Share

3. Awal Seteru

“Ikat dia sebelum kabur! Sumpal mulutnya juga!”

‘Sial! Keberuntungan belum juga dipihakku. Ditangkap oleh ular licik ini.’

“Cih. Tutupi mukanya juga, aku tak tahan!” dengan bergidik ia menatapku yang memandangnya dengan dendam berkilat-kilat.

Aku berontak saat orang suruhannya memegangi tubuhku, namun staminaku yang telah terkuras kalah tanpa perjuangan berarti.

Suara sirine terdengar mendekat dari arah jalan raya, rasa bahagiaku terbit namun segera dipadamkan oleh jalang itu dengan menampar pipiku begitu kuat dan membuatku pingsan. Sayup-sayup aku mendengar, kaki tangan si jalang memintanya untuk bersembunyi menutup kepala dan menambatkan sekoci di bawah jembatan agar tak terlihat.

Kembali ke masa dimana masalah paling berat yang kuhadapi hanya seputar tugas dan laporan bulanan.

Sir Langdon con artist itu, adalah magnet kuat popularitas, siapapun yang berhasil masuk dalam lingkarannya akan terciprat kepopulerannya itu. Dan ia senang mengundang segelintir mahasiswa yang menarik minatnya ke perjamuan megah yang ia adakan setiap tiga bulan sekali di kediamannya yang mewah.

Terkadang, apa yang menarik baginya itu terlihat begitu random. Ia tak suka hal-hal mainstream. Cukup berhasil untuk membuat para mahasiswa bersinar dengan cara mereka masing-masing agar mampu memikat sang kunang-kunang. Akupun tak tahu apa yang membuat minatnya beralih padaku, si cupu asisten laboratorium mikrobiologi ini.

Dopaminku meningkat ketika suatu hari ia datang ke laboratoriumku sendiri tanpa Rene - asisten galaknya. Awalnya ia menanyakan tentang penelitian yang sedang kujalankan, yaitu seleksi beberapa kandidat khamir yang paling ampuh dalam mengurai gula.

Aku bercerita dengan menggebu-gebu, dan ia memperhatikanku dengan seksama tanpa menginterupsi dengan mata elangnya.

“Oh, maaf Sir. Aku terlalu banyak berbicara,” jedaku tersipu malu sembari menggigit bibir, khawatir.

Ada rasa gugup dan takut saat pandangan matanya yang lekat memperhatikan bibirku dengan pandangan.... sensual? Dan apa yang dilakukannya setelah itu, menyapu lembut bibirku dengan ibu jarinya.

Glek!

Si perawan yang zero pengalaman ini semakin berdebar tak karuan.

Clang!

Suara besi yang dijatuhkan dengan sengaja mengejutkan kami dari arah pintu.

Remi melihat kami dengan pandangan marah. Aku menjauh dari Sir Langdon yang terkekeh geli.

Jika kalian belum tahu, Remi adalah anak satu-satunya Sir Langdon dari mendiang istri pertamanya.

“Hello, Remi.”

“Hai dad. Aku tak tahu jika dad sudah pandai melarikan diri dari Rene.”

“Sir. Rapat dengan senat dalam 5 menit.” Rene muncul dari balik Remi dengan wajah dingin tanpa ekspresinya.

“Tsk! Rene - Remi, kalian penghancur pesta. Oya, Meha kau kuundang dalam pesta perjamuan akhir minggu ini, datanglah.”

“Baik, terimakasih Sir.”

Sir Langdon keluar dari ruangan, menyisakan Remi yang masih berkacak pinggang di depan pintu, masih dengan pandangan marah ke arahku. Tinggal kami berdua di ruangan, ia mendatangiku dengan gusar. Aku tak paham, karena kami tak pernah sedekat itu, untuk apa ia marah?

“Kupikir kau berbeda, Meha. Kau sama-sama murahannya.”

“Apa?! Bisa-bisanya! Apa urusannya denganmu?! Kita bukan siapa-siapa, jadi urus saja urusanmu sendiri, TU-AN RE-MI.”

“Tsk! Kau sudah pandai menggoda rupanya, apakah itu keahlian tersembunyimu? Apa dari situ kau mendapatkan uang untuk membiayai kuliahmu?”

Apa-apaan sih dia? Dari tadi tak henti-hentinya menghinaku? Mataku memanas, sebagai anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Untuk sampai di posisiku sekarang bukanlah perkara mudah, masa muda dan kesenangan sudah kukorbankan. Bisa-bisanya dia menilaiku hanya dari sekali pandang?

“KAU. TAK TAHU. APA-APA. TUAN MUDA. KEMBALILAH KE MANSIONMU YANG ME-,”

Belum selesai aku berbicara saat bibirnya membungkam bibirku dengan rakus. Aku yang semula terkejut dan hendak mendorongnya terhanyut dengan permainannya yang panas. Tangannya bergerilya di dalam blouse ku, setiap inchi yang disentuhnya terasa membakar.

“Ah...” desahan tak kuasa keluar dari mulutku saat bibirnya menyapu leher jenjangku. Hembusan napasnya di telingaku membangkitkan birahi hewaniku yang selama ini tertidur.

Saat hasratku sedang menggebu, ia menghentikan permainannya dengan tiba-tiba. Membingungkanku yang sedang terselimuti kabut hasrat. Aku menatapnya dengan pandangan sayu.

“SIALAN!” umpatnya geram lalu dengan kasar mendudukkanku di meja laboratorium, direnggutnya leherku dan permainan panas kami dimulai lagi, kali ini lebih menuntut dibanding tadi. Aku merasa di awang-awang, tak pernah tahu jika rasanya sememabukkan ini.

“OH!! Meha!!” suara terkejut dari pintu, Nina berdiri di sana sembari menutup matanya dengan kedua tangan.

Kesadaranku datang, kudorong kuat tubuh Remi yang memandangku dengan seringai usilnya seperti biasa. Memalukan, bagaimana bisa aku tertipu olehnya tadi! Bodoh sekali kamu Meha! Aku mengutuk diri.

Kuperbaiki kancing blouseku yang entah kapan terbuka, menampakkan buah dadaku yang kencang. Remi mendekat padaku dan berbisik.

“Siapa sangka jika kau cepat sekali basah, Meha. Permainanmu tadi tak buruk juga, kau pasti sudah biasa melakukannya.”

“SLAP!” kutampar pipinya, cukup sudah hinaannya, ia sempat membuatku lengah tadi, kuakui itu. Dan kini aku begitu menyesalinya.

“Maaf Tuan, tidak akan ada lain kali. Mulai sekarang kita tidak akan saling mengenal. Aku mengutuk diriku karena perbuatanmu tadi.”

“Siapa kau mendikteku? Aku mengklaimmu menjadi milikku Meha.”

“Aku bukan properti yang bisa dibeli.”

“Oya? Bagaimana jika, beasiswamu dicabut? Apakah itu cukup untuk membeli harga dirimu?”

Air mataku hampir jatuh, aku lelah sekali menjadi miskin. Selalu dimanfaatkan, aku tak punya apapun selain harga diri sebagai manusia, dan kini dengan gampangnya ditawar seperti menakar keju dan roti.

“Cabut saja, aku akan pergi sejauh mungkin, ke belahan dunia yang tak terjangkau oleh tangan-tangan kalian yang tak pernah tahu arti dari bekerja keras,”

 “No, Meha. Kau tak boleh kemana-mana, sudah kukatakan jika kau milikku. Camkan itu.”

“Aku lelah, mungkin konsep harga diri tak pernah ada dalam kamusmu Tuan. Tapi kami, kaum marjinal ini, berpegang teguh pada itu, dan uang sebanyak apapun tak akan mampu membelinya, setidaknya bagiku.”

“Kenapa kau begitu keras kepala?” tangannya kembali menggamit lenganku.

“Lepaskan! Kau menyakitiku.”

Menyadari perbuatannya, ia melepaskan remasannya pada lenganku, lalu berlalu pergi, tak lupa menggumamkan ultimatum.

“Jangan kemana-mana Meha, aku janji tak akan mengganggumu lagi.”

Seharusnya aku lega kan mendengar pernyataannya? Tapi kenapa hatiku terasa sakit?

“Bagaimana rasanya tadi? Aku lihat kamu sangat menikmatinya, ah ah ah!” Nina menirukan suara desahanku tadi membuat pipiku semerah tomat.

“Diamlah! Kau berlebihan!”

“Oya? Jadi, suara siapa itu yang tadi kudengar?”

“Entahlah, tapi bukan aku.”

“Baiklah tuan puteri keras kepala. Hari ini jadi isolasi?”

“Mm, jadi. Ngomong-ngomong, aku diundang oleh Sir Langdon di perjamuannya akhir minggu ini.”

“Oya?! Sungguh luar biasa! Setelah ini kita harus mampir ke Frockney! Aku akan membantumu mencari dress!”

“Haruskah?” godaku dengan mata berbinar.

“Yes. Yes. YES!” Teriak Nina kegirangan.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku memanjakan diri pergi menggunakan taksi, aku tak ingin dress off shoulder satin berwarna hitam dengan potongan sederhana yang kukenakan menjadi berantakan jika bepergian menggunakan trem, di tanganku menggenggam clutch merah yang juga didapatkan dari Frockney, toko yang terkenal akan barang-barang vintage bekas berkualitasnya dengan harga ramah di kantong mahasiswa.

Tak ada perhiasan mahal di leherku yang jenjang, untuk itu aku mengenakan riasan sedikit berani malam ini untuk mengalihkan perhatian orang pada assesorisku yang minim. Begitulah harapanku.

Sesampainya di mansion milik Sir Langdon yang mewah, aku melaporkan namaku pada pelayan yang berjaga di pintu depan. Ia mengangguk setelah memastikan namaku ada di daftar undangan. Salah satu pelayan kemudian mengantarku ke ruangan perjamuan yang sudah di penuhi orang-orang.

Pintu besar dibuka oleh sang pelayan, dan aku masuk ke ruangan yang terang benderang, orang-orang sudah mulai makan mengambil di prasmanan. Aku masuk dengan kikuk, tak ada yang kukenal di sini, wajah-wajah yang asing.

Di ujung ruangan, mataku bersirobok dengan pandangan Remi yang lekat menatapku, beberapa gadis mengelilinginya dengan antusias, wajahnya tampak begitu kesal. Kapan sih dia bersikap ramah padaku! Kilasan pergumulan kami beberapa hari lalu muncul membuatku tersedak dan buru-buru ke kamar mandi.

Dasar orang kaya, di mana kamar mandi mereka?! Aku membuka pintu satu persatu, namun tak mendapati ruangan yang kutuju. Lega saat akhirnya menemukannya di ujung lorong.

Kini, setelah usai dari kamar mandi, aku harus mengingat lagi letak ruangan perjamuan tadi. Menggeram kesal karena kemampuan spasialku yang payah kumat di saat aku membutuhkan keajaiban.

Dengan pelan aku membuka ruangan satu persatu, saat di ruangan yang tampak seperti perpustakaan pribadi itu aku melihat sepasang kekasih yang saling memagut penuh gelora.

“Aah...” pekik tertahan keluar dari mulutku tanpa sengaja kala kusadari siapa dua insan itu.

Remi dan Mrs Leah Thompson.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status