. Sebenarnya ia ingin sekali bebas, bisa tidur sendiri dan berguling semaunya, tetapi kenapa harus tidur sama anaknya om tua lagi?Tetapi kalau dilihat dari sisi nurani, Laura juga tidak mungkin tega membiarkan Kenzo tidur sendirian. Lagi pula, ini adalah bagian dari pekerjaannya menjaga Kenzo agar dia selalu baik-baik saja. Ah, memang menyebalkan sekali menjadi orang yang serba salah begini.Seperti biasa, dia terus menyebut kata monyet yang dibalik seolah sedang berzikir. “Tenyom, tenyom, tenyom, tenyom.”“Oh, Ayah sedang perjalanan ke sini?” terdengar suara Ivan sedang menelepon di ruang tengah. “Sudah sampai mana? Hem, iya. Tapi cucu Ayah sudah tidur. Iya, Yah. Iya.”Bersamaan dengan itu, ponsel yang ada di kantong piyama Laura juga berdering. Ternyata dari Yuna. Tak mau obrolannya di dengar, Laura menuju ke depan rumah. Melewati Om tua yang kini baru saja menutup telepo
“Sudah,” ujar Laura setelah selesai. Ivan cepat-cepat memundurkan wajahnya sebelum gadis itu mendapatinya demikian.Laura tersenyum dan menatapnya sekilas. Kemudian memasukkan kembali salep tersebut ke tempatnya. “Kalau gitu saya ke kamar dulu, ya. Mau rebahan.”“Tunggu, ada yang ingin saya tanyakan,” ucap Ivan menahan Laura sebelum gadis itu beranjak berdiri.Laura hanya menaikkan alis, seolah sedang bertanya, ‘Apa?’“Jelaskan, kenapa kamu bisa sampai di sini.”Laura tersenyum. “Karena saya membutuhkan pekerjaan, jadi saya bisa sampai di sini,” jawabnya tak ingin membahas lebih lanjut. “Ya, saya tahu kamu butuh pekerjaan. Tapi pasti kamu punya penyebabnya,” kata Ivan selanjutnya. “Benar kamu sepupunya pacar Fero?”“Iya benar, Pak,” jawab Laura. Mendadak gadis itu merasa getir, “Bapak nggak percaya, ya? Kalau saya ini orang baik-baik. Saya masuk ke sini nggak bermaksud jahat kok. KTP saya juga sama Bapak sekarang, kalau saya ketahuan berbuat jahat, Bapak bisa langsung laporin saya ke
Wijaya menyoroti tajam putranya yang kini sedang kedapatan berduaan dengan gadis yang masih belia.Batinnya bertanya-tanya sekaligus merasa was-wasdan gelisah. Apalagi yang dilakukan Ivan kali ini? Berani sekali dia membawa seorang perempuan tidur di rumahnya.Ya, tidak salah bukan, apa yang dilihatnya sekarang? Buktinya gadis itu sudah memakai piyama, itu artinya dia tinggal di dalam rumah ini.“Tidakkah kamu belajar dari kesalahanmu sebelumnya?” tanya Wijaya dengan nada dingin.“Tolong jangan sangka kami sedang berbuat macam-macam. Kulitku ruam karena tersiram kopi panas,” ujar Ivan berusaha menjelaskan secara lugas ditengah-tengah kepanikannya.Laura yang tadinya diam kini ikut menyahut untuk membela diri, “Percaya sama kami, Om. Kami nggak ngapa-ngapain. Saya yang ceroboh udah bikin Pak Ivan kesiram kopi panas. Makanya dia lepas baju.”Laura mengambil kaus Ivan yang tadi dilepas. Lalu menunjukkan noda kopi yang tercetak di sana agar Wijaya lekas percaya kepadanya, “Ini, Om. Kita n
Pagi mulai menjelang. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Kali ini, Laura tidak kesiangan lagi seperti kemarin. Gadis itu sudah bisa bangun pagi walau sangat terpaksa. Dia keluar dari kamar Kenzo dengan mata terpejam dan berjalan sekonyong-konyong menuju ke arah tangga bagian belakang.“Laura! Laura!” panggil Mira dari tengah-tengah tangga.“Hah?” Laura membuka matanya segera. Dia menengok kanan dan kiri kebingungan mencari sumber suara. “Iya, Mbak?” ucap Laura ketika sudah dapat menemukan siapa orang yang memanggilnya.“Makanya kalau bangun itu usahakan duduk dulu sampai nyawamu terkumpul. Supaya nggak kacau begini.”“Memangnya kenapa?”“Itu remot TV kamar Kenzo ngapain kamu bawa-bawa?”Laura sontak melihat benda yang ia bawa dan langsung tergelak. “Ya ampun, aku kira ini ponselku. Astaga!” perut Laura terasa terguncang. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kini dibawanya karena ternyata bukan benda pipih miliknya.“Ya sudah, kamu taruh di situ saja dulu, nanti saya yang bawa
Laura tercenung mendengar pernyataan duda beranak satu ini. ‘Apa katanya? Minta menikah denganku?Ha, yang benar saja! Aku ke sini mau kerja—ya, hanya itu. Bagaimana mungkin baru beberapa hari aku pergi dari rumah lalu tiba-tiba menikah dengan seorang laki-laki kaya?Terlihat jelas gambaran orang lain aku nggak mau terlihat miskin. Aku menikmati proses ini, kok. Aku senang menjadi orang biasa-biasa saja. Karena sederhana itu ternyata lebih menyenangkan. Aku bebas. Tidak ada yang menuntutku untuk selalu menjaga penampilan agar selalu terlihat mahal.Aku sudah menjadikan semua kenangan pahit ini sebagai proses pendewasaan aku. Karena aku percaya, Tuhan sayang sama aku dan nggak mau aku berlama-lama hidup sia-sia seperti sebelumnya.’“Ra...,” ucap Ivan setelah beberapa lama mereka terdiam dalam posisi yang sama. “Nggak usah bercanda!” ucap Laura setelah ia dapat berpikir secara logis. Gadis tersebut memilih untuk tak mengindahkan ucapan ngelindur Ivan barusan di siang bolong seperti ini