Dominic tidak berhenti memikirkan kejadian yang baru saja dia alami di dalam lift. Setelah mengantar Ares ke mobil pribadinya di loby, pria itu langsung kembali ke ruangannya dan menyuruh Dann untuk bersiap. Mereka akan ke kantor Sabda Alam Corps untuk membahas kerja sama mereka.
Lalu di sinilah mereka sekarang. Di dalam sedan mahal kepunyaan Dominic yang sedang melaju membelah padatnya jalan raya. Pria itu duduk menatap ke luar jendela sambil tidak berhenti berpikir dan menganalisa apa yang sedang terjadi sekarang.
Tadi Ares menelepon cucunya yang tidak lain adalah Chalondra. Ya, Chalondra-nya. Memangnya sebesar apa peluang orang lain punya nama yang sama seperti ‘Chalondra’? Itu nama yang unik dan tidak pasaran. Selain itu Dom juga sangat mengenal suara Chalondra yang keluar dari lubang speaker handphone. Itu jelas-jelas suara gadis kecil yang sejak tadi malam tidak memberi kabar padanya.
Dominic pun tidak bodoh dalam mengartikan nada suara Ares saat berbin
Guys, I*G-ku yang OotBahoo lagi gak bisa log in. Miss you all already. Thank you selalu nungguin 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Chalondra menangis dalam diam di sebelah Brandon. Di kepalanya masih terlintas wajah Dom yang bisa dia tangkap lewat ekor matanya tadi. Sudut bibir pria itu berdarah dan itu membuat hati Chalondra tercabik-cabik. Sekarang dia sangat ingin kabur memeluk Dominic dan menangis di dada bidang laki-laki itu. Dia ingin Dominic tau betapa dia sangat merindukan Dom satu malam ini. Namun Brandon selalu berusaha membuat pikirannya fokus pada kelicikan Dominic. Dia selalu diingatkan kalau Dominic jelas punya maksud jahat dalam hubungan diam-diam mereka. Bagaimana pun Dominic pasti tidak ingin merusak nama baiknya dengan perceraian. Dominic pasti hanya ingin memanfaatkannya karena Chalondra adalah putri dari Chris Ellordi. Meskipun sudah menelan semua perkataan Brandon bulat-bulat sejak tadi malam, tetap saja hati Chalondra luluh saat mendengar pria itu menyebut namanya dan mengetahui Dominic sangat ingin berbicara kepadanya. Air matanya pun tak berhenti bercucuran mengingat dia
Dominic mengerutkan dahinya mendengar ucapan Marcus barusan. Ada apa lagi ini? Ternyata ada banyak hal yang tidak dia ketahui meskipun sudah lama terlibat dalam perusahaan ayahnya. "Masalah di masa lalu? Bukannya pak Ares itu teman papa sejak awal mendirikan Inti Global? Masalah seperti apa yang papa maksud?" Marcus mengangguk-angguk sambil masih berdiam. "Ini rumit, Dom. Baguslah kamu memberi tahu papa soal ini. Papa jadi tahu kalau kita masih perlu waspada dan jangan menganggap remeh keberadaannya." "Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai beliau, Pa. Dari dulu. Gerak geriknya mencurigakan." Marcus memandangi Dom dengan serius. "Oh ya? Kenapa bisa demikian?" "Entahlah. Papa kan menyuruhku untuk menilai setiap orang-orang yang menjadi anggota direksi dan komisaris. Dari keseluruhan, hanya pak Ares yang sedikit berbeda. Kesannya dia tenang, tapi menghanyutkan." "Bagus. Asah terus intuisimu itu. Kita harus berhati-hati. Apalagi kau, Dom.
Brandon mendengar semua obrolan Chalondra dan Dominic lewat earpiece yang ada di dalam telinganya. Chalondra mungkin tidak menyadari kalau Brandon sudah menempelkan alat penyadap di dalam tas yang sekarang dia bawa. Tentu saja Brandon harus melakukannya saat dia terpaksa mengizinkan adiknya itu kembali menemui Dominic. Ketakutannya pun terjadi. Kedua orang itu benar-benar saling jatuh cinta. Brandon sangat bisa mengartikan kata demi kata yang keluar dari mulut Dominic. Pria itu sepertinya sungguhan akan memperjuangkan Chalondra. Entah itu kabar baik atau justru kabar buruk, yang pasti Brandon semakin pusing memikirkan bagaimana akhir dari semuanya ini. Jam di ruangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah seharusnya dia pulang. Lantai dimana dia berada pun sudah semakin sepi. Brandon memutuskan untuk pulang saja. Dia ingin tidur lebih cepat. Ah tidak. Dia ingin menginterogasi Chalondra lagi. Brandon keluar dari ruangannya. Dia melihat sekeliling dan sudah ko
Chalondra sudah ada di rumah saat Chris, Amber dan Brandon pulang. Gadis kecil itu sudah merasa lebih bersemangat setelah bertemu dengan Dominic tadi sore. Disambutnya ayah, ibu dan juga abangnya di depan pintu sambil mengunyah camilan berupa keripik balado. "Kamu belum tidur, Cha? Tumben?" Amber bertanya sesudah Chalondra mengecup pipinya. "Kan nungguin kalian pulang. Nggak biasanya papa mama pulang malam. Bareng abang lagi." Chalondra melirik Brandon. Abangnya itu pun balas meliriknya sekilas sambil membuka sepatu. Sebisa mungkin mereka bersikap biasa, seperti tidak ada yang terjadi di antara mereka saat berada di depan Chris dan Amber. "Iya, tadi ada Janice di rumah sakit." "Kak Janice? Kenapa? Kak Janice sakit?" Brandon spontan melihat ke arah Chalondra yang sangat antusias bertanya pada ibunya. Chalondra pun mengenal Janice. "Bukan, Cha. Tante Kinan itu ..." Amber tidak melanjutkan kalimatnya karena Chris tiba-tiba meletakkan jas
Chalondra memberontak kala Dominic menariknya keluar dari mobil. Dia masih marah. Enak saja pria itu membawanya ke apartemen tanpa seijinnya? Cha sangat tau ini akan berujung di kasur dan dia tidak sudi tidur dengan Dominic sekarang. Setelah dia berciuman dengan perempuan lain? Enak saja! Dominic tidak kehabisan akal. Dia memangku Chalondra seperti karung beras dan membawa gadis itu masuk ke dalam lift khusus vvip. “Turunkan aku, Dominic sialan!!” “Kedengarannya kamu mulai terbiasa memanggil nama saya, Chalondra. Bagus. Saya suka itu. Jangan lupa call my name saat kamu mencapai klimaks nanti.” “Setaaaannnn!! Aku nggak sudii!!” Chalondra menendang-nendang perut Dom dan memukul-mukul punggungnya. Pria itu tidak terpengaruh sedikit pun. Bahkan sampai pintu lift kembali terbuka, dia terlihat masih begitu semangat membopong tubuh Chalondra yang kecil. Dominic membuka pintu unit apartemennya dengan menggunakan akses retina matanya. Setelah itu, dia
“Cha, kita sudah puasa selama tiga hari. Saya rindu masuk ke dalam kamu.” Dominic memang ahlinya pencetus kata-kata vulgar yang selalu berhasil menaikkan libido Chalondra dalam waktu singkat. Ditambah lagi tangan besar pria itu sudah menelusup masuk ke dalam crop top berbahan kaos yang dipakai Cha dan mengacak-acak isinya. Jari-jari nakal Dominic memainkan puncak bukit milik Chalondra dan menarik lidahnya dengan sensual. Chalondra mendesah dengan kuat. “Katakan apa tujuan kamu datang ke kantor saya? Apa kamu terpikir kita akan bercinta di dalam ruangan saya, Chalondra?” Dominic bertanya dengan suara beratnya. Ciri khas kalau napsunya sudah melambung tinggi. Chalondra sendiri membiarkan pria itu menarik celana jinsnya keluar dari kaki-kakinya yang jenjang. “Otakku tidak sekotor otak Daddy.” Chalondra berdalih. Namun tatapan matanya yang berkabut sudah jelas menyangkal perkataanya. Dominic juga membuka celana bahan yang masih dia kenakan. Saat kain panjang itu
"Jadi apa yang membuat kamu kepikiran datang ke kantor saya?" Setelah selesai bergumul dalam permainan panas, Dominic dan Chalondra sama-sama beralih ke pantry. Keduanya menjadi lapar akibat energi yang terkuras habis. Kebetulan di dalam kulkas Dom ada sejumlah frozen food yang bisa dimasak dalam waktu singkat untuk mereka santap dalam waktu dekat. Chalondra memilih untuk mengukus dimsum, sementara Dom memilih untuk memanggang pizza bekunya. "Cuma mau lihat kantor Daddy aja. Penasaran. Sama sekalian mau pamit," jawab Chalondra sambil memasukkan satu buah dimsum berukuran sedang ke dalam mulutnya. "Tadi kuliah jam berapa?" "Jam empat sore, Dad. Jam setengah enam sudah beres." Dom mengangguk. "Tadi langsung tau ruangan saya. Siapa yang kasih tau ke kamu?" "Tanya si resepsionis. Aku bilang ponakannya Dad. Awalnya mereka nggak percaya. Tapi tau-tau pak Dann muncul. Katanya nggak apa-apa aku masuk. Jadi si resepsionis ngijinin." "Oh
Dominic tidak langsung kembali ke apartemennya. Dia harus segera mendapat penjelasan dari Marcus perihal Reina. Tadi Reina dengan lantang mengatakan kalau urusan laporan dia akan langsung ke Marcus, bukan? Itu artinya papanya sudah tau tentang keberadaan istrinya itu di perusahaan. "Astaga!! Apa yang terjadi dengan hidungmu, Dom!!!!" Perempuan paruh baya bernama Miranda, yang dia panggil ibu itu histeris saat melihat Dominic memasuki ruang keluarga. Sekalinya pulang ke rumah, anak semata wayangnya itu malah datang dengan keadaan yang mengenaskan. Baju kemeja yang ternoda oleh bercak-bercak darah dan hidung dengan darang yang sudah mengering di sekitarnya. Marcus yang sedang membaca koran hanya mendelik sekilas. Dia tentu saja sudah tau apa terjadi pada Dominic. "Mom, tolong ambil obat. Hidungku rasanya sudah patah di dalam," kata Dominic sambil duduk di kursi yang ada di depan ayahnya. "Ini mana bisa diobatin sembarangan. Kamu harus ke dokter