“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
“Jangan pisah juga dong Ra, kamu boleh marah sama Akang. Enggak apa-apa Akang terima. Kamu mau pukul Akang pun enggak apa-apa Akang ikhlas. Sok pukul sampai kamu puas!”Saat itu aku sampai menggenggam tangan Lara, hanya demi menyalurkan emosinya. Entahlah aku hanya berpikir jika ia marah, setidaknya itu akan jauh lebih baik dari pada aku harus benar-benar kehilangannya. Namun, bukannya memukul seperti kebanyakan perempuan lainnya saat emosi. Lara malah menghempaskan lengannya dengan begitu keras.“Mukul itu enggak akan menyelesaikan masalah.”“Ya, tapi Akang enggak mau pisah sama kamu. Dari tadi loh, kamu bilang mau pisah terus. Siapa yang enggak panik. Belasan tahun kita rumah tangga, baru kali ini kamu begini, Ra! Akang ‘kan udah janji mau berubah, tolonglah beri Akang kesempatan, jangan pisah-pisah terus. Semua juga perlu waktu, Akang juga masih shock dengar mobil udah dijual 3 sama ibu. Tolonglah mengerti posisi Akang juga, Ra.”“Akang tuh dari dulu emang egosi, cuma pengen dimeng
Aku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Musa, lantas dengan tergesa-gesa mencari ke setiap sudut ruangan rumahku. Sambil terus memanggil namanya, berharap ia mungkin hanya sedang tertidur atau beristirahat di ruangan lain. Sayangnya, setiap ruang telah kutelusuri, tetapi hasilnya nihil.“Kan sudah kubilang enggak ada,” ucap Musa dari lantai atas.“Ayah di rumah aja jaga anak-anak. Biar aku yang cari Bunda!”“Loh, kok Ayah yang jaga anak-anak? Ayah aja yang cari!”“Emang Ayah enggak mau jaga adik-adik? Lagian ayah juga ‘kan enggak akan tahu biasanya Bunda pergi ke mana aja? mana pernah Ayah peduli.”Saat itu Musa terlihat sangat kesal. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal ucapannya. Selama ini aku memang tak perhatian dengan Lara. Sampai aku tidak tahu ke mana saja ia pergi dan siapa saja teman-temannya.“Kalau enggak mau direpotkan sama anak-anak, kenapa atuh bikin anak banyak-banyak?”“Musa, kamu tahu enggak ucapan kamu itu keterlaluan.”“Ayah juga keterlaluan. Selama i
Saat itu aku yakin sekali jika Bu Yeni dan Sofia yang masih berada di ruang tamu, turut mendengar bisikan Musa padaku. Tampak dari cara pandang mereka yang berubah seketika melihat kami.“Sofia ambilkan saja jajanan di rumah kita, bawa ke sini cepat ya! Takutnya Sean juga keburu ngantuk ‘kan, mau istirahat.”“Enggak usah Bu, ini Musa juga bawa camilan dari luar. Nanti biar Musa yang tenangin Sean, maaf ya malam-malam ngerepotin jadinya. Sean pasti ngamuk dan bikin geger sekampung ya?” tanya Musa yang tampak tak enak hati.“Ah, biasa itu mah Mus, namanya juga anak-anak. Bagaimana ibunya udah ada kabar?”“Hm, belum Bu. Besok aja kayaknya Musa cari lagi. Tadi kepikiran adek-adek takut rewel juga kalau ditinggal.”“Semoga cepet ketemu ya, Bundanya biar pulang lagi. Kalau begitu ibu sama Sofia pamit, ya!”“Iya, makasih Bu, Sof.”Sofia tampak tersenyum ramah padaku dan Musa. Kemudian, mereka pun segera pergi. Mungkin juga merasa tak nyaman, karena keributan kami barusan.“Aa bawa es krim sa
“Diblokir itu mah, Yah,” sahut Musa.Rupanya dia kembali keluar kamar. Aku bahkan tak menyadari keberadaannya, karena terlalu sibuk memikirkan tingkah keluargaku yang ternyata begitu kejam dan serakah terhadap uang. Mereka bahkan tak punya belas kasihan. Sungguh, sekarang aku benar-benar merasa hanya dijadikan tak ubahnya seperti sapi perah oleh mereka.“Ini buktinya aku bisa kirim pesan ke nenek.”Musa menunjukkan layer ponselnya yang baru saja mengirimkan pesan singkat pada nomor ibu dan memang terkirim. Bahkan, di sana foto profilenya juga masih terlihat. Berbeda denganku yang masih putih. Namun, saat itu tak menunggu lama, rupanya nomor Musa juga diblokir setelah pesan itu dibaca ibu.“Astaghfirrullah, keterlaluan banget mereka ini. Giliran butuh apa-apa aja nelepon.”“Sekarang ayah tahu sendiri ‘kan bagaimana perlakuan nenek ke Bunda. Semua yang diucapin Bunda itu nyata, tapi Ayahnya aja yang enggak pernah percaya. Kasihan, ‘kan Bunda selalu jadi korban fitnah. Padahal, jelas-jel
“Tapi, kalau berangkat malam aturan pagi udah sampai rumah saya. Orang Sukabumi ke Bogor ‘kan enggak terlalu jauh Bu, saya juga berangkatnya agak siang kok.”“Aduh saya kurang tahu kalau masalah itu. Soalnya pas saya tanya, Bu Sukma jawabnya gitu, mau silaturahmi ke rumah Kang Jimy.”Ya Tuhan, drama apa lagi yang dilakukan mereka. Setelah berhasil menjual angkotku sekarang mereka malah mau melarikan diri. Sungguh keterlaluan.“Kalau begitu saya permisi, Kang.”“Iya, Bu Neneng makasih banyak ya, buat informasinya.”Sekarang aku bahkan tak tahu bagaimana cara membuka gembok dan rumahnya. Saat itu tampak hanya ada satu mobil angkot yang terparikir di grasi. Sungguh, begitu melihatnya emosiku menjadi memuncak seketika. Tanpa sadar, karena rasa lelah, lapar dan emosi yang bercampur menjadi satu, tanpa sadar aku menendang pagar rumah ibu dengan begitu kerasnya. Sampai-sampai hal itu membuat Sean dan A
Di tengah kebingungan saat itu Arfan malah menghampiriku.“Ayah itu Sean muntah!”Saat itu aku yang khawatir langsung menuju ke ruang tamu untuk mengeceknya. Namun, begitu sampai sana benar saja keadaan Sean sudah sangat memprihatinkan. Suhunya bahkan kembali meningkat. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terus menerus. Tanpa pikir panjang aku membawa anak itu pergi ke dokter.Saking tinggi demamnya, gigi Sean bahkan sampai terdengar gemelatuk. Aku jadi teringat akan perkataan Lara yang bilang kalau daya tahan tubuh Sean tidak sekuat anak-anak yang lain. Apakah sekarang semua yang terjadi adalah dampak dari stunting yang dideritaya? Ya Tuhan, semoga saja itu tidak akan separah yang ada dalam pikiranku.Ketika bertemu dengan Dokter pun, aku malah disalahkan ketika melihat Sean untuk pertama kali. Ia langsung mempertanyakan kondisi tubuhnya yang memang lebih kecil dari anak seusianya. Namun, rasanya aku sangat malu untuk mengatakan
“Memang warga sekitar enggak ada yang lihat Bundanya ke mana?”“Enggak ada. Itu katanya motor, tiba-tiba ada di pinggir jalan. Makanya di bawa ke balai desa.”“Aduh, tapi ini Sean masih demam. Enggak ada yang jaga di rumah juga. Kamu pulang aja dulu, Mus! Nanti biar Ayah yang urus di luar.”“Sean masih demam, ya!”“Tadi udah turun, tapi mungkin kecapean di jalan, jadi drop lagi.”“Ya sudah Musa pulang sekarang!”Butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dari tempat sepeda motor Lara ditemukan ke rumahku. Bagaimana mungkin Lara bisa pergi sejauh itu di malam hari.“Ya Allah Ra, kamu baik-baik aja ‘kan Sayang? Kamu boleh marah, boleh kecewa sama Akang, tapi enggak sampai nyakiti diri sendiri juga dong Ra. Kalau ada apa-apa sama kamu, anak-anak pasti bakal sedih banget. Apa lagi Akang, bisa apa aku tanpa kamu. Bahkan mengurus Sean yang demam saja aku tidak bis