Evangelin berjalan ke arah lift dengan sedikit tertatih, lutut dan sikunya terasa perih. Evangeline mengusap sikunya dengan tissue saat berada di dalam lift, kini ia benar-benar terlambat di hari pertamanya bekerja.
Di sisi lain, di ruangan Ceo-D.R Corporation. Atasan Evangeline tampak mengetukkan jari telunjuk di meja kerjanya, ia menatap tajam pada asisten pribadi yang berdiri di depan mejanya dengan kepala tertunduk.
"Dan! Mana sekretaris yang kamu bicarakan?" tanya Ceo perusahaan itu.
"Mungkin dia ada sedikit kendala di perjalanan, Pak!" jawab Danny, asisten pribadi petinggi perusahaan itu.
Evangeline sudah sampai di depan pintu atasannya, ia mencoba mengatur napas sebelum mengetuk pintu.
TOK! TOK! TOK!
"Itu pasti dia," ucap Danny yang langsung berjalan mearah pintu kemudian membukanya.
Danny membukakan pintu dan melihat penampilan Evangeline yang sedikit berantakan. Helaian rambut yang diikat model ekor kuda sedikit mencuat tak beraturan dengan kaca mata tebal yang menutup bola mata coklat indahnya, tidak ada anggun-anggunnya seperti penampilannya yang dulu.
"Pagi Pak! Maaf saya terlambat," ucap Evangeline pada Danny.
"Masuklah!" perintah pemuda itu.
Evangeline bisa merasakan hawa dingin menusuk begitu ia melangkahkan kaki ke ruangan pria yang akan jadi atasannya itu. Gadis itu sekilas terkesima dengan pria yang duduk dengan sedikit membusungkan dada menatap ke arah dirinya.
Pria itu adalah Devan Rajendra, pemilik D.R Corporation. Pria berumur tiga puluh tahun, memiliki wajah tampan dengan rahang yang kuat, hidung mancung bahkan bulu matanya lentik dengan bibir seksi yang begitu menggoda. Sayang, sifatnya tidak seperti penampilannya yang terlihat lembut dan penyabar, Devan adalah pria tegas dan paling benci ketidak disiplinan, waktu adalah hal yang paling ia hargai, karena itu keterlambatan Evangeline sepertinya akan menjadi masalah untuk wanita itu.
"Aku paling benci ketidak disiplinan dan orang yang suka membuang-buang waktu. Jika tidak berniat bekerja atau hanya ingin main-main saja, maka silahkan pergi dan keluar dari sini!!" teriak Devan begitu keras seraya menunjuk pada pintu keluar ruangannya.
Evangeline sampai mengedikkan pundak karena terkejut, berpikir apa kata-kata itu adalah sebuah pemecatan.
"Ma-maaf, Pak?" Evangeline bertanya-tanya.
"Kamu tuli? Tidak perlu aku suruh harusnya kamu sadar diri, jika hari pertama bekerja saja sudah terlambat, apalagi hari berikutnya, hah!!" bentak Devan.
Evangeline terkejut, ia sampai menundukan kepala karena takut. Sejak tiga tahun setelah lulus kuliah dia tidak pernah bekerja. Namun, sayangnya begitu mendapatkan pekerjaan, ia harus memiliki atasan yang begitu galak dan sombong, tega memecatnya begitu saja di hari pertama tanpa tidak mau tahu alasan dirinya terlambat.
Danny memegangi keningnya, ia sendiri tidak mengerti dengan kriteria sekretaris yang diinginkan atasannya. Evangeline adalah wanita ketiga yang dipecat dalam satu minggu ini.
"Bu-bukan maksud saya terlambat, Pak! Saya punya alasan," ucap Evangeline sedikit tergagap karena takut.
"Alasan? Hah, alasan apa? Jalanan macet? Orangtua sakit? Tidak tahu lokasi? Alasan klasik!" cibir pria itu yang tidak memberikan kesempatan pada Evangeline untuk bicara.
Evangeline tidak berani bicara, ia hanya bisa menggenggam erat tali tas yang melingkar di depan dadanya.
"KELUAR!!" usir Devan. "Kamu dipecat!" imbuhnya.
Jika bisa menangis saat itu, mungkin Evangeline ingin menangis. Baru kali ini ia dibentak seperti itu, berpikir kenapa atasannya itu tidak mau mendengar alasannya.
"Saya permisi!" Evangeline sedikit membungkukkan badan, ia kemudian pergi keluar dari ruangan itu.
Danny menghela napas kasar, ia menatap Devan dengan air muka malas.
"Ini artinya aku harus buka lowongan pekerjaan lagi!" gerutu Danny.
Devan memicingkan mata ke arah Danny ketika mendengar kata yang keluar dari mulut asistennya.
"Makanya, lain kali pilih sekretaris yang selektif. Jangan cuman pandai, tapi kedisiplinan itu juga perlu!" Devan tidak mau tahu, ia membuka dokumen yang ada di meja lantas membacanya.
Evangeline berjalan dengan sedikit gontai. Lutut dan siku sakit, kini hatinya juga sakit karena kena pecat dan bentakan berkali-kali.
"Dasar pria sombong dan galak, kenapa tidak mendengar penjelasan dariku dulu, seenaknya langsung pecat!" gerutu Evangeline.
Evangeline duduk di sebuah bangku yang berada di halaman perusahaan, ia memperhatikan lututnya kemudian mendesah kasar. Evangeline mengingat kejadian yang membuatnya terlambat masuk kerja.
"Angel! Awas!" teriak seorang wanita berumur lima puluhan lebih.
Wanita itu memanggil seorang anak kecil yang tengah berlari ingin menyeberang jalan.
Evangeline yang mengira jika dirinya lah yang dipanggil pun menoleh, ia terkejut melihat gadis kecil berumur sekitar lima tahunan itu berlari menyeberang padahal lampu lalu lintas saat itu menunjukkan merah untuk pejalan kaki.
Takut terjadi sesuatu hal yang buruk pada gadis kecil itu, Evangeline pun berbalik dan berlari ke arah gadis kecil tadi karena sadar jika wanita yang mengejar gadis itu tidak akan bisa menggapainya.
Sebuah mobil melaju dengan kencang, gadis itu terkejut karena posisinya tepat berada di tengah jalan. Tapi, Evangeline bisa meraih tangan gadis itu terlebih dahulu sebelum mobil yang melaju ke arah mereka sampai.
Mendekap tubuh mungil gadis itu, Evangeline malah terjerambab dan jatuh dengan masih memeluk gadis itu.
"Angel!!" teriak wanita tua itu panik.
Wanita berumur lima puluh tahun itu langsung mengambil gadis kecil itu dari pelukan Evangeline kemudian memeluknya erat dengan air muka penuh kecemasan.
Evangeline bangkit, ia menepuk rok bagian belakang yang kotor. Ia sadar jika lutut sebelah kiri dan lengannya tergores aspal. Wanita itu tidak sempat menanyakan kondisi gadis kecil itu karena ia harus bergegas masuk ke perusahaan.
"Kenapa nasibku sial!" gerutunya seraya menghentakkan bergantian kedua kakinya ke tanah.
"Tidak bisakah Evangeline memberi berita baik untukku?"
Evangeline menangkup kedua sisi wajahnya, meratapi kenapa ia terus terkena sial. Sepertinya arti namanya tidak berlaku untuk dirinya.
Evangeline kini dipanggil kembali masuk ke dalam ruang Devan, awalnya ia bingung ketika seorang security memintanya masuk lagi."Ada apa dengan pria itu? Tadi mengusirku, tapi sekarang memintaku balik lagi," gumam Evangeline yang sedang berjalan di lorong menuju ruang Devan.Evangeline sudah berdiri di depan pintu Devan, ia tampak ragu ketika ingin mengetuk pintu, hingga pintu itu terbuka membuatnya terkesiap."Kamu sudah datang, silahkan masuk!" Danny mempersilahkan Evangeline.Evangeline tersenyum canggung, tapi ia tetap masuk ke dalam. Wanita itu terkejut ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu, ia jadi ingat kejadian beberapa menit yang lalu.Evangeline mengamati lututnya kemudian sikunya, wanita itu tengah meratapi nasib sial yang terus menghampiri hidupnya."Bibi!"Mendengar suara anak kecil, Evangeline pun menoleh ke arah sumber suara. Ia bisa melihat seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya dengan wanita tua di be
Evangeline bisa bernapas lega karena akhirnya ia bisa bekerja setelah enam bulan terakhir dia terus menutup diri di apartemen. Ia merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya, membuatnya butuh waktu lebih untuk menenangkan diri."Nona!" panggil salah satu recepsionis apartemen milik Evangeline.Evangeline yang baru saja melangkahkan kaki di lobby lantas menghampiri meja recepsionis."Iya.""Ada surat untuk Anda," ucap petugas itu langsung menyodorkan amplop berwarna coklat.Evangeline melihat alamat pengirim yang tertera di bagian belakang amplop. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia lantas berterima kasih baru kemudian menuju lift untuk bisa segera naik ke unit apartemen miliknya.Evangeline menaruh tasnya, ia lantas duduk di sofa dan mulai membuka amplop itu. Tertulis jelas jika itu dari 'Philadelphia'."Akhirnya," gumamnya.Menaruh kertas yang ia baca, Evangeline memilih pergi ke kamar mandi. Wanita itu menanggalk
Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan."Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya."Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan."Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah."Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara m
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas