Share

Aku yang sekarang

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 3

"Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.

Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!

Tak terima dengan ucapan dari ibu, segera aku gulung lengan kemeja panjang yang aku kenakan hingga sebatas siku. Tas ransel yang tadinya dipunggung aku lepas dan kutaruh di atas motor. Rasanya tak terima, motor yang kubeli dari hasil jerih payahku selama ini mau dijadikan sebagai pembayaran hutang. Utang juga bukan aku yang ngutang kenapa jadi aku dibawa-bawa?

"Kalian mau apa?" tanyaku pada dua orang laki-laki yang masih memandang pada motorku.

"Ya mau ambil motor, lah!"

"Motor siapa yang mau diambil, hah?!"

"Ai, serahkan saja motornya buat bayar utang ibu. Lagian itu motor, kan, motor Adit juga," sela Ibu dengan wajah datarnya yang tentu saja semakin membuatku bertambah geram. Enteng banget ngomongnya!

"Bu, ini motor Ai. Sebelum Ai nikah sama Mas Adit, ini motor sudah ada, jadi tidak ada campur tangan Mas Adit dengan kepemilikan motor ini. Sedikit pun!" jelasku dengan penuh penekanan.

"Nggak bisa gitu, dong. Adit itu suamimu jadi dia juga berhak atas motor ini."

"Oke, kalau Mas Adit berhak atas motor ini tapi tidak ada sangkut pautnya dengan Ibu, bukan?" Wajah ibu langsung memerah, begitu mendengar apa yang aku sampaikan. Biarlah, sesekali aku perlu bertindak tegas.

"Apa kamu lupa kalau Adit itu anakku? Jadi apa yang dimiliki oleh Adit ada hak ibu juga di situ!" Aku semakin terperangah dengan penuturan dari ibu. Iya, kalau Mas Adit yang membeli, oke aku terima tapi ini, kan, bukan.

"Sudah, Pak, kalian bawa saja motornya," lanjut Ibu. Satu orang laki-laki mendekat kemudian sudah bersiap untuk naik di atas jok motorku.

"Heh! Awas! Jangan berani-berani kamu bawa motor ini!" Sergahku sebelum laki-laki itu berhasil duduk dan aku sudah terlebih dahulu mendahuluinya. Di depan motor, sudah berdiri Dena yang menatap dengan heran. Ah, aku sampai lupa kalau ada anak kecil.

"Dena, kamu masuk dulu, mainan di depan tv, ya," titahku dan disambut anggukan kecil darinya. Dena berbalik dan kemudian berlari masuk ke rumah. Sementara aku, masih duduk mempertahankan motor.

"Jadi bagaimana ini, Bu?" tanya laki-laki itu pada ibu mertuaku.

"Kan sudah kubilang, bawa saja motornya buat bayar utangku," jawab Ibu masih dengan entengnya.

"Gimana mau bawa kalau seperti ini?" Laki-laki itu melirikku dan aku berusaha bersikap acuh, tak peduli dengan mereka.

"Masa bawa motor saja nggak bisa?!" tantang Ibu.

"Bukan nggak bisa, tapi Ibu lihat sendiri ada siapa di atas motor?"

"Tinggal seret aja masa nggak bisa?" Apa? Maksud Ibu apa coba? Seret? Siapa yang diseret? Dan seketika itu juga laki-laki itu langsung mencekal tangan kananku.

"Awas! Lepasin!" teriakku seraya menghentak tangan. "Lepas atau aku berteriak biar warga pada datang!"

"Ada apa ini? Kamu apakan istriku?" Untunglah ada Mas Adit yang datang, hingga laki-laki itu segera melepas cekalan tangannya.

"Mas, mereka mau bawa motorku buat bayar utang," paparku seraya turun dari motor dan berdiri di samping suamiku.

"Kamu utang, Dek?" tanya Mas Adit.

"Ish, ya nggak, lah!" jawabku sinis, "bukan aku yang ngutang."

"Terus siapa?" tanya Mas Adit lagi.

"Ibu, Dit," jawab Ibu lirih. Wajahnya tertunduk berbeda sekali dengan saat tadi sebelum Mas Adit datang.

"Ibu? Utang sama siapa?" Mas Adit beralih, dia kemudian menghampiri ibunya. Tanpa disangka ibu mertua justru langsung memeluk Mas Adit dan menangis.

"Adit … maafkan Ibu, ini semua salah Ibu. Ibu hutang buat beli hp tapi malah nggak bisa bayar," ucap Ibu disusul tangisnya, dan aku sangat yakin jika tangisnya itu palsu mirip janji mantan yang dulunya mau sehidup semati denganku. Haduh, kenapa malah jadi ingat dia? Butuh sapu buat otak kayaknya aku.

"Bukannya hp Ibu itu arisan? Terus yang setorin juga Mas Adit?" Aku ingat betul kalau hp itu Ibu bilang hasil arisan dan per bulannya suamiku yang bayar setoran empat ratus ribu selama sepuluh bulan, terus kenapa sekarang justru bilang utang buat bayar hp? Mencurigakan.

"Ehm, itu … hpnya buat Ani. Kasihan dia kalau nggak punya hp," jawab Ibu lirih. Astaga, jadi lbu belikan Mbak Ani hp? Padahal Mbak Ani kerja, suaminya juga kerja malah ibu rela minta sama Mas Adit buat bayar kredit hp dan sekaligus utang buat beli hp? Rasanya otakku mau pecah kalau seperti ini caranya.

"Sudah belum dramanya? Pokoknya kalau nggak bisa bayar utang sekarang, motornya kami bawa!" ancam laki-laki yang masih berdiri tegak di hadapan kami.

"Loh, nggak bisa begitu, ini motor–"

"Ini saya bayar utang Ibu. Tiga juta, kan?" Mas Adit memotong ucapanku sekaligus merogoh saku celana kerjanya kemudian memberikan amplop berwarna cokelat pada salah satu laki-laki itu. Ucapan Mas Adit sukses membuatku melongo. Pasalnya hari ini bukan jadwal Mas Adit gajian dan aku juga tahu betul kalau Mas Adit sedang tidak punya uang. Lantas, dari mana Mas Adit punya uang sebanyak itu? Apa Mas Adit sedang berbohong padaku?

Amplop sudah berpindah tangan, di depan wajah laki-laki itu mengeluarkan lembaran uang berwarna merah kemudian mulai menghitung.

"Oke, pas. Kalau begitu kami permisi."

Selepas kepergian laki-laki itu aku kemudian masuk, tidak ingin berlama-lama dengan drama dari ibu mertua.

"Tante, Dena lapar," ucap gadis cilik yang anteng di depan tv. Ah, Dena … jelas saja kamu lapar seharian kamu ikut sama aku dan belum makan.

"Bentar, ya, tunggu Om Adit dulu," sahutku seraya mengusap rambutnya. Dena mengangguk kemudian tatapannya kembali pada layar tv yang menampilkan tayangan kartun. Sejujurnya, aku sudah tak punya uang lagi untuk membeli sayuran dan tadi pagi sudah aku bilang pada Mas Adit. Tadi dia bayarin hp Ibu, pastinya sekarang Mas Adit juga harusnya bisa kasih aku uang untuk beli sayuran.

Pakaian dinas sudah aku ganti, sekarang berganti dengan seragam rumahan alias daster yang masih bertahan selama dua tahun.

"Dek," panggil suamiku. Aku menoleh dan menghampiri kemudian duduk bersama di tepian ranjang.

"Ya, Mas, ada apa?"

"Ini, uang buat beli sayur." Selembar uang merah diserahkan olehnya, aku menyambut dengan senyuman dan ucapan syukur, tapi kenapa cuma selembar, ya? Bukankah tadi kasih uang buat bayar utang ibu tiga juta? Oh, mungkin nanti malam dikasih sama aku. Iya, nanti malam.

"Makasih, Mas, kalau begitu aku ke warung dulu kasihan Dena udah lapar," sahutku. Aku kemudian beranjak menuju ke warung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.

Setelah aku pulang dari warung segera aku memasak, entah sudah berapa kali Dena mengadu jika perutnya sudah lapar. Sekilo ayam yang aku beli segera aku ungkep, pun dengan bahan sambal yang sudah siap kemudian aku ulek.

Selesai masak, kemudian aku hidangan di atas meja makan. Pun dengan Dena yang sudah duduk manis dengan sepiring nasi beserta lauk di atasnya.

"Dena makan dulu, ya, Tante mau mandi," pamitku pada Dena.

"Iya, Tante," jawabnya dengan mulut penuh makanan. Untung saja Dena anak yang manis dan penurut.

Rasa lengket di badan serta bau masakan hilang begitu kugosok sabun mandi ke seluruh tubuh. Wangi sabun dengan harga tidak sampai lima ribu sudah menempel di tubuh. Segera, aku keluar dari kamar mandi setelah selesai dan berniat menuju ke kamar. Namun, belum lagi sampai di kamar aku tertegun dengan pemandangan di meja makan. Ibu mertua, suami, Mbak Ani beserta suami dan Dena sedang menikmati makanan yang tadi selesai aku masak.

"Dek, kenapa berdiri di situ aja? Sini ikut makan," ajak suamiku.

"I–iya," jawabku terbata. Kemudian aku melangkah mendekati mereka. Kursi kosong tinggal di sebelah suami, jadi aku menggeret kursi dan duduk di sampingnya. Kebetulan ada piring kosong, jadi aku mengambilnya. Baru saja akan mengambil nasi, Mbak Ani berdiri.

"Aku sudah kenyang, saatnya untuk pulang," ucapnya dan setelah itu terdengar bunyi sendawa yang sangat keras. Kebiasaan Mbak Ani selalu seperti ini. Nggak sopan!

"Wah, Dena makannya habis. Kamu suka sama ayam gorengnya?" Mbak Ani bertanya pada anak semata wayangnya.

"Iya, Dena suka banget," jawab Dena polos.

"Kalau begitu, nanti Mama bungkusin ayam gorengnya. Nanti semua buat kamu biar kamu kenyang." Tangan Mbak Ani beralih menuju piring berisi ayam goreng di depanku. Empat potong sisa ayam goreng diambilnya secara cepat kemudian dimasukkan ke dalam wadah tertutup.

"Biasanya Ai, juga simpan yang sudah diungkep, kamu ambil aja masukin kulkas lumayan kalau pagi atau malam-malam mau makan tinggal goreng," saran Ibu.

"Betul juga, cocok banget buat aku yang nggak punya banyak waktu buat masak." Iya, cocok buat Mbak Ani nggak cocok buat aku. Sahutku dalam hati.

Selesai dengan mengambil ayam ungkep bersama dengan wadahnya Mbak Ani kemudian berpamitan pulang. Jangankan basa basi ayamnya dibawa, bilang terima kasih aja nggak! Sekarang, di meja hanya tinggal nasi dan sambal. Itu pun tinggal sisa-sisa. Aku jadi nggak selera makan, piring yang tadinya akan kuisi dengan nasi kukembalikan ke tempat semula dan setelahnya aku pamit.

"Dek, kan belum makan," ucap suamiku. Tak kupedulikan kata-katanya, terus saja aku melangkah. Pastinya juga Mas Adit tahu jika aku sedang kesal.

Saat di kamar sengaja aku tidak tidur terlebih dahulu, menunggu suamiku tentu saja. Ada hal yang ingin aku tanyakan sama dia. Benar saja, tak lama setelahnya Mas Adit menyusulku ke kamar.

"Makan yuk, Dek, Mas temenin. Tadi kan belum makan," ajak suamiku. Dia kemudian duduk di sampingku. Di atas kasur kapuk yang sudah tipis.

"Nanti dulu, ada yang mau aku tanyakan sama, Mas Adit," jawabku, "ehm, Mas punya uang dari mana buat bayar utang Ibu? Bukankah ini bukan tanggal gajian?"

"Itu gaji Mas, Dek. Pak Sabri mau ke luar kota jadi gajinya dimajukan," papar Mas Adit. Pak Sabri adalah pemilik toko bangunan tempat suamiku bekerja. Tunggu, kalau benar gajinya dimajukan itu artinya?

"Mas, kalau tadi uang gaji dan sudah buat bayar utang ibu semuanya, terus nanti kita gimana?" tanyaku bingung.

"Pakai uang gaji kamu dulu, ya, buat sebulan ini," jawab Mas Adit enteng.

"Ya nggak bisa gitu, Mas … mana cukup? Gajiku aja nggak banyak, setengah dari gajimu itu pun masih kurang," sungutku tak percaya. Bagaimana mungkin Mas Adit enteng banget bilang pakai gajiku, mana cukup? Ada motor yang harus dicicil, ada tagihan listrik, ada gas, belum lagi ibu yang minta jatah tiap hari. Bahkan, jatah untuk ibu saja jumlahnya kurang kalau dihitung.

"Dek, nanti Mas cari pinjaman kalau kurang," rayu Mas Adit.

"Pinjaman ke mana lagi? Mau pakai apa juga nyicilnya? Apa Mas lupa kalau kita itu sudah banyak cicilan?" tanyaku yang pastinya ditambah emosi.

"Ya, ke mana saja, Dek. Sudah, tenang saja nanti Mas yang cari pinjaman. Ayo, sekarang makan, tadi kan nggak jadi makan."

"Mau makan pakai apa? Sambal? Bukankah tadi Mas lihat sendiri kalau ayamnya aja udah dibawa semua sama Mbak Ani? Semua buat Mbak Ani, apa-apa buat dia. Hp juga katanya arisan ternyata dikasih buat Mbak Ani, terus yang nyicil juga kita. Besok apa lagi? Hah!?"

"Dek!" hardik Mas Adit setelah aku meluapkan emosi. Mata ini rasanya panas, menahan sesuatu yang seakan mendesak ingin keluar. Sedangkan Mas Adit mengacak rambutnya kasar kemudian pergi dari kamar. Selalu seperti itu jika aku membahas soal kakak ipar.

Daripada tambah emosi aku kemudian mencari hiburan dengan melihat ponsel milikku. Beberapa pesan dari grup ataupun chat pribadi memenuhi layar. Satu per satu mulai aku buka. Hingga satu pesan mulai menarik perhatian.

[ Malam, Na … apa sudah tidur? ]

[ Belum, ada apa? ] Entah kenapa jari ini justru membalas pesan dari mantanku. Pikirku mungkin ada yang penting.

[ Nggak apa-apa. Kamu lagi nggak sedih, ya? Soalnya entah kenapa perasaanku mengatakan kamu sedang tidak baik-baik saja. ] Berbagai pertanyaan kini hadir di pikiranku, apa Mas Reza masih sama seperti dulu? Dulu dia sangat peka padaku. Tanpa aku mengatakan biasanya dia akan tahu jika aku sedang sedih ataupun merasakan sesuatu. Persis seperti sekarang.

[ Na … jangan diam, kamu nggak lagi kenapa-kenapa, kan? Jangan buat aku khawatir. Kalau kamu diam itu artinya memang kamu sedang tidak baik-baik saja. Kirim alamatmu, Na, aku akan datang nanti kamu bisa cerita seperti dulu sama aku. Kamu bebas menangis di bahuku seperti dulu ] Lagi-lagi Mas Reza mengingatkan tentang masa lalu. Dulu memang sangat indah, antara aku dan dia. Mas Reza akan selalu ada disaat aku butuh, disaat aku butuh bahu untuk bersandar dia selalu sigap. Dan sekarang? Kenapa harus diingatkan?

[ Aku baik-baik saja ]

[ Na, aku sudah berhasil. Satu per satu aku mewujudkan impian kita. Aku mewujudkannya untukmu, Na. Aku punya rumah untuk kita, aku punya mobil juga untuk kita dan satu lagi di rumah aku punya kolam renang. Bukankah impianmu dulu punya rumah yang ada kolam renangnya? Kamu mau, kan, hidup bersama denganku? ]

Membacanya membuat hatiku semakin teriris. Apa kamu tahu Mas, kamu menceritakan segala impian kita dulu dan kamu mewujudkannya. Sedangkan aku di sini, hidupku dalam kekurangan. Apa aku tinggalkan saja semuanya dan hidup bersamamu? Rasanya aku lelah, capek dengan ini semua.

🌹🌹🌹

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status