Share

Tatapan

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 2

Ponsel di sampingku terus bergetar, segera aku meraih dan membukanya. Ternyata pesan dari grup wali murid. Aku memang membuatnya dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Satu per satu pesan aku baca hingga pada bagian akhir satu pesan membuatku terhenyak.

[ Selamat malam, Bunda ….] Pesan dari mantan sekaligus wali muridku.

Apa-apaan ini? Mendadak grup menjadi ramai saat mantanku mulai memperkenalkan diri dan juga mengirim fotonya. Memang, dari sekian banyak chat para wali murid mengirimkan foto mereka katanya sebagai bentuk perkenalan. Aku masih menyimak saja chat yang terus datang bergantian.

[ Salam kenal Bunda semua. Perkenalkan saya papanya Zivanna. Sepertinya hanya saya yang bukan Bunda ]

[ Iya, lainnya memang Bunda semua ]

[ Salam kenal, Papa Zi ]

[ Salam kenal juga Papa Zi, saya Bundanya Izza nantinya kita akan sering bertemu. Saya single parents. ]

Duh, baca chat itu aku jadi malu sendiri. Bundanya Izza adalah seorang orang tua tunggal. Dia tetangga yang rumahnya berada paling ujung. Orangnya cantik tapi menurut dari cerita sedikit genit.

"Katanya capek, malah mainan hp terus," ucapan protes dari suamiku membuatku harus meletakkan benda pipih di tanganku.

"Iya, ini mau tidur."

"Ai, kamu sudah minum pil nya?" Baru saja pamitan tidur suara dari ibu mertua yang sudah berdiri di ambang pintu mengagetkanku. Sebenarnya tidak ada pintu hanya ada gorden multifungsi yang dijadikan pintu.

"Sudah, Bu," jawabku lirih. Inginku untuk melawan perintahnya tapi sayangnya aku belum berani.

"Bagus, kalian itu masih susah jadi jangan punya anak dulu. Ibu juga nggak mau kalian repotkan dengan titipan bayi!" Pernikahanku sudah menginjak 2 tahun dan ibu mertua tidak mengijinkan untuk punya anak, padahal justru aku sudah sangat menginginkannya.

Entah sudah berapa kali ibu mertuaku mengatakan hal seperti itu, rasanya sudah di luar kepala. Bahkan bisa aku pastikan jika sekarang ibu akan masuk dan duduk di samping suamiku.

Satu langkah, dua langkah dan akhirnya yang jadi tebakanku benar. Ibu duduk tepat di sampingku.

Plak!

Satu pukulan mendarat di kaki yang sedianya sedang dipijat. Segera aku menarik kakiku dan mengusapnya. Perih.

"Istri macam apa kamu?! Bisa-bisanya sudah seperti bos, nyuruh suami buat pijat? Enak, ya? Harusnya kamu yang pijat suami bukannya kebalik kaya gini!" Rasanya dadaku bergemuruh mendengar ibu memarahiku. Matanya melotot menatapku tajam.

"Bu, bukan Ai yang yang minta tapi Adit yang memang mau pijitin Ai," ucap suamiku membela.

"Halah! Nggak usah sok membelanya!"

"Nggak, Bu, serius, Adit nggak membela siapa-siapa. Tadi itu Ai pulangnya udah sore, dia pasti capek makannya Adit pijitin." Suamiku berusaha membujuk ibunya. Tangan yang tadi berada di betis kini berpindah di bahu ibu. Terlihat jika ibu merasa keenakan dengan pijatan Mas Adit, matanya merem melek lidahnya keluar masuk, hidungnya kembang kempis. Ups.

"Yang capek itu kamu bukan dia! Dia itu kerjanya cuma duduk, nulis, nyanyi-nyanyi sama anak kecil, sedangkan kamu … kamu itu kerjanya berat, angkat besi, angkat semen belum angkat beban hidup. Kamu juga harus menanggung dia yang makannya banyak!" Saat mengatakan, mata ibu melirikku dengan jelas. Ibu memang merendahkan aku banget. Aku itu istrinya Mas Adit otomatis aku itu tanggung jawabnya, dan soal makan, aku masih dalam batas wajar porsinya.

"Sebelah sini,loh, Dit pijitinnya. Tadi itu Ibu capek banget seharian beres-beres rumah nggak ada yang bantu. Pagi masak air, siang nyapu, sorenya ke warung," jelas wanita paruh baya itu.

"Iya, Adit tahu."

"Oh, ya, Dit, tadi di warung ada yang jualan gamis. Ibu suka banget sama bajunya, jadi Ibu ambil dua. Lumayan buat ganti-gantian kalau ke pengajian. Ibu itu malu, kalau datang ke pengajian gamisnya itu-itu terus mana udah buluk." Panjang lebar ibu menjelaskan dengan muka yang dibuat sedih tapi aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Tunggu bentar lagi, pasti tebakanku benar.

"Dit, nanti kamu yang nyicil gamis buat Ibu, ya." Nah, kan, sesuai dengan tebakanku. Sudah sering soalnya, entah daster, panci, sprei, pokoknya kalau ada tetangga yang beli pasti Ibu pengin. Padahal barang-barang yang Ibu beli juga entah dipakai apa nggak. Termasuk soal gamis, baru beberapa minggu yang lalu ibu kredit gamis dan mungkin malah belum pernah dipakai sama ibu dan sekarang sudah mengambil kredit gamis lagi.

"Iya, nanti Adit yang nyicil. Memangnya berapa harga gamisnya?" Jawaban yang keluar dari mulut suamiku juga sudah bisa aku tebak. Pokoknya mudah banget suamiku mengiyakan permintaannya ibunya.

"Nggak mahal kok, cuma delapan ratus ribu dua." What? Delapan ratus ribu nggak mahal? Aku sampai menelan ludah mendengarnya. "Temponya dua bulan, tenang saja."

"Maaf, Bu … Ai pamit tidur dulu, udah ngantuk." Tak tahan rasanya mendengar percakapan antara ibu dan anak itu. Sebenarnya memang sudah biasa tapi rasanya aku kecewa saja sama suamiku. Kalau uang kami banyak mungkin tak masalah tapi keuangan kami itu seringnya nombok. Gaji Mas Adit itu kecil, namanya juga hanya kuli di toko bangunan. Kalian tahu, kalau aku berangkat ke sekolah aku hanya bawa uang sepuluh ribu? Belum lagi kalau apes seperti tadi, bannya bocor. Untung saja masih ada lebihan uang dari hari kemarin yang aku kumpulkan.

Tidak lama setelah Mas Adit menyanggupi permintaan, Ibu keluar dari kamar dan lingkaran di perut sudah aku rasakan.

"Dek, marah, ya?" Tidak, aku pedulikan pertanyaan dari suamiku justru aku semakin erat memeluk bantal guling.

"Dek …." Pokoknya, bodo amat!

"Dek … jangan marah, Mas tahu kalau sekarang kamu marah sama, Mas. Tapi, mau gimana lagi? Masa, Mas mau nolak permintaan Ibu?"

"Mas, apa Mas nggak bisa sedikit saja tidak terlalu mengiyakan segala permintaan ibu? Gamis, loh, Mas … Mas tahu sendiri kalau beberapa minggu yang lalu baru ibu beli gamis dan entah sudah dipakai apa belum. Ibu itu cuma gengsi, cuma mau pamer!" Tanpa menatap aku akhirnya berbicara.

"Iya, Mas, tahu … tapi yang minta ibu. Kamu tahu sendiri orang tua Mas tinggal ibu." Ah, selalu saja itu alasannya. Muak rasanya! Lebih baik aku tidur saja daripada tambah ribut.

Pagi menjelang, aku sudah bersiap untuk berangkat. Perasaan dongkol masih terbawa sampai pagi, jadi ada rasa malas untuk bicara. Biarlah, barangkali kalau aku mogok bicara Mas Adit akan sadar.

Saat sudah siap di atas motor tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Ternyata itu Mbak Ani—kakak iparku.

"Ai, titip Dena, ya …," pinta Mbak Ani. Ya, Dena—anaknya alias keponakanku—memang Mbak Ani masukkan ke TK yang sama dengan sekolahku.

"Loh, Dena mau berangkat pakai baju tidur?" Aku bertanya setelah melihat Dena masih memakai piyama, rambutnya yang panjang masih terurai acak-acakan dan bekas Iler yang menggaris di sudut bibirnya.

"Ya, nggak. Masa anakku yang cantik kaya gini ke sekolah, nanti kamu mandiin dulu sama tolong baju seragamnya disetrika juga. Bajunya di dalam tas. Mbak udah terlambat berangkat kerja soalnya." Mbak Ani berkata seraya menyerahkan tas padaku.

"Tapi, Mbak–"

"Pokoknya titip Dena!" teriak Mbak Ani yang sudah melangkah pergi. Kalau sudah seperti ini aku bisa apa? Mana mungkin juga aku tega tinggalin Dena sendirian.

Tas punggung yang sudah aku pakai kulepas dan ditaruh di atas meja, sepatu yang sudah terpasang di kaki juga aku lepas, setelahnya tempat yang aku tuju adalah kamar mandi.

Selesai memandikan Dena, gegas aku kembali bersiap untuk ke sekolah.

"Tante, Dena belum sarapan," ucap gadis kecil yang sudah rapi. Ya ampun, ini bagaimana Mbak Ani? Udah tahu kalau Dena hari ini mulai sekolah, eh malah nggak ada persiapan.

"Tante bikin nasi goreng, Dena mau?" Gadis kecil berkuncir satu itu mengangguk. Kemudian aku mengarahkannya menuju ke meja makan dan setelahnya dia sibuk dengan nasi goreng di piringnya. Dena makan dengan lahap, sesekali aku melihat pada jam di atas pintu kamarku. Sudah jam tujuh, aku pasti terlambat.

"Tante, boleh nambah?" pinta Dena. Dia menyodorkan piring kosongnya padaku.

"Boleh." Kuambil separuh dari jumlah sepiring porsi nasi goreng yang tersisa. Sebenarnya itu untuk ibu tapi masa iya, Dena minta nggak dikasih.

Pukul delapan aku sudah sampai di sekolah dan sudah pasti terlambat. Benar saja, sudah ada Bu Eli yang berada di kelasku. Segera, aku masuk ke kelas dan meminta maaf pada Bu Eli.

***

Selesai sudah kegiatan mengajarku hari ini, anak-anak segera aku antar menuju ke depan tempat orang tua mereka menjemput. Kebanyakan yang menjemput adalah ibu-ibu. Anak-anak langsung menghambur mendekat pada ibunya.

Di sampingku berdiri Zivanna dan Dena. Tinggal mereka yang belum dijemput.

"Zivanna belum dijemput sama papah?" Bundanya Izza mendekat, dia mengusap rambut Zivanna.

"Belum," jawab Zivanna seraya menggelengkan kepala.

"Nanti Bu Guru temenin Zivanna sampai papanya datang," ucapku.

"Nggak usah, biar saya saja yang tunggu."

"Begitu? Kebetulan kalau begitu, sekalian tungguin Dena bisa? Ibunya belum jemput."

"Nggak bisa, repot! Zivanna aja!" tolak Bunda Izza dengan tegas.

"Papa …!" teriak Zivanna seraya melambaikan tangan. Seketika aku menoleh dan benar saja Mas Reza alias papanya Zivanna alias lagi mantanku kini berjalan mendekat. Menggunakan jas warna hitam serta kacamata yang juga berwarna hitam dia berjalan dengan gagah. Senyumnya menampilkan deretan gigi yang putih dan rata mirip waktu dia menjemput saat aku pulang kuliah.

Astaghfirullah hal adzim. Untung aku segera sadar sebelum tanganku justru ikut melambai. Ish, apa-apaan aku? Bisa-bisanya justru malah jadi ingat masa lalu?

"Maaf, Bu, saya terlambat jemput," ucap Mas Reza. Matanya menatapku dengan teduh tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan.

"Eh, nggak apa-apa. Saya loh, yang tadinya mau temenin Zivanna sampai Papa Zi datang." Bundanya Izza menyerobot sebelum aku sempat menjawab. Mulutku yang tadinya sudah terbuka kini kututup kembali sebelum lalat dan gajah keburu masuk.

"Terima kasih. Maaf sepertinya saya belum mengenal–"

"Saya Bundanya Izza, yang semalam di grup sama chat pribadi tapi belum dibalas sama Papa Zi."

"Oh, jadi ini Bundanya Izza? Salam kenal, Bun." Bundanya Izza tersenyum sumringah seraya mengibaskan rambut hasil bondingan berwarna blondenya.

"Kalau begitu, saya pamit duluan. Sekali lagi, terima kasih sudah menunggu Zivanna. Bu Nana, ayo pulang sekalian," ajak Mas Reza sukses membuat mata ini mendelik.

"Nama saya Aisyah biasa dipanggil Bu Ai," jawabku.

"Maaf, saya lupa Nana itu panggilan Zivanna jadi kebiasaan," kilah Mas Reza.

"Bu Ai bawa motor dan masih ada pekerjaan, nggak mungkin kalau mau ikut. Tapi saya mau pulang, saya aja yang ikut sama Papa Zi," sela Bundanya Izza.

"Nah, betul. Silahkan Papanya Zivanna bareng sama Bundanya Izza saja, saya ada pekerjaan," jawabku seraya tersenyum geli. Sedangkan Mas Reza justru terlihat kaget.

"Aduh, maaf, saya lupa kalau ada jadwal meeting. Sepertinya saya harus pergi. Sekali lagi terima kasih sudah menunggu Zivanna. Saya permisi."

Mas Reza kemudian berlalu pergi sedangkan Bundanya Izza mengejar Mas Reza sampai tangan anaknya ditarik dengan paksa. Sepertinya ada yang ingin melakukan pendekatan. Aku hanya tertawa dalam hati melihatnya.

"Dena, mama kok nggak jemput-jemput?" tanyaku pada keponakan yang tangannya terus memegang tanganku.

"Kata mama, pulangnya sama Tante," jawabnya semakin membuatku menarik nafas. Sepertinya Mbak Ani sengaja menitipkan Dena padaku. Padahal pekerjaannya sebagai ART bisa disela dengan menjemput Dena. Rumah majikannya juga nggak jauh dari sekolah. Sudahlah, lebih baik aku selesaikan pekerjaanku saja daripada mikirin yang lain.

***

Selesai dengan semua pekerjaan aku sudah bersiap dengan motor bututku. Dena yang sudah lelah menungguku sudah duduk membonceng di belakang.

Perjalanan lima belas menit sudah aku tempuh untuk sampai ke rumah. Namun, saat baru sampai di depan rumah terlihat jika ibu sedang bersama dengan dua orang pria berpakaian hitam. Entah siapa mereka. Hanya saja terlihat jika mereka sedang tidak baik-baik saja. Dena kemudian turun begitu juga denganku yang sudah mematikan mesin motor.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.

Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!

🌹🌹🌹

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status