Annabele langsung pulang setelah Cristian pergi meninggalkannya, gadis itu terus bertanya-tanya kenapa sikap atasannya berubah.
"Aku pulang!" Annabela masuk dan langsung duduk di sofa.
"Baru pulang, kamu lembur?" tanya Samantha.
"Tidak, tadi habis makan dengan Sam." Annabele bicara seraya menatap telapak tangan kiri yang terluka.
Samantha yang kebetulan sedang di dapur, menghampiri Annabele di ruang tamu. Wanita itu terkejut saat melihat luka di tangan Annabele.
"Tanganmu kenapa?" tanya Samantha seraya meraih tangan Annabele.
"Tadi jatuh," jawab gadis itu sedikit meringis karena luka perih di tangan.
"Kamu ini, sudah besar juga masih bisa terjatuh."
Samantha berdiri dan kembali ke dapur mengambil air bersih untuk membersihkan lupa Annabele.
Annabele menatap sapu tangan yang diberikan Cristian, pikirannya benar-benar tak bisa mengabaikan tentang hal yang terjadi belakangan ini.
"Lain kali hati-hati, An." Samantha membersihkan luka Annabele perlahan.
"Ya, Ma. Ini tadi juga nggak sengaja," kata Annabele.
Samantha menghela napas berat, tatapannya tertuju pada telapak tangan Annabele yang terluka. Tanpa terasa buliran kristal bening luruh dari kelopak mata.
"Ma, kenapa menangis?" tanya Annabele yang merasa heran.
"Tidak, tidak apa-apa. Lain kali hati-hati, oke!" Samantha mengusap sisi wajah Annabele, mencoba tersenyum dan berusaha untuk tidak menangis, hingga kemudian berdiri dan meninggalkan Annabele setelah selesai mengobati.
Annabele menatap telapak tangan yang terluka, dirinya selalu merasa heran ketika Samantha tiba-tiba menangis saat melihat dirinya terluka. Sedangkan setiap bertanya kenapa, Samantha akan menjawab kalau tidak ada apa-apa, membuat Annabele terus penasaran tapi takut bertanya lebih jauh.
Annabele kembali ke kamar, duduk di kursi depan komputer dengan tatapan kosong. Ia memikirkan tentang Cristian, keanehan yang dirasakan setelah bertemu dengan pria itu.
"Mimpi itu, kecelakaan yang hampir terjadi."
Semua hal itu, juga apa yang ada di dalam diri Cristian membuat Annabele penasaran dan ingin tahu lebih.
"Mungkinkan dia benar-benar membawaku terbang malam itu, kemudian menolong dan menghindarkan dari kecelakaan, lantas kenapa matanya sering sekali berubah, hingga kulitnya terasa begitu dingin."
Annabele menatap tangan yang menyentuh kulit tangan Cristian tadi, sedikit memiringkan kepala ketika mencoba mencerna semua yang diketahuinya.
"Apa mungkin dia bukanlah seperti yang aku kira? Mungkinkah?"
Annabele menggigit ujung kuku jempol, merasa butuh jawaban atas semua pertanyaan yang berputar di kepala. Ia menyalakan komputer, mencoba mencari info di situs peramban dengan hal-hal yang dicurigainya. Annabele membaca situs yang memberikan informasi tentang isi sebuah buku kuno di mana di dalamnya terdapat artikel tentang hal yang sedang dicarinya.
Annabele mencari beberapa hasil kemungkinan dari ciri-ciri yang diketahuinya, semua yang dibacanya terlihat tak masuk akal.
"Tidak, itu hanya mitos." Annabele menutup permukaan bibir dengan kepalan tangan.
"Mungkin hanya kebetulan, mereka mitos dan tidak benar-benar ada di dunia ini. Ya, mungkin itu hanyalah sebuah kebetulan."
Annabele terus mencoba memungkiri apa yang diketahui, tak mau menganggap kalau itu benar, karena semua yang dibacanya terasa tak masuk akal, bagai membaca sebuah buku dongeng dari masa lalu.
"Dia bukan vampir, karena vampir tidak ada."
Annabele mencoba mengelak, memilih mengistirahatkan raganya karena lelah, terlebih dengan kejadian yang hampir menimpanya.
-
Malam itu, angin berembus sedikit kencang. Ranting pepohonan bergerak seakan mengetuk kaca jendela.
Samantha terlihat sudah terlelap, tapi dahinya berkerut seakan sedang memimpikan sesuatu yang buruk. Bahkan menggelengkan kepala seakan sedang merasa takut.
"An, Anna."
Di alam bawah sadar Samantha. Wanita itu terlihat berjalan bersama beberapa petugas polisi, terlihat air muka panik di wajah wanita itu.
"Anna! Anna!" teriak Samantha, memanggil sang putri.
"Kita berpencar!" Salah satu polisi menginstruksi.
Samantha saat itu masih terlihat muda, wanita itu begitu cemas mencari keberadaan sang putri di tengah pekatnya malam.
"Anna! Honey!" teriaknya berulang.
Petugas polisi membantu mencari, mereka menyisir jalan hingga gang kecil yang ada di daerah itu.
"Kami menemukannya!" teriak salah satu polisi.
Samantha langsung berlari dengan cepat ketika mendengar teriakan polisi yang membantu, hingga wanita itu tak percaya dengan yang dilihatnya.
"Anna!"
Samantha yang merasa bermimpi sangat buruk, lantas terbangun dengan keringat yang bercucuran.
"Ini hanya mimpi." Samantha mengguyar kasar rambutnya ke belakang. "Ya, ini hanya mimpi." Kembali bergumam untuk meyakinkan.
-
-
Annabele berangkat ke kantor seperti biasa, tapi hari itu pikirannya terasa kacau karena dugaan yang terus berputar di kepala. Ia masih memikirkan tentang Cristian, entah kenapa merasa tertarik untuk mengulik meski dirinya baru kenal dan pria itu adalah atasannya.
"An!" sapa Sam yang sudah berdiri di samping Annabele, bahkan menepuk pundak gadis itu.
Annabele terkejut ketika Sam menyapanya, tapi mencoba mengulas senyum pada pria itu.
"Oh hai," sapa balik Annabele meski sedikit kikuk.
Sam mengulas senyum ketika Annabele membalas sapaannya, hingga tatapan tertuju pada telapak tangan Annabele yang dibalut plester.
"Tanganmu kenapa?" tanya Sam.
Annabele langsung menatap telapak tangan, sebelum tersenyum kecil.
"Luka kecil, semalam tak sengaja jatuh," jawab Annabele yang kemudian memilih mengepalkan telapak tangan itu dan menyembunyikan di sisi tubuh.
"Kamu jatuh? Kok bisa?" tanya Sam yang tampak cemas.
"Aku jalan kurang hati-hati, kakiku menginjak kerikil dan akhirnya jatuh. Hanya luka kecil," jawab Annabele.
"Lain kali hati-hati." Sam mengusap pucuk kepala gadis itu.
Julie yang baru saja datang, langsung melihat pemandangan Sam yang mengusap pucuk kepala Annabele, hingga kemudian melewati tanpa menyapa.
"Julie!" panggil Annabele.
Namun, Julie seakan enggan melihat dan berpura-pura tak mendengar, membuat Annabele merasa keheranan.
"Kenapa Julie tidak menyapa kita?" tanya Annabele menatap punggung temannya yang sudah berlalu.
"Apa dia tidak melihat kita?" tanya Sam balik, ikut menatap ke arah Annabelle melihat.
"Mana mungkin." Annabele semakin merasa aneh.
Akhirnya mereka menyusul Julie, hendak bertanya apakah ada masalah karena wajah temannya itu terlihat pucat.
-
-
Julie langsung duduk di kursi belakang meja kerjanya. Ia mengguyar kasar rambut seakan sedang frustasi.
"Julie, apa kamu baik-baik saja?" tanya Annabele seraya menepuk pundak temannya itu.
Julie terperanjat ketika mendengar Annabele bertanya, menoleh dengan sedikit mendongak agar bisa melihat wajah Annabele, sebelum akhirnya menatap ke arah Sam yang berdiri di samping Annabele.
"Tidak ada, aku hanya kurang istirahat." Julie kembali berdiri dan langsung pergi dari sana, membuat Annabele dan Sam merasa aneh.
"Bukankah sikapnya sangat aneh?" tanya Annabele.
"Ya, dia tidak seperti biasanya," jawab Sam.
Keduanya menatap punggung Julie yang berlalu menuju keluar dari ruangan mereka bekerja. Hingga Sam dan Annabele memilih segera ke meja mereka untuk mulai bekerja.
-
-
"Kenapa? Kenapa banyak orang yang melindunginya? Arghh!!!"
Julie hampir memukul kaca yang berada di toilet, gadis itu terlihat penuh dengan amarah. Ia menatap bayangan di pantulan cermin, hingga membuka sedikit kemeja yang menutup leher, sebuah tanda merah seperti memar terlihat di sana.
"Sial! Siapa pria itu?" Julie kembali menggerutu.
Julie mengingat kejadian semalam. Ia baru saja selesai berbelanja dan tengah berjalan menuju apartemen tempatnya tinggal. Namun, langkahnya terhenti saat melewati jalanan yang tidak memiliki penerangan, seseorang berdiri di hadapannya, tapi Julie tidak bisa melihat wajah pria itu.
"Siapa kamu? Minggir, jangan halangi jalanku!" bentak Julie.
Bukannya menyingkir, pria itu bergerak cepat hingga sampai di hadapan Julie, langsung mencekik dan mendorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok. Membuat barang bawaannya jatuh berserakan di tanah.
"Si-siapa kamu, apa maumu?" Suara gadis itu terdengar berat karena pita suaranya terasa tertekan.
"Kenapa kamu terus mencoba mencelakai Annabele? Apa maksud dari tindakanmu, hah?" Pria itu memberikan tatapan menusuk pada gadis itu.
Julie hanya bisa melihat cahaya di mata pria itu, tapi tidak bisa melihat jelas wajahnya karena matanya sedikit kabur, stock oksigen mulai berkurang di dalam paru-paru hingga tak bisa mengaliri otaknya.
"Katakan! Atau aku akan membunuhmu malam ini juga!"
"Ak-ku ti-dak ta-hu apa yang ka-mu bi-ca-ra-kan." Julie mulai kesusahan bernapas dan bicara.
Lehernya terasa sakit dan panas, ia benar-benar tidak bisa mendapatkan oksigen untuk paru-parunya.
"Hei! Siapa di sana!"
Seseorang terdengar berteriak ke arah mereka, membuat pria yang mencekik Julie langsung melepas dan pergi dari sana.
Julie langsung terduduk di tanah, memegangi leher yang terasa begitu sakit. Ia terbatuk-batuk dan berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya.
"Sial!" umpat Julie ketika selesai mengingat kejadian semalam. Ia sampai memukul wastafel menggunakan genggaman tangan.
"Tidak, tidak akan aku biarkan hidupmu senang, akan aku buat kamu menderita, bahkan kehilangan nyawamu."
Julie menatap bayangan dari pantulan cermin, terlihat senyum miring di wajahnya.
'Jika makhluk fantasi itu memang ada, lalu kenapa tidak ada yang tahu? Atau rupa mereka benar-benar menyerupai kita, sehingga kita tak pernah menyadari dan tahu akan hal itu.' Annabele baru saja mengambil paket dokumen di meja resepsionis. Pikirannya masih tertuju dengan artikel yang dibacanya semalam. Meski Annabele baru saja mengenal dan melihat Cristian beberapa kali, tapi entah kenapa merasa sangat tertarik dengan pria itu. Ada sesuatu di dalam diri Cristian yang membuat Annabele ingin mendekat. Pintu lift terbuka di lantai satu, Annabele cukup terkejut ketika mendongak untuk melihat siapa yang masuk. Cristian sudah berdiri di hadapannya, sendirian. Pria itu masuk dan berdiri di samping Annabele, membuat gadis itu lantas sedikit bergeser ke kanan untuk tidak terlalu dekat. Begitu pintu lift tertutup, Annabele sesekali melirik ke arah Cristian, "Jauhi temanmu!" Ucapa
"Lebih baik tidak sekarang." Cristian menarik telapak tangannya dari sisi wajah Annabele, mengurungkan niat yang ingin dilakukan.Annabele yang sudah memejamkan mata, lantas membuka dan menatap Cristian."Kenapa?" tanya Annabele yang sudah penasaran dengan yang sebenarnya terjadi."Tidak baik mengingatnya di sini, akan aku ingatkan saat berada di tempat yang lebih baik dan nyaman untukmu," jawab Cristian yang kemudian menepuk pelan pucuk kepala Annabele.Annabele menggelembungkan kedua pipi karena merasa diberi harapan palsu, padahal sudah sangat senang karena akan mengetahui segalanya."Dasar pembohong!" gerutu Annabele.Cristian gemas melihat Annabele yang mengelembungkan pipi, hingga menangkup kedua sisi wajah gadis itu."Aku janji akan memperlihatkannya, sekarang kembalilah ke tempat kerja. Ingat untuk waspada pada Julie," kata Cristi
'Jika memang aku harus mati karena sebuah kesalahan yang tak pernah aku sengaja, apakah aku rela? Apa aku rela menanggung beban kesalahan yang sama sekali tak pernah aku lakukan.' Annabele melihat dengan jelas peluru itu melesat ke arahnya, hingga terpaan angin itu menerpa wajah. Ia melihat Cristian yang sudah di hadapannya, satu tangan pria itu merangkul pinggang dan membuatnya terhindar dari peluru. "Ap-apa?" Julie begitu terkejut ketika melihat Cristian yang ada di sana, bahkan bisa membuat Annabele terhindar dari peluru. Cristian langsung menoleh ke arah Julie, menatap tajam dengan bola mata merahnya. Takkan membiarkan gadis itu melukai Annabele meski hanya seujung kuku. "Cris." Annabele bisa melihat amarah di tatapan Cristian. "Persetan dengan kalian!" Julie yang sudah diliputi amarah, benci, dan dendam, kembali mengarahkan mata pistol ke arah Cristian dan Annabele
Annabele hendak mengabaikan tentang taruhan yang dilakukan oleh Bastian dan Max, dia tetap tidak akan menerima hasil taruhan itu meski mendapatkan pemenang. Namun, Annabele tiba-tiba merasa gelisah, entah kenapa dirinya sangat cemas dan tak bisa tenang. Ia pun pergi ke bukit di mana Bastian dan Max melakukan balap mobil, tempat dengan banyak tikungan tajam dan jurang di sisi kanan dan kiri.Saat sampai di tempat itu, Julie ternyata ada di sana, temannya itu terlihat cemas dan khawatir. Hingga ketika dua mobil sudah tampak memasuki garis finish, Annabele melihat mobil Bastian yang memimpin balapan, saat itu Annabele tiba-tiba merasa lega karena setidaknya Bastian yang akan menang, hingga siapa sangka jika Max menabrak bagian belakang mobil Bastian, tepat saat mereka melaju di tikungan tajam, membuat mobil Bastian oleng dan berputar beberapa kali karena kerasnya benturan dan cepatnya laju mobil itu, sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan dan mobil itu terjun beb
"Cris." Annabele terkejut sampai memegangi dada, ketika melihat Cristian berdiri di dekat jendela dengan kedua tangan bersidekap.'Ba-bagaimana--" Annabele malah terlihat kebingungan, hingga menunjuk ke pintu dan jendela, seakan sedang mempertanyakan dari mana Cristian masuk."Kamu lupa siapa aku? Aku bisa masuk lewat mana saja," ujar Cristian yang berjalan ke arah ranjang Annabele dan duduk di sana.Annabele memutar bola mata, lalu meniup poni yang jatuh ke dahi ketika ingat siapa pria yang ada di kamarnya.Annabele meletakkan tas di kursi yang terdapat di kamar, kemudian duduk di samping Cristian.Cristian mengamati foto Annabele dan keluarga yang terpajang di atas nakas, membuat sudut bibirnya tertarik ke atas."Kamu masuk lewat jendela?" tanya Annabele memastikan, melihat kalau daun jendela terbuka."Ya, apa kamu mau aku lewat pintu d
"Kamu tidak tahu siapa aku, pergi dari sini atau kamu akan mati!" Cristian berusaha mengusir Annabele, tak ingin melukai gadis itu.Annabele memeluk kedua kaki yang sudah ditekuk, lantas meletakkan dagu di atas kedua lutut."Aku tidak takut mati, karena pada akhirnya juga akan mati," ucap Annabele dengan tatapan sendu.Bagi dia yang kala itu baru berumur 13 tahun, sangat mengherankan karena kematian memang tak menakutkan baginya. Pertengkaran kedua orangtua dan rasa sakit yang dideritanya selama bertahun-tahun ini, serta tak memiliki teman untuk bermain, membuat Annabele putus asa.Cristian membeliak mendengar ucapan Annabele, bagaimana bisa gadis itu bicara tentang kematian semudah itu. Ia menelan saliva saat semakin mencium bau manis darah gadis itu, masih berusaha menekan rasa haus agar tak menyakiti gadis kecil itu."Pergilah dari sini, aku benar-benar tidak bisa menahannya.
'Aku menyukai dekapannya meski tak terasa hangat, mungkin aku yang akan memberikan sebuah kehangatan untuknya.'Malam sudah semakin larut, Cristian masih berada di kamar Annabele. Ia duduk bersandar headbord, sedangkan Annabele duduk bersandar pada bahunya dengan jemari saling bertautan."Jika sepuluh tahun lalu aku memanggilmu dengan sebutan 'paman', apa aku sekarang juga harus memanggilmu seperti itu?" tanya Annabele yang tentu saja mengandung sebuah candaan. Ia menengadahkan wajah untuk bisa menatap ekspresi wajah Cristian."Jika kamu mau, aku tidak masalah," timpal Cristian untuk menanggapi candaan Annabele.Annabele tertawa kecil mendengar ucapan Cristian, hingga kemudian menatap ke arah genggaman jemari mereka."Kamu seorang vampir, tentu saja wajahmu tak berubah meski sudah bertahun-tahun lamanya, karena aku dengar kalau mahluk seperti kalian ini abadi. Katakan padaku, ber
'Saat aku cemas jika akan kesepian, ternyata ada dia yang kini menemani. Kini aku merasa seperti putri yang dijaga oleh seorang pangeran.'Udara dingin mulai menerpa, terdengar suara ranting tertiup angin dan mengetuk jendela. Annabele memeluk selimut yang menutup tubuh, hingga tersadar akan sesuatu. Ia membuka mata, melihat sisi ranjangnya yang kosong, Cristian sudah tidak ada di sana.Annabele mencoba membuka kelopak mata agar bisa terbuka sempurna, hingga memilih bangun dan duduk."Kapan dia pergi?" tanyanya dalam hati.Annabele mengedarkan pandanga, tapi tak melihat apa yang ingin dilihat, hingga memilih menengok jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul enam pagi. Annabele mengulas senyum, lantas turun dari ranjang untuk mandi dan mempersiapkan diri pergi ke perusahaan.--Annabele berangkat ke kantor menggunakan bus seperti biasa, hanya saja pagi ini dirinya terlih