“Aku tahu kau masih belum menerima tentang semua ini. Tapi aku mohon, jangan terlalu dipikirkan tentang pertunangan kita,” ucapnya.
Farrin menatap bola mata sehitam arang di hadapannya ini dengan tatapan menyelidik. Beberapa hari ini, ia memang terlalu memporsir tenaga untuk memikirkan pertunangannya. Hingga ia merasa jika badannya lebih ringan karena nafsu makan yang menurun. Juga, ia harus mempersiapkan mental untuk pernikahan yang akan dijalaninya kurang dari dua bulan mendatang.
“Aku tahu, mungkin aku sama sekali belum layak untuk menjadi pendamping kakakmu, Vian. tapi kau juga mengenalku dengan baik bahwa aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa layak bersanding dengannya. Lalu. apakah aku sangat kurang sempurna hingga Vian tidak mau aku bersanding dengannya dan memilih untuk pergi dariku, Vi? Selama ini aku yakin jika aku sama sekali tidak memiliki kesalahan yang fatal padanya.”
Pria yang duduk di depannya itu, Vian, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Melihat sebagaimana kacau wanita yang telah ia kenal sebagai orang yang dicintai kakaknya ini terlihat lebih kurus dari terakhir mereka bertemu seminggu yang lalu. Tak akan butuh waktu lama untuk menyimpulkan jika ia begitu terpuruk dengan apa yang tegah menimpanya.
Vian sempat tahu jika wanita di hadapannya ini memiliki rasa rendah diri karena merasa tak sehebat kakaknya. Namun, bukan itu permasalahannya. Ia bukannya tidak layak untuk bersanding dengan Avan. Tidak! Sangat layak malah. Bahkan ibunya sangat mengakui itu. Akan tetapi, lidah Vian terasa mendadak kelu bahkan untuk sekedar mengatakan jika wanita di hadapannya ini teramat layak untuk Avan.
Ah, ia jadi iri pada pria yang memiliki wajah serupa dengannya itu. Iri tentang bagaimana bisa ia mendapatkan wanita yang begitu mencintai hingga seperti ini.
“Maafkan aku.” Hanya kata itulah yang bisa Vian keluarkan dari bibirnya.
“Untuk apa kau meminta maaf padaku? Aku rasa kau tidak memiliki salah sama sekali. Jadi, aku mohon simpan kembali maafmu untukku karena aku tak layak untuk menerimanya,” ujar Farrin. Ia menunduk dan berusaha menahan sesak yang menggerogoti dada. Farrin tahu, lelaki itu berbeda dengan kekasihnya meski wajah mereka serupa.
Kekasih? Ah, mungkin lebih tepatnya sekarang sudah mantan karena meski tanpa kata perpisahan yang terucap, ia telah memutuskan jika hubungan mereka telah berakhir.
“Kau layak menerimanya. Karena aku salah telah menyembunyikan hal yang sebenarnya padamu dan tidak mengatakannya. Maafkan aku,” batin Vian. Tentu saja pemuda itu tak akan mengatakan hal yang sesungguhnya, karena ia telah diminta Avan untuk tutup mulut dalam masalah ini.
“Em, Vian. Boleh aku meminta pertolonganmu?” tambah Farrin.
“Selama itu bisa kulakukan, akan kulakukan.”
“Aku mohon tolong sampaikan isi surat ini pada Avan. Aku sudah beberapa kali mencoba menghubungi nomornya tapi tak aktif. Aku juga sudah beberapa kali mengiriminya surel dan lagi-lagi tak mendapat balasan hingga saat ini. Aku hanya ingin mengatakan pada Avan jika aku mencintainya dan aku tidak menyesal bertemu hingga mengenal dan berhubungan sampai sejauh ini. Bisa, kan?” tanya Farrin sambil menyodorkan selembar surat yang ia masukkan ke dalam amplop berwarna biru.
Vian hanya bisa mengangguk pelan dan mengambil surat itu. Ia memang masih memiliki kontak Vian. Bahkan, kakaknya itu juga menghubungi sehari sekali untuk sekedar mengetahui apa yang kekasihnya lakukan melalui Vian.
Vian terkesan lelah, ia ingin mengatakan langsung pada Avan untuk mengakhiri sandiwara ini dan menyuruhnya datang segera pada Farrin dan menjelaskan duduk permasalahan mereka. Namun, tentu ia yakin jika kakaknya tak akan melakukan apa yang ia sarankan begitu saja. Vian sangat mengerti jika saat Avan membuat keputusan, maka tidak ada hal yang bisa mengubahnya.
“Aku tak yakin. Aku juga belum bisa menghubungi kakakku secara langsung. Tapi, akan aku usahakan untuk menghubungi setiap kontak yang aku miliki.”
Bohong!
Dalam hati Vian banyak mengucap permintaan maaf karena ia telah membohongi wanita yang tengah menderita di hadapannya. Ia berharap semoga ia tak mendapat balasan atas perbuatan buruk itu.
“Terima kasih,” ujar Farrin tulus. Ia sedikit menyunggingkan senyuman dan mau tak mau hal itu membuat Vian memalingkan wajah karena ia merasa panas pada pipinya.
Hei, dia ini lelaki normal. Berhadapan dengan Farrin terlalu lama sangat amat tak baik untuk jantungnya. Ia tahu. Tak seharusnya ia begini. Bagaimanapun juga memiliki rasa pada calon kakak ipar itu merupakan hal yang salah, bukan? Vian menyadari itu. Ia juga tak ingin dirinya egois dengan mengharap apa yang bukan menjadi miliknya.
Boleh kita berikan tepuk tangan pada pria yang terlihat tegar ini? Di mana ia seharusnya terpuruk karena wanita pujaan yang akan menikah kurang dari dua bulan lagi dengan orang terdekatnya, akan menjadi keluarganya, dan hanya bisa ia pandang dari kejauhan saja, justru merasa tenang seolah tidak ada apapun. Bagi Vian, cukup hanya ia yang tahu kondisi hatinya, orang lain jangan.
Padahal, ibunya juga sudah mengetahui hal ini sejak lama. Hanya saja, Vian tak tahu.
“Aku juga sudah berpikir selama seminggu ini. Keputusanku sudah bulat, dan aku akan melangkah apa pun resikonya,” imbuh Farrin.
“Apa maksudmu?” tanya Vian. Ia mengernyit heran karena sama sekali mengerti akan apa yang wanita di hadapannya ini katakan.
Berpikir? Keputusan? Memangnya apa?
“Aku akan melepaskan Avan dan menerimamu. Jadi ayo,Kita belajar menjadi pasangan yang baik sebelum pernikahan kita terlaksana.”
Vian hanya bisa diam tanpa suara saat Farrin mengatakan hal itu. Ia tahu jika sekarang ini ia hanya peran pengganti kakaknya yang tengah menjalankan perusahaan peninggalan ayah mereka. Namun, ia sama sekali tak menyangka jika ia mendengar Farrin mengatakan hal itu.
Wanita itu, mengatakan akan menerima saja? Hey, ia tak salah mendengar, kan? Apakah kekasih kakaknya ini termasuk orang yang mudah membalikkan hati hingga berpikir seperti itu? Setahunya, Farrin adalah sosok yang teramat sulit untuk membuka hati. Terbukti dari perjuangan Avan dulu dalam menaklukkan hatinya. Kini, hanya dalam waktu seminggu wanita itu bisa menerima keputusan itu? Sungguh mencengangkan.
Dulu, ia berpikir jika Farrin tak akan menyetujui dengan mudah karena waktu pernikahan mereka akan berlangsung selama dua bulan setelah pertunangan. Waktu yang sedikit untuk membuat hati wanita itu luluh hingga ia merasa tenang-tenang saja menghadapinya. Avan tebak, Farrin dan kepala batunya akan mudah untuk dihadapi dalam hal ini. Jadi, ia bisa mempertahankan hati agar tidak semakin mencintainya.
“Aku melakukan hal ini bukan karena aku sudah tak mencintai Avan. Tapi, aku sudah berpikir puluhan, ah, tidak! Mungkin ratusan kali jika aku akan menerima ini begitu saja. Lagi pula, aku juga menyadari diriku. Mungkin suatu saat nanti Avan akan mendapatkan seseorang yang benar-benar setara dengannya. Jadi aku memakluminya. Aku mundur. Aku juga akan tetap pada tempatku yang sekarang yang menjadi tunangan dan menikah denganmu.”
“Tidak! Sama sekali bukan seperti itu yang Avan maksud,” batin Vian. ia ingin mengatakan jika Farrin sama sekali bukan seperti itu di mata kakaknya. Ia heran, sebegini hebat kah effect dari rasa kecewa yang diberikan kakaknya hingga wanita ini memilih menyerah begitu saja?
“Jadi, ayo kita menjalani hari sebagai pasangan yang semestinya. Aku akan menerimamu, dan kuharap kau menerimaku. Bisakah? Aku tak ingin mengecewakan orang tuaku lebih jauh lagi dengan menolak pertunangan ini. Maukah kau menerimaku dan menjalani waktu sebagai tunanganmu?”
Huh?
Vian tak bisa lagi menahan rasa keterkejutannya atas kalimat yang Farrin ucapkan kepadanya. Tak salah dengarkah ia? Bagaimana ini? Tak mungkin, kan, jika ia mengatakan kepada kakaknya jika kekasihnya mau menerima adiknya sebagai tunangannya? Mau dikemanakan nanti perasaan kakak kembarnya itu jika tahu kekasihnya tak lagi mengharapkannya?
“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu tela
Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi putra sulungnya itu dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat hatinya menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sbagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.“Ibu jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.” Begitulah jawaban yang di lo
Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.“Turunkan aku!” pekik Farrin.Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jik
Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.Ia tahu.Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pe
[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]Send“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah
Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu pe
Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dip
Vian pernah membayangkan jika kelak ia kencan, ia akan berpenampilan menarik dan terlihat menawan di hadapan pasangan kencannya. Saat ini, di kencan pertamanya, ia justru terlihat buruk karena penampilan setelah berkerja tak ia benahi. Tak ada baju rapi dan badan segar, yang ada hanya wajah dan baju yang kusut disertai dengan badan kumal tanpa mandi.Menyedihkan, ya.Namun, yang sama sekali tak ia sesali adalah bagaimana cara Farrin menjalankan kencan pertama mereka yang melebihi ekspektasi yang Vian inginkan. Farrin masih terlihat begitu menawan meski ia sama sepertinya yang kusut karena seharian bekerja. Melalui temaram lampu cafetaria di pinggir pantai itu, diam-diam Vian mengagumi paras Farrin. Ah, tidak. Ia memang selalu mengagumi paras Farrin. Lalu untuk malam ini, ia lebih mengaguminya.Farrin menjadi sosok sempurna dalam bayangannya. Tak ada kesalahan dalam kencan mereka, dan Vian sama sekali tak menyesal karena telah mengikuti ajakan Farrin untuk kencan