Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—"
"Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas.
"Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.
Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu.
"Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras.
"Tapi, Ma,—"
"Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."
Bu Fatma sengaja menekankan kata mandul sambil melirik tajam ke arah Radit. Membuat pria yang masih menjadi menantunya itu menunduk merasa rendah diri, walau tangannya tampak mengepal menahan emosi.
Naura sendiri menunduk, sedikit banyak ia membenarkan perkataan ibunya. Berumah tangga selama delapan tahun tanpa kehadiran seorang anak. Pengobatan Radit yang tak kunjung membuahkan hasil, sementara tekanan sosial yang selalu mengarah kalau belum punya anak pasti salahnya istri.
Semua membuatnya lelah, sampai secara tak sengaja bertemu Fajar di lift. Saling kenal, saling bercerita mengungkapkan keluhan, hingga pria berkacamata itu menjanjikan rayuan dan kehangatan padanya.
"Lalu Mama ingin seperti apa?" tanya Radit.
"Mama mau ada pembagian harta gono gini secara adil!" kata bu Fatma tegas.
"Baiklah kalau begitu, nanti biar diserahkan saja urusan ini pada pengadilan," balas Radit tenang.
"Nah gitu lebih baik," jawab Bu Fatma enteng.
"Sekarang tunggu apa lagi, cepat ceraikan anakku secara agama. Biar anakku bisa cepat cari penggantimu, pastinya laki-laki yang lebih kaya dan nggak mandul seperti kamu!" tambah Ibunya Naura.
"Ma, kenapa sih harus begitu, perceraian itu dibenci Allah!" sergah suaminya.
"Tapi boleh! Lagian anak kita nggak bahagia kok hidup sama Radit, buktinya nyari laki-laki lain," balas Ibu Naura ketus.
"Ma, apa yang dilakukan anak kita ini aib, kenapa malah didukung sih!" keluh suaminya yang akhirnya menimbulkan adu mulut diantara keduanya yang membuat Naura semakin malu.
"Sudah! Sudah!" seru Naura menengahi.
"Baik Pa, Ma, Naura. Mulai hari ini aku resmi menceraikan Naura Anindya binti Rustam Effendi. Naura aku menceraikanmu, aku menceraikanmu!" seru Radit.
"Nah gitu kek dari tadi. Sekarang kamu boleh keluar dari sini dan jangan lupa iddah buat Naura dibayar!" seru Ibu Naura mengusir Radit sambil mengarahkan tangannya ke arah pintu.
Radit pun menyalami kedua mantan mertuanya dan berpamitan. Jodohnya dengan Naura sudah berakhir hari ini.
"Mas," panggil Naura.
"Kenapa Naura?"
“Maaf.”
Radit hanya mengangguk dan menuju mobilnya. Berusaha untuk tenang dengan mengemudi tanpa tujuan jelas. Seperti yang selalu dilakukan sejak dulu setiap kali bersedih.
***
"Mila, kapan mau bayar uang kos?" tegur Bu Nuri pada seorang perempuan berbadan dua yang tengah mengelus perut besarnya.
"Maaf Bu, saya belum ada uang, boleh saya minta kelonggaran sekali lagi!" pintanya sambil menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada seraya memohon.
"Mau sampai kapan? Dua bulan kamu tidak bayar uang Kos. Kamu kira ini panti sosial?"
"Tolong saya Bu, sebentar lagi saya akan melahirkan, saya,—"
Belum sempat Mila melanjutkan kalimatnya, Bu Nuri selaku pemilik kos meletakkan jari telunjuk pada bibir Mila yang pucat.
"Kalau nggak ada uang, kamu nggak bisa kos di sini. Sudah habis kesabaran saya. Sekarang juga,kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!" usirnya.
"Tapi Bu,—"
"Tidak ada tapi-tapian, saya kasih kamu waktu lima belas menit untuk pergi atau saya paksa sampai kandunganmu kempes!" ancam wanita berusia kisaran awal lima puluh itu.
Dengan terpaksa, Mila pun melakukan apa yang diperintahkan Bu Nuri. Menyimpan pakaiannya yang tak seberapa ke dalam tas dan pergi berpamitan. Dia paham kalau sebagai pemilik Kos, Bu Nuri berhak mengusir penghuninya, terlebih yang menunggak bayaran seperti dirinya.
Sebenarnya Mila masih ada sedikit simpanan, namun uang itu akan ia gunakan untuk persalinannya nanti. Dengan langkah gontai perempuan berambut lurus itu pun berjalan terengah-engah tak tentu arah. Kandungannya yang sudah membesar membuatnya sulit untuk beraktivitas.
Sambil menahan tangis, ia menyesali apa yang telah ia lakukan. Cinta buta yang membawanya pada kesengsaraan.
Mila yang sebenarnya anak orang berada terpaksa meninggalkan rumah lantaran memilih untuk bersama kekasihnya, Doni. Kehangatan dan rayuan Doni sungguh menghipnotis hingga mampu membuatnya menentang kedua orang tua yang tak pernah menyetujui hubungannya dengan Doni.
Kedua orang tua Mila sudah memperingatkan kalau Doni bukan laki-laki yang baik dan itu benar terbukti. Doni meninggalkan Mila dalam keadaan hamil. Malu untuk kembali, Mila pun memutuskan untuk menjual perhiasan dan menghabiskan uang tabungannya untuk biaya hidup karena tak ada perusahaan yang mau menerima seorang wanita hamil.
"Andai saja waktu itu aku menurut, tentu tak akan seperti ini akhirnya," gumamnya penuh sesal.
Ia terus melamun sambil berjalan, sampai akhirnya sebuah mobil SUV menabrak tubuhnya. Seketika itu Semua jadi gelap.
Seorang pria berkulit kecokelatan itu pun keluar dari dalam mobil dan melihat apa yang terjadi di hadapannya sebelum massa mulai menghakimi.
"Mas! Mas! tolong bantu bawa perempuan ini ke mobil saya!" pintanya dengan suara yang bergetar.
Ia gugup, dan tentu saja khawatir kalau-kalau perempuan yang ditabraknya meninggal atau mungkin ... Tidak, ia tak sanggup membayangkan. Pria ini adalah Radit, dan ia mengakui kalau saat mengemudi pikirannya melayang ke arah lain.
"Mas, gimana sih Mas kalo nyetir, mana mbak nya lagi hamil lagi," seru seorang warga yang mulai menghakimi.
"Iya! Iya saya tahu dan saya akan bertanggung jawab," seru Radit menutup pintu belakang mobil.
Kerumunan massa itu terus saja mengoceh, memaki dan menyalahkan tindakannya yang ceroboh. Entah apa maksudnya, mungkin mengharapkan keuntungan, seperti yang biasa terjadi. Berpura-pura menjadi kerabat, meminta santunan dan menghilang di rumah sakit.
Radit yang terlihat meninggalkan kerumunan dan membawa wanita yang ia tabrak itu ke Rumah Sakit terdekat. Kali ini ia mengemudi lebih hati-hati lagi. Ada dua nyawa di jok belakang mobilnya.
Hari ini benar-benar hari yang buruk baginya, semua musibah datang dengan bertubi-tubu. Mulai dari perselingkuhan istrinya, dan sekarang ia mungkin akan menghilangkan nyawa satu atau dua orang karena lalai.
Berusaha untuk fokus pada jalanan dan korbannya. Mengesampingkan permasalahan yang tengah di hadapi sambil berharap wanita di belakang baik-baik saja berikut bayi dalam kandungannya.
"Tolong, bertahanlah!" gumamnya sambil terus mengemudi.
Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis."Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya."Ya, ada apa suster?" jawabnya."Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya.""Incubator?""Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. ""Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya."Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunas
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu
Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri
"Suster Alin ... Suster Alin!" seru Heni, perawat dari ruang NICU pada atasannya."Ada apa Suster, kenapa terlihat begitu panik?"Perempuan berseragam putih itu memperbaiki rambutnya yang menjuntai ke depan. Mengatur sirkulasi napas sebelum menatap wanita dewasa di hadapannya."Maaf suster, saya sedikit panik, tapi bayi Ibu Mila Ariani kehabisan stok air susu milik Ibunya. Sementara Bu Mila sendiri sudah dua hari ini tidak berkunjung kemari," lapor Suster Heni."Bayi Ibu Mila Ariani?" tanya Suster Allin sambil memicingkan mata seoalah teringat akan sesuatu."Bukankah seharusnya bayi itu sudah boleh pulang kemarin?" Suster Alin bertanya lagi."Itu juga Suster," jawab Suster Heny."Sudah coba hubungi nomer Bu Mila?" tanya Suster Alin dengan tenang sambil memperhatikan catatan medis para bayi di ruang NICU.Menjadi perawat memang seharusnya bersikap tenang dan tidak mudah panik. Jika panik, dikhawatirkan pekerjaan akan kacau dan bisa berpengaruh pada kondisi pasien. Suster Alin yang suda