Dimas memegangi pipinya yang terkena hantam Bastian. Sementara, Bastian sudah sejak tadi sudah tak tenang mendengar penjelasan Dimas.Bastian benar-benar kecewa dengan Alika. Wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Apalagi saat dia datang dan mengaku hamil anaknya. Tangis Alika pecah saat Dimas menceritakan semua. Kekhilafan dirinya hingga bisa hamil anaknya Dimas.“Berengsek!” teriak Bastian.Ferdi menahan sang kakak yang begitu emosi. Bastian geram karena ulah Alika juga murka dengan apa yang mereka berdua lakukan. Ferdi menahan Bastian kembali karena ia hampir saja menghantam Dimas.“Aku tidak salah karena ingin bertanggungjawab saat itu. Hamil atau tidaknya Alika, tapi dari menolak. Awalnya aku tidak tahu kalau Ferdi tak bercerita tentang ulah Alika. Dari sana, aku curiga dan memutuskan menemui Alika. Dia berlari hingga jatuh dan keguguran.”“Bohong, dia bohong!” pekik Alika histeris.“Cukup, jangan mengelak Alika!” Dimas tak kalah bersuara.Bastian memegangi kepalanya yang teras
Kondisi Bastian belum stabil, ia masih tertidur akibat obat bius yang diberikan oleh Dokter. Sandrina begitu cemas dengan kondisi sang suami yang menghawatirkan. Sepetinya Bastian mencoba mengingat beberapa kenangannya. Namun, bukan pulih malah membuat ia merasa kesakitan hingga pingsan.“Fer, Nit, kian pulang saja. Istirahat,” ujar sang ibu.“Ibu bagaimana,” tanya Ferdi.“Ibu menemani Sandrina. Kalian pulang saja, bagaimana?”“Kalau itu yang ibu mau, kita istirahat dan nanti gantian saja.”Bu Hana setuju, Ferdi langsung mengajak Anita pulang karena ia merasa sang istri sudah sangat lelah. Anita pun terlihat memang sangat pucat, mungkin efek kurang tidur sampai membuat mata panda di kantung mata.“Kamu mau makan dulu apa nanti di rumah?” tanya Ferdi.“Di rumah saja, aku lelah,” ujar Anita.Ferdi pun langsung mengikuti langkah sang istri untuk pulang. Sudah beberapa hari ia mengurusi masalah sang kakak dan lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Apalagi sampai lupa dengan kesehatan Anita y
Bastian membantu Sandrina beranjak dari lantai walau dengan tangan satu terinfus. Ia panik karena sejak tadi sang istri memegangi perutnya. Bastian mencoba mengelus perut Sandrina agar lebih tenang.“Bu, periksa ke Dokter Kandungan saja,” ujar Bastian.“Enggak apa-apa, Mas. Ini hanya keram sedikit saja nanti hilang,” tolak Sandrina.“Kamu bilang enggak ada masalah, memang kamu bisa lihat anak kamu di dalam? Aku enggak mau tahu, nanti aku temani kamu ke Dokter Kandungan,” ucap Bastian memaksa lagi.“Bas, biar ibu saja. Kamu tetap di kamar, istirahat.” Bu Hana memerintahkan Bastian untuk tak pergi ke mana-mana.Bastian malah mencemaskan Sandrina, bukan dirinya. Melihat sang istri kesakitan ia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apa pun. Seperti yang di katakan sang ibu, Sandrina pun di ajak ke Dokter Kandungan.Sepertinya Sandrina, ia menatap sekeliling. Ia merasa betapa bodohnya selama ini telah menyia-nyiakan wanita seperti Sandrina. Matanya tertutup oleh cinta buta pada
“Aku hamil, Mas.” Wajah Sandrina terlihat bahagia saat memberitahu dirinya sedang berbadan dua. Akan tetapi, Bastian—suaminya tak bereaksi lebih. Pria berkemeja putih itu sekilas melihat, lalu hanya berdehem saja. Wajah semringah Sandrina berubah menjadi sendu. Ia hanya berharap sang suami terlihat bahagia dengan kehamilannya. Namun, semua di luar dugaan, Bastian tak bisa menghilangkan sikap dinginnya pada sang istri. “Mas, apa kamu tidak bahagia?” tanya Sandrina. “Kamu pikir sendiri saja.” Bastian berjalan meninggalkan Sandrina yang masih berdiri mematung di ruang tv. Enam bulan pernikahan mereka berlalu begitu saja tanpa kebahagiaan. Apalagi Bastian yang selalu bersikap dingin pada Sandrina, juga ucapan demi ucapan ketusnya yang selalu membuat kesabaran wanita itu teruji. Sandrina menarik napas, ia berusaha tahan dengan sikap sang suami. Bagaimana pun, wasiat yang dibuat oleh ayah mertuanya itu harus dijalani dengan ikhlas dan tabah.
Sandrina tersadar dari pingsannya. Bu Hana segera memberikannya teh hangat dan Bibi Asih membantu mengompres luka lebam di pipi Sandrina. Wajah cantik itu kini sedikit berbeda dengan pipi yang membiru akibat salah sasaran dari Bastian.Bu Hana membantu Sandrina duduk, ia sebenarnya ingin tahu apa yang sebenarnya tidak ia ketahui tentang kedua anaknya juga menantu kesayangannya.“Maafkan Bastian, dia tidak sengaja memukul kamu. Sebenarnya, apa yang tidak ibu ketahui. Apa sebelumnya kamu dan Ferdi sudah saling mengenal?” tanya Bu Hana.Sandrina terkesiap, ia berpikir apa yang terjadi saat dirinya pingsan hingga Bu Hana bertanya seperti itu.“San, kenapa kamu tidak menjawab ibu?” Lagi, pertanyaan sang mertua membuat Sandrina terbangun dari lamunannya.Sandrina gugup, sebelumnya tidak ada yang tahu tentang hubungan Ferdi dengannya sebelum ia menikah dengan Bastian.“A—aku—“ Sandrina menatap ibu mer
Bu Hana membantu mengoles obat pada wajah Sandrina. Wanita tua itu masih saja mengomel karena ulah Bastian wajah menantu kesayangannya menjadi lebam.“Tenang saja, sudah ibu telepon suruh pulang. Setelah ini kita ke Dokter Kandungan.”“Iya, Bu.”Terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Suara kendaraan itu sudah sangat dihafal Sandrina, ia gegas ingin menyongsong sang suami.“San, biar ibu saja. Kamu di sini istirahat.” Bu Hana langsung menghampiri sang anak.Bastian berdiri di depan rumah saat sang ibu sudah menunggunya di ambang pintu. Pria dengan rambut cepak itu mengembuskan napas sebelum ia mendapat beberapa wejangan dari ibunya.“Kamu itu nggak punya pikiran, punya perasan nggak kamu?”Benar dugaan Bastian, sang ibu mulai memberikan ceramah padanya. Kali ini pasti akan panjang sampai ia lelah.“Ibu ngomong apa, sih?”Bastian berjalan melewati sang ibu.
Dimas membuat Ferdi terus berpikir untuk merebut hati Sandrina kali ini. Lagi pula Bastian juga tidak akan marah jika ia mendekati mantan istrinya itu karena sang kakak memiliki kekasih yang sulit ia tinggalkan. Hal itu mempermudah dirinya untuk kembali mendekati Sandrina karena ternyata dirinya masih sangat mencintai mantan kekasihnya itu. Kesalahannya membuat ia menyesal sekian lama. Meninggalkan Sandrina dan memilih wanita yang jauh berbeda darinya. Dengan senyum tipis, Ferdi pamit pada Dimas. Ia melambaikan tangan saat sang teman sedang melayani beberapa tamu. Dimas menanggung melihat Ferdi berjalan ke luar kafe. Sebelum pulang, Ferdi memiliki ide untuk membelikan beberapa barang atau makanan kesukaan Sandrina. Ia masih ingat dengan hal kecil yang menandai kebiasaan mantan kekasihnya. Ferdi membuka pesan masuk, ternyata sejak tadi sang ibu terus berusaha meneleponnya. Ia menarik napas, tangannya membuka cepat pesan masuk dari ibunya. [Cepa
Bastian terus menghubungi Alika, tapi wanita itu sama sekali tidak menjawab teleponnya. Tangan pria itu bermain di ponsel dan mengetik beberapa pesan untuk sang kekasih. Alika masih marah sampai tidak mengangkat panggilan masuk dari Bastian.Pria itu menyimpan ponsel di nakas, wajahnya kesal penuh amarah. Kalau bukan karena sang ibu memintanya pulang, mungkin Alika tidak akan semarah itu. Sungguh buat hatinya menjadi kacau dan kalut.Bastian semakin kesal saat mendengar suara ibunya lantang memanggil. Terdengar kursi berderit saat pria itu beranjak dari duduknya. Gegas ia membuka pintu karena sejak tadi ketukan pintu dan suara ibunya sangat mengganggu.“Ada apa, Bu?” tanya Bastian.“Cepat ganti baju, kita ke Dokter Kandungan.”Bastian melongok karena ia kira tidak jadi mengantar Sandrina. Sang ibu langsung menunggu di ruang tamu, sedangkan Bastian masih berdiri mematung di ambang pintu.Tidak seperti bertemu dengan Al