Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.
Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv
Hazell menutup pintu mobilnya dengan kuat, lebih seperti membantingnya. Jika tidak mengukur tenaga dan mengontrol emosinya, mungkin kaca mobilnya bisa pecah. Tapi, ia bukan orang bodoh yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Baginya, lebih sulit mengontrol perasaan cemas dan rasa bersalah ketimbang amarah.Usai menghubungi Rendyka, ia pergi meninggalkan rumah sakit. Ia tak mau terlalu lama berpisah dengan adiknya yang kini masih setia dalam pejam lelahnya. Namun, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Ia tak mau dihantui rasa bersalah karena belum berhasil memberikan kebahagiaan pada adik tirinya. Namun, besar perasaan bersalahnya saat ini tertutupi oleh kekecewaan pada sang ayah.Seperti takdir. Hari itu, Rendyka melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta, menghadiri sebuah pertemuan pebisnis di Hotel Shangri-La, Jakarta. Langsung saja Hazell memaksa sang ayah untuk bertemu dengannya. Sebagai anak sulung yang membanggakan, Rendyka tentu
Hazell dan Oliver duduk bersebelahan. Sudah lebih dari 30 menit mereka dalam keheningan, setia pada pikiran masing-masing. Hazell menunduk menatap lantai, sementara Oliver mendangak menatap langit-langit. Hanya satu yang sama pada mereka, perasaan kacau, tatapan kosong penuh kesedihan, dan perasaan yang tak tentu.Menghela napas adalah satu-satunya cara mereka untuk menghapus keheningan yang tercipta. Namun tetap tak ada yang mau membuka mulut untuk berbicara. Mereka masih mencoba mencerna penjelasan Aisyah beberapa saat sebelumnya. Bahkan, saat Aisyah menyuruh mereka untuk memindahkan Jo ke rumah sakit yang lebih baik pun mereka hanya menurut."Glioma Brainstem. Tumor ganas di batang otak yang tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi. Meski kemo dan radiasi dilakukan, umur Jo mungkin tak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi."Hazell menghela napas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Ucapannya pada
Akhir pekan, terutama hari Minggu, adalah hari bagi Jendra untuk menjadi bagian dari Tim Rebahan. Meski ia tetap bangun subuh untuk salat, setelahnya ia kembali membenamkan diri di kasur nyamannya, membungkus badannya bak lemper dengan selimut tebalnya, dan kembali menjelajahi alam bawah sadarnya.Ia terbangun karena mendengar suara dua perempuan di luar kamarnya. Ia tinggal di apartemen yang tidak begitu luas, sehingga ia bisa mendengar dengan cukup jelas bahwa ada tamu di ruang tengah yang berada tepat di samping kamarnya. Ia meraih ponselnya di atas nakas, ternyata masih jam 08.11. Siapa tamu yang datang ke apartemennya pagi-pagi seperti ini? Ia tak tahu. Pasalnya, jarang sekali sang tante menerima tamu di apartemen mereka sebelum jam 9 pagi. Karena, ia tahu betul bahwa sang tante sangat benci ketika hari liburnya dipakai untuk menemui tamu.Perutnya bergemuruh. Ia lapar. Memang biasanya ia sarapan jam 6, tapi ini sudah dua jam ia melewatkan sara
Berat bagi Jendra untuk melangkah kembali ke rumah sakit yang pertama kali mendiagnosis ayahnya menderita tumor otak. Kali ini, ia pun harus kembali ditampar oleh kenyataan bahwa gadis pujaannya menderita penyakit yang sama. Bedanya, penyakit sang gadis pujaan benar-benar tidak punya harapan untuk sembuh. Sulit baginya menerima kenyataan pahit untuk kedua kalinya.Jo bukan sekedar teman baru. Meski baru ia kenal dua minggu, tapi ia sudah yakin dengan perasaannya. Rasa sukanya semakin kuat seiring berjalannya waktu. Bahkan, ia bisa saja menggila karena chat yang dibalas cepat, berbicara di telepon pada malam hari, bahkan ia bisa gila karena tidak bertemu dengan Jo diakhir pekan. Jika hari ini ia tidak datang ke rumah sakit, ia takut tidak akan pernah bisa melihat Jo lagi.Saat ia dan Aisyah tiba, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Memang belum jam besuk, tapi mereka dapat masuk berkat bantuan dari Fiona. Apalagi, Jendra cukup dikenal di rumah sak
Untuk pertama kalinya dalam hidup hampir 15 tahun ini Jo merasakan yang namanya jantung berdebar-debar oleh jatuh cinta. Sebab, keesokan harinya, tepat jam 4 sore, Jendra datang dan menuntut jawaban dari Jo. Semalaman Jo sampai kurang tidur karena memikirkan jawaban untuk Jendra. Dan sore itu, Jo pun menjawab tanpa ragu, di depan Oliver.Oliver memberikan reaksi yang tentu saja sudah diperkirakan oleh Jo. Oliver mengamuk habis-habisan, mengajak Jendra ribut hingga menarik perhatian perawat-perawat yang berada di nurse station tepat bersebelahan dengan kamar rawat Jo. Malam itu, Oliver bersikap begitu dingin pada Jo. Jo paham alasan Oliver, namun tetap ia merasa tak enak hati dan sedikit takut pada Oliver. Namun, saat pagi, suasana Oliver sudah kembali semula. Meski sikap Oliver pada Jendra masih sama, masih terlihat bahwa Oliver tidak suka pada Jendra.Tentu saja satu kelas langsung mengetahui status hubungan Jo dan Jendra, tanpa ada seorang