Jika kamu tidak datang. Saya harap uang yang saya berikan bisa kamu kembalikan lagi!"
Sebuah pesan yang semakin membuat Rania terperangah mendengarnya.
Rania mendesah sebal. Tanpa banyak buang waktu ia beranjak dari duduknya dan bergegas untuk menyetop taksi yang akan membawanya ke rumah bossnya itu.
Sesampai di rumah Sakti, langkah Rania terhenti. Sudut matanya mengerut melihat Sakti yang berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya.
Apa yang sebenarnya ia perintahkan? tanya batin Rania berjalan menghampiri.
"Ada apa, Pak?" tanya Rania mencoba untuk tersenyum.
"Saya lapar. Tolong masakan makanan untuk saya!" perintah Sakti yang masuk ke dalam rumah begitu saja.
Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia tak habis pikir jika perintah bossnya membuatnya sangat kesal.
"Jadi, jauh-jauh dia menyuruhku datang ke sini hanya untuk masak makanan untuknya?" tanya Rania mendesah sebal.
Ya Tuhan, kenapa dia selalu mempersulitku? Dia kan orang kaya, kenapa dia tak makan di restoran atau memesan makanan, sih? gerutu batin Rania memicing menatap Sakti yang dengan santainya duduk di ruang tamu seraya mengotak-atik sebuah laptop.
Sakti mendongak. Sudut matanya mengerut melihat Rania berjalan tak semangat melintas di depannya.
"Rania!" sapa Sakti yang seketika menghentikan langkah asisten rumah tangganya itu.
"Ya," jawab Rania datar.
Sakti menghela nafas panjang. Dengan gayanya yang perfect, ia mulai menyilangkan kedua kakinya.
"Kenapa ekspresi kamu terlihat menyebalkan seperti itu? Apa kamu sakit?" Pertanyaan Sakti yang seketika membuat Rania terperangah.
Iya, Pak. Aku memang sedang sakit. Sakit hati karena lelaki yang sangat aku cintai. Dan seharusnya, saat ini aku memeluk guling kesayanganku dan menangis sepuasnya, Pak. Bukan malah melakukan perintah konyol dari bapak! gumam Rania yang tak mampu meluapkan emosi yang tertahan di dadanya. Rasanya sangat sulit untuk berucap di depan bossnya itu.
"Jika kamu sakit, kamu bisa pulang sekarang!"
Seketika, Rania tersenyum mendengar perkataan bossnya itu. Rasa sakit yang menyerangnya mulai sedikit memudar.
"Serius, Pak! Saya boleh pulang?" tanya Rania memastikan.
"Iya, kamu boleh pulang dan tinggalkan uang yang saya berikan padamu tadi siang!" ucap Sakti yang membuat senyum Rania menghilang.
***
Di rumah sakit, ayah sangat senang melihat Kevin datang menjenguknya.
"Bagaimana keadaan om saat ini?" tanya Kevin yang begitu perhatian. Jemari tangannya dengan lincah menyuapi ayah dari sahabatnya itu.
"Iya. Kata dokter, besok om sudah boleh pulang," jawab Om Hakim, ayah Rania.
"Bukankah kata Rania, om harus operasi? Kenapa besok pulang?" tanya Kevin penasaran.
"Operasinya akan dilakukan sebulan lagi. Jadi, om memutuskan untuk istirahat di rumah. Kamu tau sendiri kan, biaya rumah sakit per hari itu sangat mahal. Om tak mau menyusahkan Rania. Kasian dia!"
Kevin menegak salivanya dengan paksa. Ia tak menyangka jika sahabatnya benar-benar sibuk bekerja hanya untuk memberikan fasilitas terbaik untuk om hakim.
Ya Tuhan, Rania. Aku pikir, selama ini kamu selalu mengingkari janjimu karena menghabiskan waktu bersama teman-teman kamu, ternyata kamu benar-benar sibuk bekerja hanya untuk kesembuhan ayah kamu! kata batin Kevin menatap foto Rania dan om Hakim yang terpampang di meja rumah sakit.
Sesaat, Kevin menatap arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tepat pukul 21.00 WIB, ia sama sekali tak melihat Rania di sana.
"Lalu, ke mana Rania sekarang? Dari tadi, Kevin sama sekali tak melihatnya?" tanya Kevin penasaran.
"Biasanya jam segini ia pulang ke rumah," jawab om Hakim.
"Begitu, ya. Padahal, Kevin ingin memberikan sesuatu padanya," lirih Kevin menghela nafas panjang.
"Bukankah, tadi sore kalian bertemu?" tanya om Hakim yang seketika mengejutkan Kevin.
Sesudah membereskan pekerjaannya, Rania berjalan melangkah menghampiri Sakti yang sangat lahap makan makanan yang ia masak.
"Semuanya sudah beres, Pak! Saya pulang dulu," pamit Rania menunduk.
"Pulanglah!" jawab Sakti yang fokus dengan makanannya.
"Terimakasih, Pak!" Rania melangkah pergi.
Sesaat, Sakti menghentikan makannya. Ia menoleh menatap asisten rumah tangganya yang terlihat lesu dan tak ada semangat. Tak seperti biasanya, yang selalu terlihat ceria dan selalu pandai mencari alasan untuk menghidupkan suasana yang sunyi.
***
Rania menghela nafas panjang, hatinya terasa sangat sakit saat teringat kevin bersama wanita lain.
"Ternyata sesakit ini rasanya sakit hati," kata Rania seraya mengusap air matanya yang menetes. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat sakit seperti rasa sakit hati yang masih sangat membekas.
Rania mendongak. Menatap ke arah langit yang terlihat sangat gelap. Tanpa bulan ataupun bintang. Semilir anginpun mulai menerpa rambut panjang miliknya yang terurai.
Srek srek
Bunyi hentakan kaki mengejutkan Rania. Ia menunduk secara perlahan dan terbelalak kaget saat melihat dua orang preman berjalan menghampiri dirinya.
Sejenak, ia menatap tas miliknya yang masih menyimpan sedikit uang dari bonus kerjanya.
"Sial! Kenapa aku harus bertemu dengan mereka?" gumam Rania tersenyum tipis menatap dua lelaki yang sangat tak asing baginya. Dua preman yang merupakan anak buah dari pak Suga. Rentenir yang meminjamkan uang pada Rania sebelum Rania mendapatkan pekerjaan.
"Malam, Rania!" sapa mereka tersenyum seraya menopangkan kedua tangan di dada.
"Malam!" jawab Rania mulai melepas tali sepatu yang masih menempel di kedua kakinya.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu dan ayah kamu baik-baik saja? Sepertinya, penampilan kamu sekarang berubah," kata salah satu preman tersebut.
"Apa kamu sekarang menjual tubuh kamu?" sahut preman yang membuat keduanya terbahak-bahak.
Rania memicing. Bibirnya merapat menahan amarah akan ejekan yang terlontar dari mulut mereka.
Benar-benar keterlaluan! Andai aku tak punya hutang pada boss mereka, sudah aku plester mulut mereka ini! gumam batin Rania berdiri seraya menenteng dua sepatu hak tingginya itu.
"Kalian mau menagih uangnya?" tanya Rania menopangkan kedua tangan di dada. Menunjukkan betapa beraninya dirinya pada mereka.
"Jelas! Setiap kita bertemu berarti kamu harus membayar hutang."
"Aku akan membayarnya bulan depan. Jadi, jangan mengejarku ya?" gegas Rania berlari sekencang-kencangnya meninggalkan mereka berdua.
"Hey, jangan lari!" teriak dua preman tersebut mengejar Rania yang berlari begitu cepat. Untuk kesekian kalinya, Rania menggunakan keahliannya untuk kabur dari dua preman tersebut. Hampir satu kilometer Rania berlari menghindari kejaran mereka.
"Mereka masih mengejarku lagi!" gumam Rania berbelok ke arah supermarket yang masih buka. Dengan nafas tersengal-sengal, ia duduk mendekap tas dan kedua sepatu hak tingginya tepat di mobil mewah yang terparkir di depan supermarket.
Semoga saja mereka tidak menemukanku! kata batin Rania berharap.
Namun, tak sampai lima detik ia berucap. Ada sentuhan telapak tangan yang memegang bahu kanannya. Jantungnya kian berdetak kencang, keringat dinginnya mengalir mengimbangi dirinya yang tertangkap basah.
Tamat sudah riwayatku! ucap batin Rania memejamkan kedua matanya.
Tamat sudah riwayatku! ucap batin Rania memejamkan kedua matanya. Rania berdiri, kedua tangannya menyatu dan berbalik di hadapan mereka."Maafkan, ya? Aku tak bermaksud untuk kabur dari kalian. Aku akan ...," kata Rania terhenti."Kabur dari siapa?" Suara khas Sakti benar-benar membuat Rania seketika membuka kedua matanya.Kedua matanya terbelalak kaget saat orang yang di kira preman yang mengejarnya, ternyata adalah bossnya sendiri."Pak Sakti?" tanya Rania.Dahi Sakti mengerut. Kedua matanya tak berhenti menatap rambut Rania yang acak-acakan. Tubuhnya penuh keringat dan terlihat sangat kucel."Kemana larinya?" Rania dan Sakti menoleh menatap dua preman yang berhenti tepat lurus 100 meter dari mereka.Rania berpaling dan tanpa minta ijin terlebih dahulu, ia memeluk tubuh atletis Sakti dengan erat."Maaf, Pak. Saya benar-benar butuh bantuan bapak," ujar Rania menenggelamkan wajahnya tepat di dada bidang bossnya tersebut.Sakti menghela nafas panjang. Dan membiarkan dua tangan Rania m
Tidurlah! Aku akan mengantarmu pulang," kata Sakti menegakkan tubuh Rania. Sesaat, Sakti terkejut saat dua tangan Rania mencengkeram t-shirt yang ia kenakan dan melumat bibirnya dengan mesra.Hampir satu menit, Sakti membiarkan bibir Rania menguasai bibir miliknya. Kedua matanya tak mampu mengerjap. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat merasakan ciuman hangat dari bibir mungil milik asisten rumah tangganya itu."Sudahlah! Rasanya aku lelah," ucap Rania mulai tertidur pulas.Lamunan Sakti buyar. Senyumnya mengembang saat mengingat kejadian yang tak terduga antara dirinya dan Rania."Heh, bagaimana bisa aku membiarkan dia menciumku," ucap Sakti melipat bibirnya. Terasa masih membekas jelas ia rasakan. Matahari pagi mulai menampakkan cahayanya. Dengan wajah yang penuh semangat, om Hakim tak sabar ingin memberi kejutan pada putri tercinta."Kevin, kamu tak memberitahu Rania kan kalo om pulang hari ini?" tanya om Hakim mendongak menatap Kevin yang mendorong kursi rodanya."Tidak
Aku!" jawab Sakti yang seketika mengejutkan Mike."What?" Mike mengerling. Ia tersenyum sinis tak percaya mendengar perkataan konyol sahabatnya itu. "Hahahahhahha," tawa Mike seakan pecah begitu saja."Kenapa tertawa?" tanya Sakti."Kalo ingin mengerjaiku, please jangan sekarang! Hari ini, aku sangat pusing memikirkan wanita gila itu," tutur Mike mencoba meluapkan amarah, kesal yang tertahan di dada sejak kemarin."Wanita itu benar-benar gila. Bisa-bisanya dia selingkuh dengan lelaki lain, padahal selama ini aku selalu menurutinya, memperlakukannya seperti ratu. Tapi apa? Dia tega mengkhianati kesetiaanku!"Sakti menghela nafas panjang. Jemari tangannya menyatu seraya menatap wajah melas mike yang duduk di hadapannya. Keningnya mengernyit mendengar curahan hati Mike yang terbilang sangat panjang."Pokoknya, kalo kamu cari wanita harus lihat bibit, bobot dan bebetnya. Jangan asal-asalan! Bener-bener tak bisa di maafkan!" gerutu Mike mendesah sebal."Sudah bicaranya?" tanya Sakti menopa
Ya Tuhan, aku benar-benar melakukannya! Rania menggigit bibirnya. Ingatannya kembali dan sangat terasa jelas lumatan bibir Sakti kepada dirinya."Jangan pergi! Aku sangat mencintaimu," kata Rania melingkarkan kedua tangan tepat di pinggang sispex yang di miliki Sakti. Kepalanya bersandar manja di dada bidang yang mengeluarkan aroma khas yang sangat menghipnotisnya."Aku akan menemanimu!" Perkataan Sakti mulai terekam jelas dalam ingatannya."Tidak!" Teriakan Rania membuat sopir taksi menghentikan laju kendaraannya.Ssst Duk"Owh!" keluh Rania memegang kening yang menghantam bahu jok yang ada di depannya."Kenapa, Teh?" tanya sopir taksi itu menoleh ke belakang. Memastikan penumpangnya dalam keadaaan baik-baik saja."Kenapa teteh berteriak?" Rania tersenyum tipis. Ia baru menyadari teriakannya membuat sopir taksi itu terkejut."Tidak, Pak! Maaf, saya hanya teringat dengan baju saya di rumah. Padahal, besok saya harus memakainya tapi saya lupa tak mencucinya," ucap Rania meringis."Oh,
Haruskah aku dan dia melakukannya? tanya batin Sakti menyeringai.Di sisi lain, Rania tak berhenti mengerjap melihat wajahnya yang terpoles dengan make up. Berbalut kebaya putih di sertai dengan henna yang mempercantik kedua tangannya membuat aura kecantikannya kian terpancar."Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun kalian tak melakukannya, tapi tetap saja orang yang melihatnya akan berpikiran negatif," ucap Ayah kembali terlintas dalam benaknya."Kan hanya ayah yang tau! Dan Rania sangat yakin jika kami tak melakukan apa-apa, Ayah! Pak sakti hanya menemaniku di saat aku mabuk. Dan mungkin saja dia ketiduran sampai pagi," bantah Rania."Bagaimana dengan Kevin? Apa dia akan percaya jika kamu berkata seperti itu? Ayah pun juga tak percaya jika kalian tak melakukannya." Perkataan ayah seketika membuat Rania tercengang mendengar nama itu.Lamunan Rania buyar. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah layar ponsel miliknya. Berharap lebih, agar Kevin membaca dan membalas pesan yang ia ki
Dasar wanita aneh! gumam batin Sakti tersenyum tipis. Namun, senyum manisnya mendadak hilang saat Rania terbangun dan duduk menghadap dirinya."Pak Sakti, apa boleh saya bertanya sesuatu pada Bapak?" tanya Rania yang memperlihatkan keceriaannya kembali. "Bicaralah!" ujar Sakti yang tetap fokus pada layar laptopnya.Bibir Rania merapat. Kedua tangannya menopang di atas bantal yang ada di pangkuannya. Jemari tangannya juga tak berhenti meremas mengimbangi rasa tak enak yang datang menghampiri. Berpikir, seakan merangkai kata-kata yang tepat untuk di ucapkan pada atasannya itu."Kenapa? Apa kamu berubah pikiran? Jika tidak ada yang di bicarakan, tidurlah!" pinta Sakti menatap wanita yang saat ini resmi menjadi istri sahnya.Rania mendongak. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat aura ketampanan Sakti yang kian terpancar. Memakai kaos putih dan celana selutut. Dan untuk pertama kalinya, ia duduk santai berdua dengan atasan yang sangat menyebalkan baginya."Ehm ... Pak Sakti,
Bulan madu? Apa iya, aku dan dia akan bulan madu? tanya Rania dalam hati."Bagus! Ayah sangat senang mendengarnya. Dan kalian tidak usah khawatir tentang ayah. Kalo kalian pergi bulan madu, ayah akan menghubungi Kevin untuk menemani ayah di rumah!" tutur ayah terlihat begitu senang.Itu tak akan pernah terjadi, Ayah. Dan tak akan mungkin. Demi masa depan kami, kami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan kami setelah enam bulan lamanya! kata batin Rania seraya tersenyum manis di depan sang ayah tercinta.***Di perjalanan, Rania tak berhenti menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.Ia mendesah sebal saat terjebak macet di hari kerjanya."Kalo tau begini, aku tak mungkin turun dari mobil pak Sakti. Ya Tuhan, semoga hari ini aku tak bertemu dengan madam Sonya," lirih Rania menyandarkan kepala tepat di kaca jendela bus yang tertutup itu.Sesampai di tempat kerja, Rania berlari sekencang-kencangnya. "Jika kamu telat sekali lagi, madam tak segan-segan memotong gaj
"Selingkuh? Apa maksud kamu? Jangan bilang kamu selingkuh dan mengkhianati pak Mike?" Anggukan kepala Sarah membuat Rania menghela nafas panjang. Ia tak menyangka sahabatnya yang terkenal pendiam, malah berulah melebihi dirinya.Di dalam taksi, Rania seakan tak percaya dengan apa yang telah di lakukan oleh sahabatnya itu. Terkenal alim dan pendiam, itulah yang melekat di diri Sarah selama berteman dengannya."Bener-bener gila! Bagaimana mungkin dia membuang pak Mike yang selalu memanjakan dirinya. Padahal, segala kebutuhannya selalu di cukupi oleh pak Mike. Sarah-Sarah, seharusnya kamu bersyukur memiliki kekasih seperti dia. Penyanyang, perhatian, tampan, semua ada padanya. Hah, nggak seperti aku. Harus terpaksa menikah dengan orang yang suka memperlakukanku seenaknya!" gumam Rania menghela nafas panjang. Bibirnya melipat seraya menatap ke arah pepohonan di jalan yang seakan berlari mengejarnya.Drt ... Drt ...Getaran ponsel mengejutkan Rania. Sudut mata belonya menyipit melihat nom