Aku mahasiswa miskin yang mengandalkan beasiswa, aku pendek dan bertubuh gempal. Yup... hidupku sempurna. Aku cukup berbakat di dunia seni, khususnya di bidang lukisan. Aku berhasil mendapatkan beasiswa full-coverage dan bertemu dengan teman sejatiku, teman yang menyelamatkanku dari putus sekolah. Lindsay Robinson.
Lindsay Robinson adalah putri dari keluarga konglomerat asal Yunani. Ia cantik, tinggi, putih, dan dari atas ke bawah tubuhnya semua terpasang barang branded. Sangat bertolak belakang denganku. Ia mengambil jurusan business management untuk meneruskan bisnis ayahnya kelak, karena kakak dari Lindsay sangat tidak tertarik dengan dunia bisnis. Ia adalah seorang atlet, pemain sepak bola internasional. Bukankah itu luar biasa? "Rose... Rose...!" Suara seorang perempuan memanggilku dari belakang. Aku sekarang berada di area kampus, di depan fakultasku. Aku menoleh dan melihat Lindsay berjalan dengan wajah kesal ke arahku. Ia memakai setelan burberry dari atas ke bawah. Sahabatku yang satu ini memang lebih cocok sebagai seorang fashion model di peragaan busana merek high fashion. Tak ada yang melekat di tubuhnya yang bukan merupakan keluaran barang high fashion. Ia bahkan memakai sebuah tas yang lebih mirip keranjang ibu-ibu ke pasar... dan ia membelinya dengan harga 500 juta. Ya, dia memang segila itu."Rose Watson! Kau sungguh sahabat yang menyebalkan! Berani-beraninya kau tak hadir di acara ulang tahunku semalam! Aku menunggumu semalaman!" omelnya kepadaku.Aku memang tak memenuhi undangannya. Sebuah pesta ulang tahun yang kedua puluh. Lindsay menyewa sebuah klub mahal hanya untuk merayakan ulang tahunnya. Ia hanya mengundang sepuluh temannya—termasuk aku, dan kakak lelakinya. Si atlet sepak bola internasional dan memiliki gelar best butt of the year, ya betul, pantatnya indah. Benar-benar gila! Dialah yang menjadi alasan aku menolak datang di pesta itu. Karena dua nama tak bisa bersama, nama Rose dan David tak bisa berada terlalu dekat, kami membutuhkan jarak ribuan meter untuk saling hidup tenang dan damai. Seperti sebuah magnet yang bertolak belakang.David Robinson memiliki hobi memprediksi ukuran pakaianku yang ekstra size, juga memprediksi banyaknya persentase lemak yang tertimbun di tubuhku, ya, dia semenyebalkan itu."Aku masuk angin. He he," jawabku menyengir kuda. Otakku sedang memproses alasan paling epic untuk kejadian itu... dan kepala cerdas ini menghasilkan jawaban itu, masuk angin. Ya, aku memang cerdas!"Still... kau seharusnya mengabariku! Mengirim pesan atau apalah. Lagi pula kau bisa minum obat dan berangkat mengenakan jaket lalu menyewa taksi! Kau hanya making excuse!" tuduhnya. Dan memang ia benar, aku hanya beralasan. Ia bisa marah besar kalau aku mengeluarkan alasanku sebenarnya, aku tak mau bertemu David."Aku benar-benar sakit, Linds! Sorry..." rengekku dengan wajah paling menyedihkan yang kupunya."Kau nanti sore, wajib ke apartemenku. Aku sedang mempersiapkan acara pertunanganku dengan Rick, seminggu lagi di Ritz Carlton. Kau wajib datang, tak ada alasan apa pun, kalau perlu aku akan menyeretmu untuk datang," ancamnya dengan jari telunjuk mengacung ke arahku.Hmm, aku harus beralasan apa lagi? Semoga saja si pria seratus persen otot itu tidak ada. Ya... dia selalu membanggakan dirinya yang tak memiliki lemak barang satu persen pun, sedangkan aku memiliki lebih dari tujuh puluh persen lemak. Apakah aku pernah memastikannya? Tentu tidak... Geez! Merepotkan sekali. Sejak kecil aku sudah besar seperti ini, mau diet macam apa pun. Ya, seperti inilah tubuhku sejak lahir. Setidaknya aku pintar! Juga berbakat! Ya kan?"Apa pun yang terjadi, aku akan menyeretmu ke apartemenku. Aku akan menyuruh David membopongmu. Setidaknya ia bisa menggunakan otot-ototnya itu agar lebih berguna," keluh Lindsay dan membuatku tertawa terbahak-bahak."Let's eat. Aku lapar... kau mau kan mentraktirku? Minggu ini uangku belum cair," pintaku dengan tragis.Lindsay sudah tahu betul keadaan perekonomianku. Semester kemarin aku hampir saja putus kuliah, uang beasiswaku belum cair dan aku harus membayar semua biaya semester ini dalam jangka waktu dua hari. Lindsay adalah penyelamatku... ia membayarkan biaya semester ini."Thanks, kau menyelamatkanku semester ini. Beasiswaku entah kenapa lama sekali cairnya, aku mencari tambahan untuk hidup dari membuat ilustrasi freelance," ucapku di kantin. Lindsay membelikan dua porsi spaghetti. Saat kubilang dua porsi, bukan berarti untukku dan untuk Lindsay. Dia adalah tipe perempuan yang suka menyiksa diri, seperti sekarang, Lindsay lebih menikmati sebuah salad tanpa mayonaise sambil mendengarkan omongan sahabatnya dengan sabar."Gak masalah, itu uang David!" jawabnya enteng. Jawaban itu sontak membuatku hampir memuntahkan semua spaghetti nan nikmat yang masih kukunyah di dalam mulutku ini."Uang dia?! Kenapa baru bilang sekarang, sih?!" protesku."Waktu itu, cuma David yang punya uang cash sebanyak itu. Uang jajanku sudah habis, jadi cuma dia yang bisa kumintai uang. Lindsay tertawa.“Lagian kalau David, kamu nggak perlu bayar, uang dia banyak kok! Dia baru aja jadi brand ambassador dari brand celana dalam,” jawab Lindsay dengan ceria.
'Bagaimana ini? Aku sudah sering diledek oleh pria itu, dan sekarang dia juga yang sudah membayar SPP-ku. AGH!'Dengan tubuh lunglai aku berjalan pasrah ke apartemen Lindsay. Saat Lindsay bilang ia akan menyeretku... dia benar-benar, literally menyeretku ke tempat itu. And here I am, berjalan di belakang Lindsay masuk di lobi apartemen mewah menuju unit mewah miliknya. Aku sudah mengira pasti akan ada David di sana—berdasarkan ucapan Lindsay sebelumnya, David yang akan membiayai semua acara pertunangannya dengan Rick."Cheer-up, won't you? Kenapa kau terlihat seperti sangat terpaksa?! Ini untuk acara pertunangan sahabatmu! Setidaknya ceria sedikit!" protes Lindsay kepadaku saat berada di lift. Aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang sama terpaksanya dengan diriku saat ini. My worst... arch-enemy, aku akan bertemu dengan musuh bebuyutanku.Kami tiba di unit apartemen milik Lindsay, ia melenggang dengan santai dan meletakkan semua tas dan sepatunya dengan seenak hati, ia tak pernah pusing dengan urusan beberes ataupun mencuci karena semua a
Kunjunganku ke apartemen Lindsay berujung pada makan malam ekstra lemak yang menurut Lindsay semua dipesan oleh David. Entah maksudnya apa? Semua yang ia pesan adalah hidangan berlemak, mulai dari pasta dengan lumuran keju yang sangat banyak, sebuah casserole penuh daging dan sup daging. Ia memesan dua porsi kecil caesar salad dan ternyata dua salad itu diperuntukkan untuk David dan Lindsay."Sudah, makan sana! Kau kan suka makanan model seperti itu... berlemak! Lagian kau tak akan kenyang kalau memakan seporsi kecil salad sepertiku dan Lindsay!" ucap David yang sukses membuatku ingin menangis. Kenapa ia jahat sekali?Aku hanya duduk dan menatapnya datar. Ia benar-benar ingin melecehkanku."Linds, aku mau pulang!" ucapku tegas."Loh, why? Kau belum makan!" protesnya."Dan... diejek oleh pria ini?! Sudah cukup! Kau memang kaya dan bertubuh bagus, karier cemerlang! Ya, kau sempurna
Hari ini adalah Jumat, akan ada ujian penting hari ini dan terpaksa aku masuk kuliah—kemarin aku benar-benar tidur seharian. Sebenarnya aku tak terlalu fit hari ini, tapi apa boleh buat karena quiz hari ini adalah quiz terakhir sebelum ujian semester.Aku nekat berangkat. Aku mengambil celana bahan longgar dengan blouse berwarna hitam, kupakai kembali jaket super tebalku yang memiliki hoodie, setidaknya tubuh dan leherku terasa hangat. Aku berjalan kaki ke kampus, aku tahu jalur cepat dan hanya akan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, melewati kampung bergang sempit."Hem! Kau ke mana kemarin? Kenapa ponselmu tak diangkat!" omel seorang perempuan yang menyambutku di gerbang kampus. Ia memakai setelah serba pink, entah itu brand dari fashion house mana."Sakit," jawabku irit. "Ponselku hilang, waktu aku ke downtown untuk membeli peralatan lukis, aku dicopet.""Jangan bilang kau marah deng
Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima pe
Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis."Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek."Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya."Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis."Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah."Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku."Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Ak
Aku tersadar dengan bau antiseptik yang menyengat, tubuhku terasa habis dipukuli.Aku menoleh di sebelah kanan, ada David yang sedang bersandar di kursi tunggu rumah sakit dengan lengan kemejanya digulung sampai siku. Jadi aku di rumah sakit? Memang ada apa?"Kau sudah sadar?" ucap suara bariton yang paling kubenci. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Kau memiliki peradangan di lambung... setidaknya kau harus dirawat dulu baru bisa pulang.""Senin depan aku ada ujian di kampus!" ucapku horor, ini adalah pekan Minggu tenang ujian akhir semester. Berikutnya Adalah pekan ujian akhir semester."Be good. Jadi kau bisa ikut ujian hari Senin nanti. apa yang dikatakan dokter dan hentikan diet bodohmu itu! Kau hanya membuat tubuhmu menderita!" omelnya. Aku sedang sakit seperti ini, ia masih sempat-sempatnya memarahiku."Aku tidak die
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang wanita berusia setengah abad membawakan nampan dengan senyuman lebarnya ke dalam kamar yang kugunakan. "Selamat pagi... aku yang ditugaskan Tuan Robinson untuk memasak untukmu... aku Alice." Ia meletakkan mangkuk berisi bubur di nakas, juga obat yang harus kuminum. Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Alice." "Kau punya kekasih yang hebat dan baik," ucapnya lalu berjalan keluar. Wait... what? Kekasih yang baik? Maksudnya siapa? Dave?? Demi Dewa Ubur-ubur... jangan sampai itu terjadi! Aku tak rela hidupku ditindas oleh pria seperti dirinya! "Rose, kau bagaimana? Better?" Lindsay datang ke kamarku dengan pakaian trendy serba army. Ini hari libur kuliah dan ia sangat bergaya. Ini sudah memasuki pekan tenang menjelang ujian akhir. "Yes and no. Masih perih untuk menelan," jawabku tersenyum kecil. "Kau m
Aku jauh lebih sehat sekarang, dan hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semesterku. Selama ini aku tinggal di apartemen Lindsay dan dirawat oleh Alice. Ia memberiku makanan setiap dua jam sekali dan obat-obatan. Aku jauh lebih kuat dan ringan sekarang. Aku selesai mengerjakan semua ujianku hari ini sementara Lindsay sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, ia berjanji menungguku di parkiran. Here I am menunggu plus mencari Lindsay dan mobilnya. Aku mencoba menelepon ponselnya, namun tak diangkat. Sampai ada mobil putih berhenti di depanku. "Naik!" ucap suara pria saat jendela setengah terbuka. Aku menunduk sedikit untuk melihat siapa gerangan pria dengan suara menyebalkan itu. Dan bodohnya aku yang harus memastikan dengan mata dari indra pendengaranku... deep down aku sudah tahu kalau itu Dave. Ah, kenapa ia sudah pulang? Aku baru selesai menjawab semua e-mail penawaran iklannya dua hari yang lalu dan sejauh in