Penata rias mulai memoles wajah Flo. Sapuan make up pada Flo, membuatnya tampil berbeda. Flo memang sering menjalani pemotretan untuk katalog lipstik, tetapi make up yang dipakainya hanya sekadarnya. Karena memang hanya bibirnya yang difoto. Namun, kini semua bagian wajahnya dirias. Benar-benar full make up dan membuat tampilannya menjadi semakin cantik.Rambut pendek Flo, dirapikan. Dibuat sanggul ke atas. Penata rambut benar-benar hebat. Rambut Flo yang pendek bisa dibentuk.Flo menatap wajahnya dari pantulan cerminan. Kali ini ada perasaan senang bercampur sedih. Senang karena melihat wajahnya yang cantik dengan Sapuan make up, sedih karena kebahagiaan itu hanya miliknya sendiri. Tak ada saudara yang merasakan bahagia.Kerinduan seketika menghampiri perasaan Flo. Rindu pada orang tuanya dan terutama rindu pada kakaknya“Mungkin jika mereka masih ada, pasti mereka akan merasakan bahagia.” Flo mengembuskan napasnya. Berusaha untuk menahan rasa sakitnya ketika mengingat orang tua dan
Tamu undangan satu persatu mulai meninggalkan acara pesta. Kafa dan Flo mulai bernapas lega karena akhirnya penderitaan mereka berakhir juga. Turun dari pelaminan, Kafa menemui kedua orang tuanya.“Istirahatlah kalian,” ucap Kirei pada anak dan menantunya. “Jangan lupa, segera berikan mama cucu,” imbuh Kirei.“Ma ….” Kafa malas sekali dengan pembahasan sang mama.Pipi Flo langsung menghangat. Merasa begitu malu membahas tentang hal itu. Dia merasa jika itu tidak akan pernah terjadi. Karena dia ingin bercerai dalam keadaan suci.“Sudah, jangan menggoda mereka.” Syailendra pun menghentikan aksi istrinya. “Kalian cepat ke kamar dan beristirahat.”“Iya, Pa.” Kafa pun menatap Flo. Memberikan isyarat agar berjalan menuju ke kamarnya. Mereka berdua berpamitan dan berlalu ke kamar hotel yang sudah disiapkan untuk mereka.Perasaan Flo begitu berdebar ketika menuju ke kamar. Pikirannya melayang membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar. Sadar betul jika hanya akan ada mereka berdua di k
Flo memiringkan tubuhnya. Kakinya memeluk sesuatu yang dipikirnya adalah guling. Untuk sesaat Flo mengingat jika di hotel tidak ada yang menyediakan guling. Lagi pula sesuatu yang dipeluknya itu terasa keras.Jika tidak ada guling, lalu apa yang aku peluk di kakiku.Flo membuka matanya perlahan. Selimut yang menutupi tubuhnya, membuatnya tidak dapat melihat apa yang dipeluk di kakinya. Untuk tahu apa itu, dia pun membuka selimut dengan perlahan. Alangkah terkejutnya ketika mendapati kaki di sana.“Ach ….” Flo langsung berteriak dan bangkit dari sofa seraya menarik selimutnya.“Ada apa?” Kafa yang mendengar suara ikut bangun. Kesadarannya belum pulih sama sekali. Membuatnya menatap bingung ke segala arah.“Kenapa kamu tidur di sini?” tanya Flo kesal.“Oh itu.” Kafa yang menyadari jika yang membuat Flo berteriak, memilih kembali tidur.“Kenapa tidak menjawab dan malah tidur?” Melihat Kafa yang mengabaikannya, membuat darah Flo mendidih. Kesal sekali rasanya diabaikan padahal dia benar-b
“Perfect.” Suara Daris terdengar membuat Kafa dan Flo yang masih dengan posisinya tersadar. Perlahan mereka menjauhkan dirinya. Semua lega karena akhirnya pemotretan berakhir juga.Kafa dan Flo pun mengganti pakaian mereka kembali.Sambil mengganti pakaiannya, Flo tidak menyangka jika dia akan berpose di depan kamera. Tadi, dia sempat takut. Namun, dia mengingat bagaimana dulu kakaknya sering memamerkan pose pemotretan padanya. Semua pemotretan itu, sama persis seperti yang kakaknya lakukan dulu.Rasa rindu seketika menyelinap masuk ke hati Flo. Masih terasa berat baginya kehilangan kakaknya. Namun, perjuangan baru saja dimulai dan Flo tidak akan berhenti sampai di sini.Di luar Kafa menunggu Flo, dia mengobrol dengan Daris dan melihat foto-foto yang tadi dihasilkan oleh Daris.“Foto-foto yang kamu hasilnya selalu sempurna,” ucap Kafa memuji Daris. “Aku rasa bukan hanya letak siapa fotografernya, tetapi siapa modelnya.” Daris m
Perjalanan akhirnya berakhir juga. Kapal berlabuh di dermaga. Kafa dan Flo turun dari kapal. Saat sampai, mereka semua disambut oleh hamparan pasir. Flo yang tak sabar bergegas turun. Melepas sepatunya, karena ingin merasakan pasir pantai.Saat pasir menempel di telapak kakinya, melewati celah-celah jari kakinya. Senyum mengembang di wajahnya ketika merasakan sensasi itu. Begitu bahagia untuk hal kecil itu. Kafa yang melihat istrinya begitu senang, ikut tersenyum. Seolah kebahagiaan menular padanya.“Ayo,” ajak Kafa.Dengan menenteng sepatunya, Flo mengekor di belakang Kafa. Sepanjang jalan, mata dimanjakan dengan pemandangan laut yang begitu indah. Membuat Fla tak sabar untuk masuk dan menikmati berenang di sana.Mereka sampai di vila yang berada di tepi pantai. Flo begitu semangat masuk ke vila. Vila begitu luas. Terdiri dari beberapa kamar. Pemandangan laut lepas terlihat dari dalam vila. Seolah itu adalah pemandangan khusus pemilik vila.
Setelah kejadian tadi, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing. Di dalam kamar Kafa tersenyum sambil melihat bibirnya yang jadi dower.“Sepertinya ini sebanding dengan nikmatnya,” gumamnya melihat penampakan dirinya dari pantulan cermin. Sedikit mengingat bagaimana tadi dia menikmati bibir manis Flo. Belum lagi, bagaimana Flo menyesap bibirnya untuk mengurangi darah yang mengalir membuatnya benar-benar gila.“Kenapa aku memikirkannya?” Kafa menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya jika dia hanya menjalani pernikahan kontrak saja. Jadi tidak mau terjebak dalam pesona seorang Danica Florencia.Di kamar lain, Flo juga melihat wajahnya dari pantulan cermin. Merutuki kebodohannya yang menyesap bibir Kafa untuk membuat darah di bibir Kafa berhenti. Kejadian hari ini benar-benar tak diduga oleh Flo. Namun, dia sadar jika menikah dengan Kafa adalah pilihan. Dikelilingi dengan popularitas, banyak pencari berita yang ingin memberitakannya.“Kenapa ak
Perut yang berdemo terus membuat mata yang tadinya terpejam, akhirnya terbuka perlahan. Flo melihat ke sekitar mencari letak jam dinding. Maklum, tempat baru, jadi dia tidak tahu di mana letak jam dinding. Waktu sudah menujukan jam tujuh malam. Itu artinya, dia sudah tidur cukup lama.Flo berangsur bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyegarkan dirinya terlebih dahulu. Sekalinya perutnya terus berdendang, tetap saja tidak akan nyaman ketika harus makan dalam keadaan tubuh yang bau.Mengayunkan langkahnya pasti, dia masuk ke kamar mandi. Netranya membola melihat pemandangan di hadapannya. “Kamar mandi ini lebih besar dibanding kamar kosku.” Rasanya jiwa miskin Flo meronta-ronta. Sungguh berapa banyak uang orang kayak hingga membuat kamar mandi begitu besar.“Untuk apa mereka membangun kamar mandi besar? Pada akhirnya, mereka hanya beberapa menit saja di kamar mandi,” cibir Flo. Tak mau juga berlama-lama di kamar mandi, dia pun bergegas untuk mandi.Tubu
Flo mengikuti Gala untuk menemui manager yang akan menanganinya. Flo yang melihat Dinda tersenyum. Dia pernah bertemu dengan Dinda saat mengantarkan berkas kala itu. Di mana terjadi sebelum kejadian foto yang beredar.“Din, ini model baru itu, istri dari Pak Kafa.” Gala memberitahu Dinda.“Hai, kita bertemu lagi.” Dinda menyapa Flo.“Iya, Bu.” “Panggil saja Dinda.” Dinda pastinya tidak enak mengingat yang menjadi modelnya adalah istri pemilik tempatnya bekerja. Flo hanya mengangguk.“Baiklah, Flo. Kamu bisa mulai bekerja, Dinda akan mengarahkanmu.” Gala menatap Flo. Kemudian pergi setelah mendapat anggukan dari Flo.Dinda yang melihat Flo tersenyum. Memintanya untuk duduk di sofa ruangannya. Tampak Flo begitu canggung.“Aku senang kamu bergabung di sini. Sejak awal aku melihatmu aku sudah tahu kamu cocok jadi model.” Wanita yang usianya tiga puluh lima tahun itu. Sejak awal dia melihat wajah Flo begitu menjual. Sehingga dia b