“Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b
Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu
Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.
Langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Ramalan cuaca memang menyebutkan jika hari ini akan turun hujan lebat. Di atas sana bahkan sudah terlihat kilatan-kilatan yang saling menyambar. Sepertinya benar, sebentar lagi langit akan menurunkan tetes-tetes air hujan.Allen menggenggam secarik kertas di tangannya. Duduk dengan kaki yang gemetar. Selama perjalanan menuju bandara hatinya dipenuhi perasaan takut, sedih, dan rindu yang sudah menggebu. Semua perasaan itu silih berganti. Bercampur menjadi satu. Membuat wajah cantiknya dilingkupi kegelisahan.Seharusnya dia tidak mengambil langkah ini karena hatinya merasakan takut, tetapi ketakutan itu terkalahkan oleh keinginan untuk berjumpa dengan seseorang. Sekadar melihat wajah lelaki yang teramat dia rindukan lima tahun belakangan. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.Bandara Sukarno Hatta.“Sudah sampai, Mbak,” ucap supir taksi se
Allen tidak berani mendongakkan kepalanya. Susah payah dia menelan saliva, kedua tangannya meremas ujung kaus yang dia kenakan.Bukankah ini suara Agra? Suara bariton ini jelas miliknya. Dalam dan lembut. Bagaimana jika Agra melihat wajahnya ada di handphoneku? Aku harus bagaimana? batin Allen.“Apa ponsel ini bukan milikmu?!” ucap Agra. Kali ini suaranya penuh penekanan.Allen semakin takut. Sekarang dia tidak lebih baik dari seekor siput yang melarikan diri. Bersembunyi di dalam cangkang yang rapuh.“I-iya, itu milikku.” Allen tetap menunduk, mengulurkan tangannya ke atas. Membuka telapak tangan selebar mungkin. Berharap Agra bersedia meletakkan ponsel di tangannya tanpa perlu keduanya bersitatap.“Bukankah tidak sopan jika berbicara tanpa melihat wajah lawan bicaramu? Terlebih lagi aku yang menolongmu menemukan benda sialan ini!” Agra menggo
Allen terbangun dengan rasa nyeri yang menjalar di sekitar punggung tangannya. Dia mengangkat tangannya dan mendapati jarum infus yang sudah tertancap di sana. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya lalu menatap langit-langit.Plafon putih dengan lampu di empat sisinya sudah bisa menjelaskan sedang ada di mana dirinya. Ranjang yang dia tiduri jelas sekali bukan ranjang miliknya. Dia harus tahu bagaimana dirinya berakhir di sebuah kamar di rumah sakit.Allen memutar kepalanya. Dia melihat seseorang sedang mengupas apel dengan wajah lelah. Rambut panjangnya yang tergerai dengan kacamata bulat yang duduk manis di pangkal hidungnya menampakan kecantikan alami dari seorang Alisa. Sahabat baiknya.“A-Alisa,” ucap Allen terbata. Masih dengan suara lemah. Dia berusaha menggeser tubuhnya, tatapi sepertinya masih terasa lemas.“Allen ... astaga! Akhirnya kau bangun.” Alisa bergegas bangun.
lima tahun yang lalu. Ketika semuanya bermula. Kisah pilu yang membuat Allen sering mimpi buruk.Allen adalah gadis yang begitu sombong dan arogan. Saat itu dia baru berusia dua puluh satu tahun. Usia dewasa seharusnya, tetapi perlakuan manja orang tuanya membuat Allen sering kali bertindak sesuka hati. Dia memang memiliki segalanya, uang dan kekuasaan dari orang tuanya.Sebagai anak dari keluarga Caitlin rasanya pantas jika Allen menjadi dambaan setiap lelaki. Parasnya yang cantik dengan gelar pewaris aset keluarga Caitlin membuat banyak laki-laki bersedia menjadi pendamping hidupnya, tetapi seorang Allen hanya mencintai satu laki-laki yaitu Agra Grissham. Cinta pertamanya ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.Sebagai wanita modern dia tidak malu untuk menyatakan cinta lebih dulu, tetapi hati agra tetap tidak bisa dia miliki. Di hati Agra hanya ada satu nama. Wanita yang teramat dia cintai.Sam
Setelah pertemuan keduanya, mereka sepakat untuk membatalkan pertunangan.Agra pikir setelah pertunangannya dengan Allen batal. Dia bisa kembali ke sisi Kinara. Kekasih yang sangat dia cintai. Ternyata tidak! Kinara tetap pada pendiriannya. Memilih melepas Agra.Sejak saat itu Agra menempatkan Allen sebagai orang yang paling dia benci. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Allen pun Agra tidak sudi.***Batalnya pertunangan mereka berakibat juga pada gagalnya penyatuan dua perusahaan raksasa.Allen pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata dia salah. Kenyataan yang lebih pahit harus dia rasakan.Allen kembali ke rumah mewahnya dengan perasaan hancur. Langkahnya tertatih. Wajah putih bersih itu terlihat semakin pucat karena terus menerus menangis. Bahkan ujung hidungnya memerah.Begitu masuk ke ruang keluarga.