Share

2. Kejutan

“Bagaimana keadaan gadis itu?”

“Belum siuman karena masih kehilangan banyak darah Sir.”

“Laporkan keadaannya padaku langsung, tempatkan dua penjaga di depan ruangannya. Dia adalah saksi kunci kita, kita tak mau mengambil resiko kehilangannya.”

“Baik, Sir.”

Aku mendengar samar-samar percakapan dari luar masih dengan mata terpejam, kesadaranku berusaha mengetuk-ngetuk untuk ke permukaan tapi fisikku tak kuasa. Kegelapan seolah lebih mudah untuk digapai dibanding terang. Aku terseret pasrah pada tarikan kelelahanku lagi.

Disorientasi waktu, rasanya lelah. Entah sudah berapa lama rasanya aku berlari di dalam kabut tebal bertelanjang kaki. Rumput di bawah kakiku basah berlumpur, piyama rumah sakit yang kukenakan kotor tak karuan, sela-sela jarikupun mulai terasa gatal.

“Meha... Meha...!” Lagi-lagi aku mendengarkan suara teriakan Nina, untuk itulah aku tadi berlari, mencari-cari sumber suaranya.

Sumber cahaya satu-satunya di kejauhan layaknya mercusuar yang menjadi tujuan pelarianku. Menembus kabut samar-samar.

“Meha... Meha... Jangan!” kali ini teriakan Nina berubah.

“NINA...! Kamu dimana?! Tunggu aku!”

“Me... Meha... BANGUN!” Teriak Nina tiba-tiba muncul dihadapanku dengan mata melotot, membuatku terkejut dan terbangun di atas ranjang rumah sakitku yang hangat.

“SYUT... SYUT! BRUGH!” Keheningan terpecah oleh suara ganjil dari luar ruangan.

“Ceklek!” seseorang membuka pintu ruanganku dan berjalan dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Instingku mengatakan jika niat orang ini tak baik. Dengan hati-hati aku menyimpul tali infus dengan tangan kananku dan menggenggamnya erat. Masih dengan mata setengah terpejam.

Siluet asing itu mendekat, mengarahkan pistol berperedamnya pada pelipisku.

Mati. Sudutnya tak pas untukku melakukan serangan dadakan. Nekat, sekarang atau tidak ada kesempatan sama sekali.

Sepersekian detik kemudian, momentum pistol itu memuntahkan amunisinya, tangan kiriku sudah menggenggam larasnya, mengarahkan sudutnya melewati kepalaku.

“SYUT!” Amunisinya teredam busa kursi pengunjung.

Sebelum pembunuhku sempat bereaksi, aku sudah melilitkan selang infus itu di lehernya kuat-kuat dari belakang mengunci tubuhnya tak bergerak dengan kedua kakiku yang bebas, tangannya menggapai-gapai dan merenggut rambutku.

“AAARGH!!” teriakku saat kulit kepalaku panas seolah hendak terlepas, tarikanku pada selang infus di lehernya semakin kuat.

Tak kupedulikan rasa sakit di kepalaku itu, karena jika aku lengah sedikit maka situasi akan cepat mudah berbalik tak mendukungku.

Sadar jika posisinya tak menguntungkan, tangan yang tadinya merenggut rambutku digunakannya untuk menyikut pinggulku kuat-kuat, aku berteriak tanpa suara. Namun tetap teringat untuk tak melepaskan genggamanku pada selang infus itu.

Putus asa, sang penyerang kini menggunakan kedua tangannya untuk melonggarkan jerat infus pada lehernya dengan panik.

1... 2... 3... 4... detik kemudian saat asupan oksigen di kepala sang penyerang benar-benar hilang dan sudah tak kurasakan lagi perlawanan dari tubuhnya.

Kudorong kasar tubuh sang penyerang dari atas tubuhku hingga ia jatuh terjerembab di lantai. Aku melepas selang infus yang masih tertancap dari tanganku. Begitu juga dengan beberapa patch yang menempel pada dada dan keningku.

Sempat melirik jam dinding dan suasana di luar yang masih gelap. Tak membuang waktu, menyambar mantel yang dipakai oleh si penyerang dan bergegas keluar dari ruangan. Kulihat dua orang penjaga yang berpakaian polisi di depan ruanganku telah tewas, begitu juga dengan tiga orang perawat di counter depan, pembunuhku tak main-main.

Mengendap-endap aku melewati ruangan security rumah sakit yang terlentang di kursinya dengan pelipis bocor. Melihat layar monitor CCTV untuk memastikan tak ada serangan susulan.

Melalui tangga darurat, aku kabur dari rumah sakit tanpa alas kaki.

DONG DONG DONG

Suara lonceng katedral di kejauhan berbunyi sebanyak 6 kali.

Tepat ketika aku sudah sampai di bawah, fajar menyingsing dari ufuk timur, aku berbelok menghindari jalan besar, memasuki lorong-lorong sempit entah menuju kemana. Keputusan sesaatku adalah untuk menghindar sejauh-jauhnya secara acak. Aku tak tahu entah siapa lagi yang mengincar nyawaku.

Tiba di persimpangan, aku mendapati jika sedang berada di lingkungan perumahan suburban yang sepi. Mengapa mereka membawaku ke sini? Jauh dari kota? Dengan merapatkan jaket aku semakin mempercepat langkah. Saat tiba-tiba sebuah mobil van berhenti tepat di sampingku, bannya berdecit nyaring, belum juga aku bertindak, dua pasang tangan membekap mulutku dan meringkus tubuhku masuk ke dalam mobil van yang langsung tertutup dan melaju cepat.

“Hmmmph!” berontakku.

“Diam! Ouch!” teriak kesakitan pria yang membekap mulutku saat jarinya tergigit olehku.

“Meha! Meha! Kalem!” Perintah suara pria yang tak asing bagiku dari bangku depan.

“Daniel?! Apa-apaan?!”

“Nanti akan kujelaskan, sementara ini kami akan membawamu ke tempat aman. Tolong, percayalah pada kami.”

“Permintaanmu berlebihan mengingat bagaimana caramu membawaku.” Sinis aku melirik penyekapku yang tetap menahan tubuhku erat.

“Terpaksa Meha, cuma ini cara satu-satunya agar kau mau ikut dengan kami dalam waktu singkat.”

“Apa mau kalian! Turunkan aku sekarang!” aku memberontak sekuat tenaga.

“Meha! Meha! Tenang dulu. Kami berencana membawamu ke tempat aman. Percayalah.”

“Rencana apa?! Aku akan berontak jika kalian memaksakan kehendak, berkaca dari pengalaman, aku sudah belajar untuk tak lagi gampang percaya dengan orang.”

“Oke, oke. Dengar, kami akan membawamu ke stasiun TV kenalanku. Apa yang kau bongkar ini merupakan skandal nasional Meha. Banyak orang penting yang akan terseret. Jika informasi ini tak dilempar ke publik, aku takut akan tenggelam dan kau akan dibungkam paksa.”

“Kawan-kawan! Ada mobil hitam yang sedang mengikuti kita! Berpegangan! Aku akan menaikkan kecepatan!” teriak pengemudinya yang seorang perempuan, tanpa menunggu persetujuan kami ia langsung tancap gas membelah jalanan sepi pagi hari itu.

Hari baru saja dimulai saat orang-orang yang baru bangun menyaksikan dua mobil berplat nomor kota mengemudi dengan ugal-ugalan. Sumpah serapah terdengar di sepanjang jalan.

“Rene! Mereka sudah di samping!”

“Tsk! Menjengkelkan. Kawan, bersiap untuk benturan!” Rene membanting kemudi ke kiri. Tubuh kami saling berhimpitan di kursi penumpang karena benturan keras tadi.

Mobil penguntit itu melenceng ke pedestrian namun dengan cepat dapat dikendalikan dan kali ini mengincar mobil kami dengan kecepatan tinggi!

“Mereka mengeluarkan senjata!” teriak pria di samping kiriku lalu ikut-ikutan mengeluarkan senjatanya juga.

“Astaga. Jangan lagi!” aku mengernyit lelah ke samping.

Adu tembak pun tak terelakkan. Kawan Daniel tertembak dan tewas, aku merunduk semakin dalam ke kursi penumpang.

DOR!

Tembakan sekali lagi dari arah samping tepat mengenai batang leher Rene.

“Dan- Dani... el.” Rene pun tak tertolong.

“Tidaaak! Rene!!” Daniel meraung sedih namun mengambil alih kemudi dengan tangannya yang bebas.

Mobil melambat tepat di tepi jembatan, mobil penguntit tadi menabrak mobil kami hingga menghantam pembatas. Mobil yang kami tumpangi terjun bebas ke arah air yang tampak tenang menyambut.

“Maaf, Meha...”

Hanya itu kata yang keluar dari Daniel saat mata kami bersitatap sebelum benturan keras dengan muka air terjadi, tak lama mobil sudah terisi air. Tampak leher Daniel yang terkulai canggung, kuduga akibat benturan dengan airbag yang menggelembung tiba-tiba, tatapan matanya padaku sudah tak bernyawa.

Hatiku menjerit kehilangan temanku satu persatu. Namun kini aku harus segera menyelamatkan diri, air sudah hampir penuh. Dengan satu tarikan napas panjang aku menyelam mencari jalan ke luar.

Pintunya tak bisa dibuka, terkunci otomatis. Satu-satunya jalan adalah keluar lewat jendela yang terbuka dan terhalang mayat teman Daniel, kusingkirkan mayat itu cepat sebelum aku kehabisan udara.

Mobil sudah tenggelam ke dasar dan terseret arus, aku keluar dari arah arus datang menghindari diri dari terperangkap dalam bodi mobil lagi. Dadaku sudah sangat sesak meronta meminta udara.

Dengan sisa tenaga aku berenang ke permukaan. Sekelebat ingatan menyeruak mengingat tentang cahaya dari mercusuar dalam mimpiku tadi malam.

Rasanya tinggal sedepa lagi, tapi paru-paruku sudah tak kuat. Saat aku hampir menyerah mengikuti arus, sebuah tangan menyambarku naik.

Aku ditarik naik ke sebuah sekoci dan terkapar di lambungnya terbatuk-batuk mencari udara saat sebuah wajah muncul di atasku dengan seringai palsu.

“Well, hello Meha.”

Si jalang Mrs Leah Thompson-Bortolomov.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status