Aurora berdiri mematung di ambang pintu penghubung ruang makan dan ruang keluarga rumah pasutri Cassian-Aveline, sambil menutup matanya dengan kedua tangannya. Karena tidak ada yang mendengarkan kedatangannya, dia memutuskan untuk langsung masuk saja, berhubung juga para bodyguard mempersilahkannya. Mana dia tau ketika menghampiri si tuan rumah, karena dia mendengar suara keduanya yang berasal dari ruang makan, dia justru disuguhkan pemandangan yang membuatnya malu sekaligus iri.
Aveline dengan cepat turun dari pangkuan sang suami ketika menyadari keberadaan Aurora. “Eh, Ra. Kapan datang?” Tanyanya dengan gugup.
“Baru aja..” ucap Aurora setelah menurunkan tangan yang menutupi matanya.
Aveline mengangguk sebagai balasan. “Udah makan malam?”
“Gabung aja sama kita, Ra!!” Celetuk Cassian.
Aurora menggeleng dengan wajah aneh. “Gak, deh. Bisa-bisa nanti eneg liat kebucinan kalian.” Cibi
“INI BENERAN???”Pekikan yang mengandung keterkejutan sekaligus bahagia itu datangnya dari Hans. Aurora bahkan me-rem langkahnya dengan mendadak ketika mendengar itu. Dengan penasaran, dia mulai mengambil tempat agak tersembunyi karena merasa penasaran hal apa yang membuat orang kepercayaan dari Nicholas itu tampak begitu shock.Mata Hans terlihat berbinar saat menatap layar ponselnya. Aurora merasa semakin penasaran dengan apa yang ada di layar ponsel tersebut.“Gila.. serius Fortress yang ngirim email kek gini?” Tanya Hans pelan pada dirinya sendiri. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapat email dari Fortress yang menyatakan membuka perekrutan untuk Warrior baru. Tentunya itu hal yang sangat langka mengingat Fortress adalah organisasi besar dan misterius yang tidak merekrut sembarang orang untuk bergabung. Sehingga kesempatan yang diberikan kepada Hans pasti merupakan hal yang luar biasa.Aurora semakin memper
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Tanda tangani ini!” Seru pria yang berdiri dihadapanku. Cassian Ardentio Wijaya, sosok yang tampan dengan rambut hitam dan mata tajam berwarna sama dengan matanya. Aku menatap kertas yang disodorkannya padaku yang sedang duduk di sofa yang ada di kamar kami. Sebuah kontrak pernikahan. “Kontrak pernikahan?” Tanyaku menyuarakan pikiranku. Cassian dengan wajah datarnya ikut duduk di sampingku. “Kontrak pernikahan selama satu tahun, setelah itu kita bercerai.” Aku terkejut, “Apa? Tapi, kak …” Cassian menatapku dengan serius, “Ave, kita berdua tau kalau kita gak saling cinta. Aku menikahimu karena papa kamu yang minta.” Cassian benar. Papa, Vincent Renaldi, sangat menyukai Cassian dan juga kecekatannya dalam bekerja di perusahaan. Papa Vincent sangat terobsesi menjadikan Cassian sebagai penerusnya, karena aku, Aveline Seraphina Rinaldi, dan adikku, Aurora Sophia Rinaldi, sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan. Dan karenanya Papa Vincent sedang sakit dan perusahaan sed
Anak? Hamil? Hemm... ~~~ Tiit tiit … Aku meraba nakas tempat tidur disampingku untuk mematikan alarm di ponselku. Setelah mematikannya, aku bangun dari tidurku sambil merentangkan tangan yang terasa pegal. Aku menguap beberapa kali dan menengok sisi lain dari tempat tidur di kamarku dan Cassian yang kosong. Itu artinya, Cassian tidak tidur lagi di kamar ini. Aku terdiam menatap sisi Kasur yang tampak rapi itu. Karena menyadari waktu yang semakin berjalan, aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di kamar ini untuk membersihkan diri dan menyiapkan air hangat. Aku juga menyiapkan pakaian kerja untuk suamiku yang kuletakkan di atas tempat tidur. Setelahnya, aku mengetuk pintu kamar di sebelah kanan kamar kami. Dimana Cassian sering tidur. Sambil mengetuk, aku juga memanggilnya dengan suara yang agak keras. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka menampilkan Cassian dengan penampilan baru tidurnya yang sexy membuatku sekali lagi tertegun. Rambut hitamnya yang acak-acakan, mata
Cassian punya solusi dan Aveline juga punya.. ~~~ “Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?” Tanya Papa Vincent yang duduk dihadapanku, di sofa ruang keluarga. Belum selesai pesta ulang tahun Stella, Papa Vincent langsung menyuruhku untuk ikut pulang dengannya. Bukan untuk bertamu, melainkan untuk diinterogasi seperti saat ini. “Maksudnya, Pa?” Tanyaku bingung, tidak paham kemana arah pertanyaan Papa Vincent. Papa Vincent menatapku dengan pandangan serius, “Apa kalian sudah melakukan ‘itu’?” Tanya Papa Vincent dengan menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda peace. Wajahku memerah saat mendengar pertanyaan yang langsung mengarah ke hal yang sangat pribadi tersebut. Aku merasa canggung dan tidak nyaman menjawab pertanyaan Papa Vincent yang begitu terbuka. “Ngapain Papa nanya begituan?” Jawabku dengan gugup. Papa Vincent melipat tangannya dan bersandar di sofa ruang keluarga ini. “Yah, karena kamu belum hamil sampai sekarang, yang mana usia pernikahan k
Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu.. ~~~ Engghh… Aku terbangun dengan perasaan yang tidak nyaman. Kepalaku pusing dan perutku terasa mual. Aku duduk dan terdiam saat rasa mual itu semakin menjadi-jadi. Aku memegang perutku dan berusaha untuk mencapai kamar mandi. Napasku terengah-engah saat mengeluarkan isi perutku yang semuanya hanyalah cairan. Setelah merasa lega dan membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi menghampiri ponselku yang tergeletak di sofa kamar. Aku mulai mengecek satu per satu notifikasi dimana aku berharap kalau salah satunya dari Cassian. Namun nihil. Aku menghembuskan napas lelah. Sejak kejadian malam itu, Cassian menghindariku. Dia memilih tidak sarapan dan pulang larut malam demi tidak berinteraksi denganku. Dan sudah hampir dua minggu ini dia tidak pulang. Awalnya dia hanya mengatakan kalau akan keluar kota dan tidak mengatakan alasan serta waktu kepulangannya. Membuatku frustasi karena me
Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya.. ~~~ “Saya tidak bisa pastikan, pak. Sebaiknya cek ke dokter kandungan langsung,” Aku terbangun saat mendengar suara-suara disekitarku. Aku perlahan membuka mata dan menemukan seorang Wanita yang menggunakan jas dokter, sedang duduk di sampingku. Melihatku bangun, dia kemudian membantuku duduk. “Bagaimana perasaan ibu sekarang?” Tanya Wanita itu. “Hanya pusing saja,” Ujarku lemah dan sedikit tersenyum. “Terimakasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?” Ujar sebuah suara berat yang berada di belakangku. Aku berbalik dan mendongak menatap orang yang sangat aku rindukan. Dia menyadari tatapanku dan duduk di sampingku tepat semua karyawannya meninggalkan kami berdua di ruangan ini. “Sepertinya kamu hamil,” Ujarnya tidak mau menatapku. “Hamil?” Gumamku pada diri sendiri. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering merasa mual dan lemas. Ternyata ada keajaiban yang sedang terjadi di dalam tubuhku. Ak