Pagi mulai menjelang. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Kali ini, Laura tidak kesiangan lagi seperti kemarin. Gadis itu sudah bisa bangun pagi walau sangat terpaksa. Dia keluar dari kamar Kenzo dengan mata terpejam dan berjalan sekonyong-konyong menuju ke arah tangga bagian belakang.“Laura! Laura!” panggil Mira dari tengah-tengah tangga.“Hah?” Laura membuka matanya segera. Dia menengok kanan dan kiri kebingungan mencari sumber suara. “Iya, Mbak?” ucap Laura ketika sudah dapat menemukan siapa orang yang memanggilnya.“Makanya kalau bangun itu usahakan duduk dulu sampai nyawamu terkumpul. Supaya nggak kacau begini.”“Memangnya kenapa?”“Itu remot TV kamar Kenzo ngapain kamu bawa-bawa?”Laura sontak melihat benda yang ia bawa dan langsung tergelak. “Ya ampun, aku kira ini ponselku. Astaga!” perut Laura terasa terguncang. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kini dibawanya karena ternyata bukan benda pipih miliknya.“Ya sudah, kamu taruh di situ saja dulu, nanti saya yang bawa
Laura tercenung mendengar pernyataan duda beranak satu ini. ‘Apa katanya? Minta menikah denganku?Ha, yang benar saja! Aku ke sini mau kerja—ya, hanya itu. Bagaimana mungkin baru beberapa hari aku pergi dari rumah lalu tiba-tiba menikah dengan seorang laki-laki kaya?Terlihat jelas gambaran orang lain aku nggak mau terlihat miskin. Aku menikmati proses ini, kok. Aku senang menjadi orang biasa-biasa saja. Karena sederhana itu ternyata lebih menyenangkan. Aku bebas. Tidak ada yang menuntutku untuk selalu menjaga penampilan agar selalu terlihat mahal.Aku sudah menjadikan semua kenangan pahit ini sebagai proses pendewasaan aku. Karena aku percaya, Tuhan sayang sama aku dan nggak mau aku berlama-lama hidup sia-sia seperti sebelumnya.’“Ra...,” ucap Ivan setelah beberapa lama mereka terdiam dalam posisi yang sama. “Nggak usah bercanda!” ucap Laura setelah ia dapat berpikir secara logis. Gadis tersebut memilih untuk tak mengindahkan ucapan ngelindur Ivan barusan di siang bolong seperti ini
Usai kedua laki-laki itu pergi, Laura menggaruk kepalanya. Pikirannya terus terngiang-ngiang kata-kata Ivan barusan, ‘Saya ingin menikahimu, saya ingin menikahimu, saya ingin menikahimu.’“Ah, tenyom tenyom tenyom. Menjauhlah dari pikiranku, Om tua,” gerutu Laura. “Mesti gimana, nih. Aku harus curhat sama siapa?”“Tante, Tante!” suara Kenzo membuyarkan lamunannya. Dia tersenyum melihat bocah yang sedang menunjukkan hasil kerja kerasnya menggambar gajah gaib. Sebab bentuknya bukan gajah tetapi malah lebih seperti pisang goreng.“Wah, bagus sekali. Tapi kalau nggak ada kakinya, gimana cara gajah itu bisa jalan?”“Pakai loda aja boleh ngga?” pinta Kenzo entah ide dari mana, “bial lalinya cepet.”“Gajah kan hewan. Kalau yang ada rodanya itu motor atau mobil,” Laura memberi tahu.Kenzo menunduk melihat buku gambarnya, kemudian menulis lagi untuk menggambar sepasang kaki berbentuk lonjong yang justru membuat Laura semakin tergelak.Selagi anak itu sedang anteng, dia mengambil ponselnya untu
“Tadi ada siapa datang ke sini?” tanya Ivan ketika Laura sedang membuatkan susu untuk Kenzo. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, sudah waktunya batita itu untuk tidur.Laura menatap sekilas, lalu memusatkan pandangannya lagi ke bawah, melihat apa yang kini sedang ia kerjakan.Batinnya meneriaki, bagaimana dia bisa tahu kalau ada yang datang ke rumah? Padahal belum ada CCTV di sini.Kalau ada apa-apa ke depannya nanti, sudah dapat Laura pastikan bahwa Ivan adalah orang yang cukup posesif meski pria itu mempunyai cara yang berbeda untuk menunjukkannya.“Tadi ada Kak Fero, dia nganterin sepupu aku ke sini,” jawab Laura tak berapa lama kemudian.Ivan tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia mengatakan, “Lain kali kalau kamu mau masukin orang lain ke rumah, kamu izin dulu ke saya.”“Kan yang datang ke sini adiknya Pak Ivan.”“Tapi lain kali kamu hubungi saya dulu. Jangan sampai seperti tadi.”Terdengar helaan napas dari Laura, tapi batinnya segera dapat memahami bahwa ini bukan ruma
“Ya gimana nggak mau sakit, dia sukanya begadang,” gumam Laura saat mencari sesuatu di belakang untuk membuat kompresan, “padahal hari ini mau ketemuan sama Papa. Dia sendiri yang minta ketemu. Eh malah sakit.”“Ada apa, Ra?” tanya Mira mendekat.“Ini aku mau cari wadah buat kompres.”“Pak Ivan demam?” tebak Mira tak meleset.“Iya, demam. Panas banget suhu tubuhnya.”Mira tersenyum lalu mengambil panci berukuran sedang dan merebuskan air, “Biar aku rebusin airnya. Kamu ambil obat penurun panasnya di laci tengah tempat obat-obatan.”“Wah, makasih, Mbak.”Beberapa menit kemudian Laura kembali ke ruang kerja Ivan dengan membawakan kompresan serta obat-obatan dan botol air minum. Tetapi setelah ia sampai di sana, Ivan sudah tidak ada lagi.“Loh, ke mana Si Om tua?” Laura kembali keluar untuk mengecek ke kamar pria itu. Dari pintu terdengar Ivan sedang muntah parah di kamar mandi. Gegas ia pergi ke sana tanpa menghiraukan pria itu yang sedang bertelanjang dada. ‘Dasar Om tua, sukanya pamer
Kurang lebih tiga puluh menit berlalu. Ivan membuka matanya dengan kondisi tubuh yang sudah terasa jauh lebih baik dan tak begitu menggigil seperti tadi. Demikian pula dengan kepalanya.Melihat ke samping, Ivan melihat seorang wanita di sebelahnya sedang tertidur pulas dengan posisi memeluknya erat seolah tengah memeluk bantal guling.Mulutnya memang sedang menganga, tetapi entah kenapa tetap terlihat sangat cantik. Semua yang ada pada diri Laura tercipta sangat proporsional. Pas dan tak berlebihan. Hanya satu kekurangan Laura, yakni kurang peka dengan keadaan.Awalnya, Ivan memang sempat berpikir bahwa Laura adalah gadis yang tidak bisa melakukan hal remeh-temeh serupa pekerjaan rumah jika dilihat dari sisi penampilannya. Tetapi ternyata semua pemikirannya terbantahkan. Dia bisa melakukan semua itu tanpa ia duga.Laura memang pantas untuk dijadikan sebagai istrinya. Ivan tak salah memilihnya dan dia memang sedang bergerak cepat karena takut gadis ini terlewatkan. Lantas didahului ole
Keesokan harinya.“Mbak, aku mau pergi nanti siang,” kata Laura memberitahu Mbak Mira yang saat ini tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Sedangkan Laura sendiri baru turun setelah membersihkan diri.“Oh, Kenzo minta ke kantor lagi?” jawab Mira menduga.Laura menggeleng pelan, “Nggak ... kita mau ketemu sama Papa aku.”Romannya Mira terlihat penuh tanda tanya, tetapi mungkin terlalu gengsi untuk menanyakannya sehingga dia terdiam selama beberapa lama sebelum akhirnya dia mengucapkan sesuatu.“Apa hubungan kalian akan segera berlanjut ke jenjang berikutnya?” katanya hati-hati.“Kurang lebih begitu, Mbak. Tapi terserah Papa aku, sih. Kalau nggak setuju ya ...” Laura mengedikkan bahu, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua ia serahkan kepada Tuhan—karena Dia-lah sebaik-baik Maha pengatur segala kehidupan.Tapi entah kenapa saat Laura melihat Mira, wanita itu seperti syok. Atau hanya perasaannya saja?“Selamat, ya, Ra. Semoga nggak ada halangan.” Mira tersenyum.
Kalau harus memilih, Ivan mungkin akan lebih memilih berhadapan dengan profesor, investor, atau direktur perusahaan besar daripada harus berhadapan dengan calon mertua. Karena lebih terasa lebih mengerikan dan membuatnya menjadi ketar-ketir—takut akan segala kemungkinan yang terjadi.Setelah mengusai diri agar merasa lebih baik, Ivan kemudian menjawab, “Mudah-mudahan niat baik saya ini diterima, Om. Saya menemui Om karena ingin meminta restu untuk hubungan kami berdua. Saya memang belum mengenal Om sebelumnya, tapi saya merasa perlu meminta izin Om karena saya sangat menghargai Om sebagai Papanya Laura,” jelas Ivan berusaha terlihat serius dan percaya diri agar dapat memunculkan kesan yang lebih positif di mata Adinata yang terlihat tegas tersebut. Ya, tentu saja tegas mengingat siapa dan apa kedudukan beliau yang sebelumnya.“Hubungan apa yang kamu maksud?” sela Adinata segera.“Saya tahu sebagian besar orang tua tidak suka anaknya mulai berpacaran. Maka dari itu, izinkan saya menika