Share

Sebuah Peti Zaman Dulu

Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.

“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”

“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”

Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.

Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.

Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang hebat. Sejak kecil, hanya dia yang bisa menenangkanku. Sekarang, jejak-jejak peninggalan Bapak masih ada, salah satunya harum badan Bapak. Padahal, sudah lebih dari setahun Bapak meninggal.

Aku duduk di atas ranjang kecil milik Ibu. Seingatku, ranjang Ibu dan Bapak lebih besar dari ini. Mungkin Ibu menggantinya dengan ranjang seukuran badan. Sampai kemudian, Ibu membuka suara. Suara yang terasa begitu menggetarkan.

“Ibu rindu Bapak,” desahnya.

Dadaku langsung bergejolak. Aku tahu jika Ibu selalu menyembunyikan seluruh kesedihan. Aku tahu, jika diam-diam, Ibu selalu menyimpan luka. Namun sekarang, sepertinya dia tidak bisa menyembunyikan semuanya. Dia tidak bisa pura-pura lupa karena akan mengeluarkan benda peninggalan Bapak.

“Nara juga rindu Bapak, Bu.” Aku menanggapinya dengan senyum menenangkan.

Jauh di dalam lubuk hati, aku ingin menjerit. Meninggalnya Bapak disebabkan oleh tambrakan yang terjadi setelah acara wisudaku. Anak mana yang tidak merasa bersalah? Ibu selalu berkata bahwa ini adalah takdir. Tapi aku tidak bisa membohongi diri. Kadang-kadang, aku merasa seperti seorang pembunuh yang mengambil Bapak secara sepihak dari kehidupan Ibu.

Aku memeluk Ibu sebelum bangkit dari ranjang. Hingga kemudian, dia benar-benar berdiri dan membuka lemari kayu.

“Kalau Ibu nggak kuat, Nara nggak apa-apa kok, Bu. Mungkin lain kali saja Ibu memberitahu barang peninggalan itu.”

Ibu yang membelakangiku, menggeleng. “Ibu tidak bisa menunda-nunda lagi, Nak. Setidaknya dengan memberikan benda ini ke kamu, Ibu bisa lebih tenang. Kamu tahu? Setiap malam, Ibu selalu memikirkan isi benda tersebut. Ingin sekali Ibu membongkar dan melihatnya. Namun Ibu tidak bisa melakukannya. Bapak selalu bilang kalau benda ini hanya untuk kamu.”

Aku mengerti perasaan Ibu. Dihantui benda yang pemiliknya sudah tiada adalah hal yang menyakitkan. Sama seperti aku yang selalu dihantui nasihat-nasihat Bapak. Ketika mengingatnya, hatiku tertusuk.

Aku mendengar suara gesekkan antara lemari dan benda yang terbuat dari kayu. Hingga kemudian, Ibu berbalik. Dia lantas mengacungkan sebuah peti yang memiliki ukuran kurang lebih 30x30 sentimeter. Aku juga tidak tahu ukuran pasti peti itu. Namun yang kulihat, peti itu terlihat tua. Ada ukiran bunga di setiap sisi benda tersebut.

Ibu duduk lagi di sisi ranjang. Sekarang, tubuh kami dihalangi peti.

“Ini benda yang Ibu maksud, Nara,” desah Ibu. Ibu mengusap debu yang menempel di permukaan peti. Ibu juga menyimpan kunci di atasnya. Peti itu digembok. Kulihat, kuncinya pun sudah agak berkarat. “Kalau sudah pulang ke Bandung, kamu buka sendiri petinya.”

Aku ikut mengusap permukaan benda tersebut. Entah kenapa, dadaku terasa sesak saat memegangnya. Energiku seperti tersedot. Dengan gerakkan cepat, aku menjauhkan tangan dari peti.

“Kenapa Bapak ngasih ini ke Nara, Bu?” tanyaku dengan tatapan ragu.

Ibu menggeleng, tetapi ada sedikit senyum. “Mungkin Bapakmu ingin memberitahukan rahasia.”

Alisku tertaut. “Rahasia?”

“Mungkin saja .....” Dia mengusap tanganku lembut. “Ibu tidak tahu persis, Nara. Tapi kamu harus tahu, Bapak itu misterius. Selama hidup dengannya, Ibu tidak tahu persis seluruh hal yang berkenaan dengan Bapak.”

Mendapati penjelasan itu, aku setuju. Bapak bukan tipe orang yang senang bercerita. Dia sangat tertutup. Tapi sekali bicara, ucapannya bisa menempel di otak. Bapak adalah buku berjalan untukku. Semua dorongan, motivasi, juga hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan, lahir dari Bapak. Lahir dari ucapan-ucapan singkatnya.

Ibu mendorong peti itu ke hadapanku. “Simpan baik-baik benda ini ya,” desahnya. “Satu lagi. Kamu jangan buka benda ini di hadapan siapa pun. Termasuk suamimu.”

Aku mengerti. Ibu saja tidak berani membuka isinya. Pasti benda di dalam peti ini sangat rahasia, sehingga tidak boleh diketahui oleh siapa pun.

“Sekarang .....” Ibu membelai rambutku. “Temui Bapak, Nara. Dia pasti merindukanmu. Dia juga pasti ingin bertemu dengan menantunya.”

Aku mengangguk. Sebelum berdiri, aku merengkuh Ibu. Aku benar-benar sedih dengan fakta ini. Fakta ketika Bapak harus pergi terlebih dahulu sehingga membuat aku dan Ibu merasa kehilangan.

“Bu,” aku melepas peluk. “Besok, Ibu ikut ke Bandung ya ....”

Ibu menggeleng.

“Kenapa? Di Bandung, Ibu bisa melupakan Bapak perlahan-lahan.”

Pernyataanku disambut tawa oleh perempuan berusia 46 tahun itu. Mungkin ucapanku dianggap sebagai penawar racun abal-abal, yang tidak bisa menyembuhkan.

“Menjauh itu bukan jalan, Nara,” desah Ibu. “Kamu masih ingat kata Bapak? Bapak bilang, hidup ini mirip sekali dengan permainan kejar-kejaran. Dekat dikejar, jauh juga dikejar. Yang beda itu objeknya. Bagaimana kita menghadapi semuanya? Apakah melawan? Apakah lari sekencang-kencangnya? Atau membiarkan sesuatu menangkap kita?”

Aku tahu sekali ucapan Bapak yang ibu ulang. Bapak selalu bilang begitu jika aku mengeluh soal kehidupan.

“Sekarang,” Ibu mengusap pipiku yang basah. “Ibu memilih untuk diam di sini. Ibu mengikhlaskan semua cerita, kenangan, juga kepedihan. Ketika kita bersahabat dengan itu semua, kita akan lebih kuat. Bukan begitu?”

Terharu melihat ketegaran Ibu, aku kembali merengkuhnya. “Makasih, Bu. Ibu selalu menjadi orang terbaik di kehidupan Nara. Ibu selalu menguatkan Nara setelah Bapak pergi.” Aku memejamkan mata. “Janji ya, Bu. Ibu nggak akan tinggalin Nara seperti Bapak yang tinggalin kita.”

Mungkin aku egois karena meminta ibu untuk menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Jodoh, celaka, harta, semua Tuhan yang atur. Aku hanya ingin memastikan jika Ibu masih ada di sisiku. Aku tidak bisa membayangkan jika orang satu-satunya yang kumiliki malah ikut meninggalkanku.

“Sudah,” Ibu menyeka air mataku. “Sekarang, ajak suamimu pergi ke makam. Dia sudah menunggu lama.”

Aku mengangguk. “Petinya titip di kamar Ibu dulu ya, Bu. Saat akan pulang ke Bandung, pasti aku ambil.”

Ibu mengangguk pelan.

Aku berdiri dari ranjang dengan gerakkan cepat. Mas Gala pasti sedang merutuk karena menunggu lama. Aku sudah tahu gelagat suamiku itu. Tapi biarlah. Sesekali, orang kaya memang harus diberi pelajaran.

Dengan gerakkan keras, aku membuka pintu kamar Ibu. Namun aku terkejut saat ada teriakkan yang begitu kencang. Tak kusangka, Mas Gala ada di depanku. Satu tangannya menutup bagian dahi.

“Mas nggak apa-apa?” Aku buru-buru mengusap bagian wajahnya.

“Kamu sengaja ya bikin saya kesakitan?” jawab Mas Gala dengan suara bergetar.

Semangat berlebih yang menjalar di tubuhku membuat sebuah tragedi baru. Mas Gala tertubruk pintu kamar.

“Maaf Mas, aku beneran nggak tau.” Aku mengusap dahinya yang merah. Aku juga meniupnya beberapa kali. “Lagian, kamu ngapain sih diam di depan pintu? Kamu .....”

 “Tadi saya mau ngajak kamu ke .... ke ... ke makam Bapak!”

Aku menatap Mas Gala. Kulihat bola matanya bergerak begitu cepat. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Tapi apa?

“Ada apa, Nara?” Ibu muncul dengan mimik penasaran.

“Ini, Bu .... Mas Gala ....”

“Nara jahat banget, Bu. Masa dia bikin dahi saya benjol!”

Ibu langsung melotot melihat dahi Mas Gala yang mulai membengkak. Hingga Ibu berlari ke dapur untuk mengambil kompresan. Sementara, aku menarik tangan Mas Gala agar duduk di sofa. Kasihan juga Mas Gala. Untuk pertama kalinya, dia mendapatkan pengalaman buruk di rumah ini.

Tapi sungguh, aku masih memikirkan alasan Mas Gala diam di depan pintu. Apakah dia memang sengaja menguping? Apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan? Ah, Nara. Jangan terlalu banyak berpikir. Suamimu sedang kesakitan ....

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Melani Anggraeni
Gala juga misterius nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status