“Tapi, kalau berangkat malam aturan pagi udah sampai rumah saya. Orang Sukabumi ke Bogor ‘kan enggak terlalu jauh Bu, saya juga berangkatnya agak siang kok.”
“Aduh saya kurang tahu kalau masalah itu. Soalnya pas saya tanya, Bu Sukma jawabnya gitu, mau silaturahmi ke rumah Kang Jimy.”
Ya Tuhan, drama apa lagi yang dilakukan mereka. Setelah berhasil menjual angkotku sekarang mereka malah mau melarikan diri. Sungguh keterlaluan.
“Kalau begitu saya permisi, Kang.”
“Iya, Bu Neneng makasih banyak ya, buat informasinya.”
Sekarang aku bahkan tak tahu bagaimana cara membuka gembok dan rumahnya. Saat itu tampak hanya ada satu mobil angkot yang terparikir di grasi. Sungguh, begitu melihatnya emosiku menjadi memuncak seketika. Tanpa sadar, karena rasa lelah, lapar dan emosi yang bercampur menjadi satu, tanpa sadar aku menendang pagar rumah ibu dengan begitu kerasnya. Sampai-sampai hal itu membuat Sean dan A
Di tengah kebingungan saat itu Arfan malah menghampiriku.“Ayah itu Sean muntah!”Saat itu aku yang khawatir langsung menuju ke ruang tamu untuk mengeceknya. Namun, begitu sampai sana benar saja keadaan Sean sudah sangat memprihatinkan. Suhunya bahkan kembali meningkat. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terus menerus. Tanpa pikir panjang aku membawa anak itu pergi ke dokter.Saking tinggi demamnya, gigi Sean bahkan sampai terdengar gemelatuk. Aku jadi teringat akan perkataan Lara yang bilang kalau daya tahan tubuh Sean tidak sekuat anak-anak yang lain. Apakah sekarang semua yang terjadi adalah dampak dari stunting yang dideritaya? Ya Tuhan, semoga saja itu tidak akan separah yang ada dalam pikiranku.Ketika bertemu dengan Dokter pun, aku malah disalahkan ketika melihat Sean untuk pertama kali. Ia langsung mempertanyakan kondisi tubuhnya yang memang lebih kecil dari anak seusianya. Namun, rasanya aku sangat malu untuk mengatakan
“Memang warga sekitar enggak ada yang lihat Bundanya ke mana?”“Enggak ada. Itu katanya motor, tiba-tiba ada di pinggir jalan. Makanya di bawa ke balai desa.”“Aduh, tapi ini Sean masih demam. Enggak ada yang jaga di rumah juga. Kamu pulang aja dulu, Mus! Nanti biar Ayah yang urus di luar.”“Sean masih demam, ya!”“Tadi udah turun, tapi mungkin kecapean di jalan, jadi drop lagi.”“Ya sudah Musa pulang sekarang!”Butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dari tempat sepeda motor Lara ditemukan ke rumahku. Bagaimana mungkin Lara bisa pergi sejauh itu di malam hari.“Ya Allah Ra, kamu baik-baik aja ‘kan Sayang? Kamu boleh marah, boleh kecewa sama Akang, tapi enggak sampai nyakiti diri sendiri juga dong Ra. Kalau ada apa-apa sama kamu, anak-anak pasti bakal sedih banget. Apa lagi Akang, bisa apa aku tanpa kamu. Bahkan mengurus Sean yang demam saja aku tidak bis
“Kok bisa? Tapi, istri saya belum pulang ke rumah kok.”“Maaf Pak, kalau soal itu saya kurang tahu. Mungkin Bapak bisa hubungi yang bersangkutan buat memastikannya.”“Haduh, istri saya aja hpnya ditinggal di rumah. Bagaimana mau dihubungi.”“Sabar dulu Pak, mungkin saja sekarang Mbak Laranya sudah ada di rumah,” ucap Pal Zul yang mencoba menenangkanku.“Tadi saya baru aja teleponan sama Musa. Dia aja nitipin Lara ke saya. Sekarang di mana coba.”“Coba Kang Jimy ingat-ingat Mbak Lara punya teman yang tinggal di sekitar sini enggak? Siapa tahu aja Mbak Lara mampir ke sana.”“Aduh saya enggak tahu kalau soal itu. Lara emang jarang keluar.”Bagaimana dia akan keluar, bahkan belanja saja seringnya aku yang membelikannya.“Tapi, keadaan pasiennya bagaimana ya Sus? Apa dia baik-baik saja? Maksudnya kandungannya bagaimana? Bayinya selamat &l
“Kamu kok sekarang jadi tambah berani? Syifa ya, yang ngajarin kamu buat pisah? Pasti dia ‘kan, yang mempengaruhi kamu, biar berani melawan sama suami? Makanya Akang enggak pernah suka kamu bergaul dengan perempuan itu. Dia itu cuma bawa pengaruh buruk buat kamu. Sekarang lihat! Kamu bahkan dibuat begini!”“Apa sih Kang, jelas-jelas salah Akang sendiri yang enggak bertanggung jawab sama anak istri. Kalau, Akang enggak salah apa-apa kenapa juga aku minta pisah. Mana lagi hamil besar, aku juga malu kali sama orang-orang. Anak banyak, posisi hamil besar, tapi mau bagaimana lagi. Harta Akang abisaja masih bisa santai. Percuma Akang pulang kampung, mending enggak usah pulang. Doain aja semoga aja mereka bahagia sudah bawa kabur harta yang selama ini Akang banggakan itu.”Saat itu Lara malah membalikkan badannya dan bersiap pergi. Padahal, aku masih ingin bicara banyak hal dengannya. Namun, saat itu juga aku baru tahu kalau cara jalan Lara
“Laki-laki itu yang dipegang ucapannya! Aku cukup tahu diriku kok, meski aku miskin. Aku tidak akan pernah serakah mengambil rumah yang bukan hakku. Sudahlah, enggak perlu buang-buang waktu. Aku tahu pada akhirnya Akang enggak akan pernah tega buat tegas ke mereka.”“Siapa bilang Akang bisa tegas? Biar Akang yang pergi dari rumah.”Saat itu tanpa pikir panjang aku menumpahkan semua pakaian Lara yang sudah ia tata sedemikian rapinya ke dalam koper. Aku memang terlanjur emosi. Mau bagaimana pun lebih baik aku yang keluar dari pada anak-anak. Setidaknya aku tidak perlu bingung mencari mereka. Jika, Lara sudah senekat ini, aku hanya takut jika ia malah membawa anak-anak pergi jauh dariku.Mungkin saja aku juga tidak akan diizinkan bertemu mereka, terlebih ia juga sedang hamil. Aku hanya memikirkan bagaimana ia akan mengurus semuanya sendirian. Setidaknya dengan di rumah, ia akan merasa lebih nyaman.Sifat Lara benar-benar berubah, aku
Anak-anak bahkan tak ada yang peduli padaku. Termasuk Sean dan Arfan yang malah mengabaikanku dan memilih mengikuti Lara masuk ke dalam kamar. Sungguh sekarang aku benar-benar merasa perkataan Musa tidak sepenuhnya salah. Dibandingkan mereka yang butuh, justru sebaliknya akulah yang sebenarnya membutuhkan mereka. Aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai hidup tanpa mereka.Sedangkan, mereka bahkan tanpa dukungan keuangan dariku pun bukan lagi masalah besar. Ya Tuhan bagaimana bisa rumah tanggaku jadi berantakan seperti ini. Aku hanya ingin tetap menjalankan kewajibanku sebagai anak pada orang tuaku. Namun, kenapa harga yang harus dibayar begitu mahal. Aku bahkan harus merelakan rumah tanggaku hancur berantakan. Lara menyerah dan aku bahkan tako lagi mendapatkan rasa hormat dari anak-anakku. Terutama Musa.Dia bahkan lebih rela bertarung di jalanan, dari pada meminta uang padaku.Ya Tuhan ayah macam apa aku?Melihat mereka yang sepertinya tak peduli dengan
“Terus sekarang anak-anaknya di mana Bu?” “Ya ada di rumah saya! Musa yang nemeinin Lara di rumah sakit.” “Hm, sa-saya ke rumah sakit dulu, nanti biar Musa yang ambil anak-anak, di rumah ya!” “Ya sudah buruan kalau mau ke Rumah sakit, takut kenapa-kenapa sama ibu dan bayinya.” Bu Yeni yang terbiasa bicara dengan lembut saja sampai mendadak mengeraskan suaranya. Saking paniknya. Melihat dari darah yang masih cair. Bisa dipastikan kejadiannya masih belum lama. Jadi, tanpa pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit untuk memastikan keadaan istri dan anakku. Di sana ternyata Lara sedang ditangani. Musa yang tak diperkenankan masuk, hanya bisa menunggunya dilorong rumah sakit. Melihatku datang anak itu bahkan terlihat biasa saja. Dari pada merasa senang, karena ada yang membantunya Musa malah tampak kesal melihatku. “Ngapain ke sini sih?” “Ya, Ayah ke sini khawatir sama Bunda. Salah?” “Yang bikin Bunda harus melahir
"Oh ya udah Bu, terima kasih untuk informasinya. Nanti saya secepatnya ke sana."Jika, aku tidak salah ingat Cirebon adalah kota di mana istri Kang Yana berasal. Bisa-bisanya aku tidak terpikir untuk mencari sampai ke sana."Kamu mau pergi?"Saat itu suara lirih terdengar dari arah belakang. Itu artinya berasal dari ranjang tempat Lara berbaring. Benar saja begitu aku melihatnya, Lara sudah terjaga. Wanita itu, lantas menatapku dengan pandangan yang sayu."Alhamdulillah kamu udah sadar, Dek. Ya Allah akang bersyukur banget kamu bisa sadar. Akang pikir kamu nggak bakal bangun lagi."Entah kenapa aku begitu emosional ketika melihat mata larang yang terbuka. Mendengar suaranya saja sudah membuatku bahagia bukan main. Rasanya seperti dihidupkan kembali.Ya Tuhan, aku tidak pernah merasakan setakut ini kehilangan seseorang. Tanpa peduli Lara akan berpikir apa, aku sudah tidak bisa mengendalikan perasaan yang mendadak begitu emosional."Jad