“Maaf, apa Anda Pak Keenan Setyawardhana?” tanya Gladys gemetar.
Laki-laki itu menyeringai ketika Gladys menyebutkan namanya. Dia menggulung lengan bajunya sampai sikut. “Akhirnya kamu tahu siapa saya,” jawab Keenan yang tidak pernah beranjak dari hadapan Gladys.
Ah, ternyata laki-laki ini adalah pemilik rumah yang tadi sedang dia bersihkan. Gladys masih menatap wajah Keenan yang nampak sinis memandangnya.
“Pak, kenapa saya diikat seperti ini? Apa salah saya?” tanya Gladys, yang mencoba mencari tahu alasan dirinya bisa berakhir di tempat seperti ini.
“Salah saya?” cibir Keenan. Saya yang dia maksud tentu saja Gladys, dia hanya mengulang ucapan gadis itu. “Kamu masih bertanya apa salahmu, hah?” sentaknya.
Dug!
Keenan tiba-tiba menendang kaki kursi yang sedang diduduki oleh Gladys.
“Aww!” ringis Gladys. Bukannya menjawab pertanyaannya, Keenan malah membuat Gladys tersentak dan terkejut.
Memangnya apa salah Gladys, sampai dia diikat seperti ini? Matanya kini mulai berkaca, namun dia berusaha untuk tidak menangis. Dia harus bisa bertahan dan tak terlihat lemah. Sebisa mungkin, Gladys harus bisa menyembunyikan rasa takutnya di depan Keenan.
Keenan tiba-tiba menekan pipi Gladys keras. Lagi-lagi Gladys tersentak dan merasakan sakit. Dia melihat tatapan Keenan yang menusuk. Dingin. Kini rasa dingin di tubuhnya semakin menjadi. Wajahnya juga sekarang sudah mulai memucat, saking takutnya.
“Katakan, siapa yang menyuruhmu, hah?” tanya Keenan dengan penuh penekanan.
Dahi Gladys berkerut. Menyeruhnya? Maksudnya menyuruhnya merapikan kediaman Keenan? Tentu saja bosnya! Siapa lagi?
“Jawab! Kamu punya mulut, kan?” sentak Keenan yang semakin menekan pipi Gladys.
“Sa-sakit!” ringis Gladys.
“Cih!” Keenan membuang ludah, dia kesal karena gadis ini tak menjawab pertanyaannya. “Jawab! Bukannya merengek, bodoh!” hardik Keenan, dia memberang. Wajahnya kini merah padam. Dia tidak suka dengan perempuan yang tak menurut padanya.
“Sa-saya tidak mengerti ma-maksud, Bapak,” jawab Gladys mendadak gagap, nyali Gladys kini menciut.
Keenan mendengus. “Apa? Kamu tidak mengerti maksud saya?” tanya Keenan dengan nada yang meninggi. “Apa kamu bodoh, hah? Saya hanya bertanya, siapa yang menyuruhmu!” Keenan memberang, dia melepaskan cengkraman pada pipi Gladys dengan kasar.
Gladys menelan salivanya. Padahal hari ini adalah hari pertamanya mendapatkan tugas membersihkan sebuah rumah. Biasanya dia hanya ditugaskan membersihkan tempat umum dan kumuh.
Saat mendapatkan tugas di sebuah rumah, Gladys merasa senang sekali. Bahkan dia ingat senyumannya saat itu mengembang sempurna. Bagaimana tidak senang? Bayaran membersihkan rumah itu bisa dua kali lipat. Bahkan untuk rumah mewah seperti milik Keenan ini, bisa tiga kali lipat lebih besar dari biasanya.
Ya! Gladys adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan cleaning service. Itu adalah pekerjaannya di pagi sampai sore hari. Dia sendiri baru bekerja selama satu bulan di perusahaan tersebut. Namun tiba-tiba ia bisa mendapatkan kesempatan emas seperti ini. Biasanya untuk ukuran karyawan baru, atasannya tidak pernah memberikan tugas untuk membersihkan sebuah rumah. Dia berharap uang hasil kerjanya ini bisa ia kirimkan ke kampung, untuk mengobati biaya pengobatan ibunya yang harus cuci darah dua minggu sekali.
“Saya hanya ditugaskan untuk membersihkan rumah Bapak oleh bos saya,” ucap Gladys sambil terisak. Percuma saja rasanya dia menyembunyikan rasa takut di hadapan Keenan. Akhirnya Gladys menitikan air matanya, karena dia sudah merasa tertekan dengan aura Keenan yang sangat mengintimidasinya.
“Siapa bosmu?”
Gladys diam tak langsung menjawab. Tentu saja bosnya di tempat kerja. Memangnya siapa lagi?
“JAWAB!” sentak Keenan. Dia tak suka jika lawan bicaranya tidak segera menjawab pertanyaannya dengan cepat.
“Bos Farhan. Atasan saya di tempat kerja, Pak.”
Keenan menganggukkan kepalanya, lalu menggertakkan rahangnya. “Terus, kenapa kamu menyentuh sesuatu yang tidak boleh kau sentuh?” tanyanya lagi.
Gladys terperanjat. Maksudnya apalagi? Memangnya apa yang tidak boleh dia sentuh? Rasanya dia hanya menjalankan instruksi yang diberikan oleh bosnya.
“Maksud Bapak apa?” tanya Gladys.
Keenan menghela napas, lalu dia menggeleng. Apa gadis ini benar-benar bodoh? Keenan kesal ketika Gladys menimpalnya dengan pertanyaan lagi, bukan dengan sebuah jawaban. Keenan berjongkok di depan Gladys. Telapak tangannya yang besar kini menyentuh pipi Gladys. Kemudian dia menepuk-nepuk pelan pipi Gladys.
“Apa saya harus mempelakukanmu lebih kasar lagi, supaya kamu segera menjawab? Saya butuh jawaban! Bukan sebuah pertanyaan!” tegas Keenan sambil mentap Gladys tajam. Tatapannya itu jelas memperlihatkan Keenan yang sedang marah.
“Ja-jangan, Pak,” jawab Gladys sambil menggeleng cepat.
“Ya sudah, makanya jawab! Kenapa kamu menyentuh dan mencoba membuka brankas yang ada di ruangan saya, hah?” tanya Keenan. Dia mengelus pipi Gladys pelan, namun sentuhannya itu berbeda dengan tatapan matanya yang terlihat mengintimidasi.
“Saya tidak pernah memerintahkan para petugas cleaning service untuk masuk ke ruangan saya! Tapi kenapa kamu malah masuk ke sana?” imbuh Keenan
Gladys akhirnya menjawab. “Saya hanya menjalankan perintah. Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa tanyakan langsung pada bos saya,” isaknya. Air mata kini sudah membanjiri pipi Gladys.
“Cih! Alasan!” Keenan seolah tidak mempercayai ucapan Gladys. “Kamu pasti dikirim oleh Aidan, kan?” tanya Keenan menyembutkan nama yang tak asing di telinga Gladys.
Mata Gladys membulat ketika Keenan mengucapkan nama Aidan. Kenapa dia mengenal Aidan? Ada hubungan apa Keenan dengan Aidan? Dan … kenapa dia berkata seperti itu? Dikirim oleh Aidan? Maksudnya apa? Semakin ke sini, Gladys semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Keenan.
‘Oh, Tuhan. Tolong aku.’
Kesal. Keenan merasa kesal karena Gladys tak segera menjawab pertanyaannya. Dia sudah cukup bersabar pada gadis itu. Kemudian dia beranjak dan berjalan ke belakang Gladys.
“Saya tidak suka dengan orang yang tak segera menjawab pertanyaan dari saya!” ucap Keenan. Kemudian tiba-tiba dia membekap Gladys denga kuat.
Gadis itu meronta. “Mmmhh!” pekiknya mencoba melawan pada Keenan. Namun … semakin Gladys meronta, semakin kuat pula bekapan dari laki-laki itu.
Sesak. Kini Gladys merasakan sesak. Dia membutuhkan oksigen sekarang. Lama kelamaan Gladys sudah tak sanggup memekik dan meronta, tenaganya habis. Kini tubuhnya melemas, dadanya sesak, dan … pandangannya mulai terasa kabur. Tak lama kemudian semuanya terasa gelap.
BERSAMBUNG ….
“Sudah bangun?” Suara bariton itu seolah menyapa Gladys yang baru saja membuka mata.Gladys menyipitkan matanya, mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang dia terima. Cahaya di ruangan itu sedikit lebih terang dari sebelumnya. Dia mulai menggerakkan kepalanya, mencoba memindai tempat tersebut.Sebuah kamar. Gladys menebak dirinya sedang berada di sebuah kamar. Pasalnya dia bisa melihat nakas, pendingin ruangan, lampu hias, dan ... ah kepalanya masih terasa pusing. Dia tak bisa memindai terlalu banyak.Setelah selesai memindai gadis itu baru sadar bahwa kondisinya masih sama seperti sebelumnya, terikat. Namun saat ini dia sudah tidak terikat pada kursi. Melainkan dia terikat di atas ranjang dengan posisi telentang. Tangan dan kakinya terikat tali yang diikatkan pada ujung ranjang.‘Apa lagi ini?’ batin Gladys. Kenapa dia masih diikat seperti ini? Jangan tanya bagaimana perasaannya. Sudah barang tentu dia terkejut dan merasa takut.
TOK. TOK. TOK.“Keenan ini aku, Erza,” ucap seorang laki-laki dari balik pintu kamar.“Ck!” Keenan berdecak kesal, ketika ada yang hendak mengganggunya. Padahal dia sudah tak sabar untuk menyiksa Gladys lebih dari ini. Dia merasakan beban yang sedang dia pikul sedikit demi sedikit hilang, ketika ia berhasil membuat seorang perempuan menderita.“Ada apa?” tanya Keenan sambil beranjak dari posisinya. Kakinya kini menyentuh dasar lantai dan berjalan ke arah pintu.Gladys menghembuskan napas lega. Akhirnya Tuhan mendengarkan permohonan kecilnya. Dia mengirimkan seseorang untuk menghentikan aksi bejad Keenan.Keenan membuka pintu kamar dan segera keluar. Kemudian dia langsung menutup pintu tersebut, tak ingin Erza mengintip ke dalam sana.“Aku sudah memastikan bahwa gadis itu tidak bersalah,” ucap Erza to the point. Laki-laki itu tahu betul bahwa Keenan tak suka dengan yang namanya basa-basi.
“Gila!” seru Erza saat mendengar ucapan dari Keenan.Erza tahu betul bagaimana sikap dan sifat sahabatnya. Hampir dua belas tahun dia mengenal Keenan. Dari mereka umur 16 tahun sampai sekarang berumur 28 tahun.Keenan Setyawardhana adalah laki-laki yang sangat tidak respect kepada kaum hawa. Dia merasa para wanita itu adalah sampah! Selain itu Keenan memiliki trauma masa kecil, yang dia sendiri tidak ingin mengingatnya.“Sejak kapan aku tidak gila, Erza?” timpal Keenan dengan puas. “Sudahlah, kamu lebih baik istirahat. Terima kasih sudah memberikan informasi yang berharga,” imbuhnya sambil menepuk pundak sahabatnya itu.“Terus bagaimana dengan gadis itu?” tanya Erza khawatir.“Itu biar aku yang urus,” tandas Keenan, kemudian dia berlalu meninggalkan Erza yang masih terdiam di tempat.***Dingin. Gladys merasakan udara dingin mulai menembus pori-pori kulitnya, bahkan menembus
“Berikan tanganmu!”Keenan mengeluarkan alkohol dan obat-obatan dari nakasnya. Kemudian meminta Gladys untuk memberikan tangannya. Keenan berniat untuk mengobati luka yang ada di tubuh Gladys. Namun sayang dengan cepat Gladys menggeleng. Dia ketakutan, meringkuk sembari menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.Kesal, akhirnya Keenan langsung menarik paksa salah satu tangan Gladys, dan sukses membuat gadis itu tersentak. Keenan langsung membersihkan luka pada pergelangan tangan Gladys menggunakan alkohol dan kapas. Kemudian dia memberikan obat pada luka-luka itu.Gladys hanya bisa mengatupkan bibirnya. Perasaannya kini campur aduk. Antara takut, bingung dan heran dengan hal yang sedang dilakukan oleh Keenan. Mengapa laki-laki ini mengobati dirinya? Bukannya dia yang membuat Gladys terluka? Kenapa harus repot-repot?“Sudah selesai,” ucap Keenan yang baru saja mengobati luka di tubuh Gladys. Gadis itu hanya menelan salivanya, merasa
“Ini upahmu selama bekerja di sini,” jawab Farhan.Gladys menautkan alisnya. Dia mencoba mencerna kalimat yang terucap dari mulut atasannya itu.“Mulai besok kamu tidak usah datang lagi ke sini,” jelas Farhan. Ucapannya itu seolah menegaskan bahwa apa yang baru saja dipikirkan oleh Gladys adalah benar. Dia sepertinya dipecat dari pekerjaannya.“Maksud Bapak apa? Saya dipecat? Kenapa? Apa karena insiden kemarin di rumah Pak Keenan?” cecar Gladys merasa tidak terima dengan pemecatannya.Farhan hanya mengangguk-anggukan kepalanya.“Kok begitu, Pak? Saya rasa, saya tidak melakukan kesalahan. Kemarin saya melakukan sesuai instruksi Bapak. Kenapa saya malah dipecat?” keluhnya dengan nada bicara yang sedikit meninggi. Gladys sedang menuntut keadilan baginya. Hatinya kini merasa sangat kesal dan juga marah.Laki-laki itu beranjak dari kursi kerjanya, lalu berdiri tepat di depan Gladys. Dia memegang ked
Tidak usah ditanya bagaimana perasaan Gladys saat ini. Tentu dia sedang merasa sangat amat terpuruk. Bagaimana tidak? Dalam satu hari dia kehilangan dua pekerjaannya sekaligus. Kali ini dia tidak tahu harus mencari pekerjaan ke mana lagi. “Aku harus bagaimana?” lirih Gladys sambil menyeka air matanya. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan beberapa hari terakhir ini. Ini semua gara-gara Keenan! Tiba-tiba hati Gladys bergejolak ketika mengingat wajah laki-laki bengis itu. Ingin rasanya melakukan balas dendam, tapi siapa Gladys? Dia mungkin hanya sebatas plankton, jika dibandinngkan dengan Keenan yang kaya dan memiliki kekuasaan. Mata Gladys terasa berat. Perlahan dia memejamkan matanya. Gladys harus tidur, sejenak melupakan masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Walau saat terbangun, masalah ini tidak dengan tiba-tiba selesai begitu saja. Setidaknya dia beristirahat sejenak dari kejadian yang sudah dia alami dua hari ini.
Gladys membelalakan mata, tatkala melihat laki-laki yang sedang duduk dengan wajah angkuh di depannya. Sudah hampir dua pekan pasca kejadian sial itu, sampai akhirnya dia harus kehilangan pekerjannya. Rekam kejadian pada malam itu masih membekas di otak bahkan hatinya. Tiba-tiba saja Gladys merasa kesal dengan kedatangan laki-laki itu. Apalagi mulutnya yang seolah tak memiliki fitur filter itu, berucap hal yang membuat hati Gladys bagai ditetesi perasan lemon. ‘Apa? Calon gelandangan, katanya?’ Walau dalam hati Gladys kesal, tapi entah kenapa dia tak berani untuk bersuara. Tiba-tiba saja dia mengingat bagaimana ekspresi wajah bengis Keenan, ketika kala itu mengikat dirinya. “Maaf saya harus pergi,” ucap Gladys sambil beranjak. Dia tak ingin berduaan bersama Keenan. Lagi pula, sedang apa dia di sini? Ini bukan tempat yang cocok untuk seorang CEO seperti Keenan. “Memangnya kamu punya tempat tujuan?” tanya Keenan dengan nada mencibir. Tidak! Tent
Harap bijak dalam membaca bab ini.Happy Reading~***Gladys bergeming dengan pupil mata yang bergetar. Oh, tidak! Dia tak ingin diikat lagi oleh Keenan, sama seperti hari itu. Tapi dia juga tak ingin melepaskan baju yang sedang dikenakannya. Seketika Gladys merasa bimbang, tetapi dia harus segera memilih. Jika tidak … Keenan pasti akan menghukumnya. “Ba-baik, akan sa-saya lakukan,” ucap Gladys gagap. Untuk seketika Keenan melepaskan cengkraman pada tangan Gladys, dan gadis itu mencoba membuka bajunya dengan tangan gemetar.Gladys menelan saliva, dia memejamkan matanya untuk menahan rasa malu. Akhirnya baju itu terlepas dari tubuh Gladys dan langsung memperlihatkan kulit putih dan mulus miliknya. Dia enggan untuk bertatapan dengan Keenan. Alhasil dia langsung berjongkok, mengelap lantai yang berceceran dengan kopi yang tumpah.“Berdiri!” perintah Keenan lagi saat Gladys