Share

BAB 2. PAK PRESDIR, INGIN MENEMUKAN DALENA

Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal.

“Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes.

Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan.

Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya.

Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas.

“Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya.

“Heins …”

“Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!”

Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan.

Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki karier gemilang.

Dalena berkaca-kaca menatap Heins. “Bibi Calestia, di-dia...”

“Dia mengusirmu?”

Dalena mengangguk. Air mata jatuh membasahi pipinya. “Mereka ingin menjualku pada laki-laki hidung belang, tapi... tapi aku—”

Dalena tidak menyelesaikan ceritanya, dadanya terlalu sesak hingga ia hanya bisa terus menangis.

“Ya Tuhan … Sudah, tenanglah,” kata laki-laki itu menepuk lembut punggung Dalena.

Heins terbilang cukup dekat dengan Dalena meskipun hanya berteman semasa sekolah dulu.

Dia juga tahu bagaimana perlakuan buruk keluarga paman gadis itu. Bahkan sejak bersekolah, Dalena selalu disiksa dan mendapatkan perlakukan buruk.

“Tinggallah denganku, Dalena. Aku sama sekali tidak keberatan untuk hal ini. Bagaimana?” tawar Heins ketika Dalena sudah tampak lebih tenang.

“Tapi Heins... Apa aku tidak merepotkanmu?” tanya Dalena berkaca-kaca.

Heins menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus. Laki-laki itu langsung meraih tas besar milik Dalena dan mengajaknya masuk ke dalam mobil.

“Ayo.”

Sepanjang perjalanan menuju rumah Heins, Dalena terus dihibur untuk tidak sedih oleh pria itu. Heins benar-benar sosok yang sangat baik.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah berlantai dua yang berada di perumahan di tengah kota Barcelona. Rumah besar itu milik Heins, si dokter muda yang sukses.

“Ayo, jangan ragu-ragu. Anggap saja rumah sendiri. Di sini tidak ada siapapun, jadi jangan takut,” ajak Heins membawa tas milik Dalena di tangannya.

“Terima kasih banyak Heins,” ucap Dalena lirih.

Laki-laki itu mengangguk tulus. Dia mengajak Dalena masuk ke dalam rumah megahnya.

Heins juga menunjukkan beberapa kamar, hingga Dalena bebas memilih ingin tidur di kamar mana saja.

Sungguh … Dalena tidak tahu harus membalas kebaikan Heins dengan cara apa.

“Heins … terima kasih banyak. Aku akan tinggal di sini sampai aku menemukan tempat tinggal yang baru,” ujar Dalena.

“Tidak perlu buru-buru untuk hal itu. Tinggallah di sini sampai kapanpun kau mau. Aku tidak akan pernah mengusirmu atau keberatan dengan kehadiranmu, oke?” Heins membungkukkan badannya menatap wajah cantik gadis itu lekat-lekat.

Kilatan mata penuh luka itu … Heins tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dalena, namun rona ceria yang biasanya Dalena pancarkan kini benar-benar sirna.

Heins mengulurkan tangannya mengusap rambut panjang Dalena yang tergerai. Dia merasa sayang dengan teman perempuan yang dulu selalu membantunya ini.

Dulu, Dalena menjadi orang pertama yang selalu mendengarkan keluh kesah Heins. Kini saatnya dia yang harus membantu Dalena.

“Sekarang masuk ke dalam kamar. Bersihkan tubuhmu dan makan malam bersamaku, setelah itu baru istirahatlah.”

Senyuman tipis beserta anggukan Dalena berikan.

Setelah itu dia masuk ke kamar yang jauh lebih mewah dibandingkan kamarnya di tempat sang Paman dan Bibi. Gadis itu meletakkan tas besarnya di atas ranjang.

Dalena langsung ke kamar mandi. Satu persatu pakaiannya pun ia lepaskan, jatuhnya dress itu bersamaan dengan menetesnya air matanya.

Amarah dan kekecewaan yang besar menyala di hatinya begitu bercak-bercak merah di tubuhnya sangat jelas terlihat.

Dalena terduduk di lantai kamar mandi menundukkan kepalanya dan membiarkan air shower mengguyurnya.

“Aku tidak boleh menyerah sampai di sini … aku harus terus bertahan,” lirih Dalena dengan dada yang terasa sesak.

“Ayah, Ibu … doakan aku dari atas sana, ya?”

**

Di dalam sebuah ruangan berbusana abu-abu, seorang laki-laki berbalut tuxedo hitam duduk di kursi agungnya menatap dua orang laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri penuh hormat di depannya.

Damien Escalante, seorang CEO ternama sekaligus miliarder yang sangat disegani.

Laki-laki berwajah tampan itu bersedekap, kedua alisnya menukik tajam, matanya menatap dingin dan tajam pada kedua orang kepercayaannya.

“Bagaimana? Kau sudah menemukan informasi tentang gadis yang semalam berada di dalam kamar itu?” tanya Damien dengan iris hitam tajamnya yang berkilat.

“Belum, Tuan. Dalam rekaman CCTV di lorong pun dia tidak diketahui pergi ke mana,” ungkap salah satu anak buahnya.

“Mencari satu gadis pun kalian tidak becus, hah?!” berang Damien berdiri menggebrak meja dengan penuh emosi.

Dua anak buahnya pun langsung tertunduk.

Rahang Damien mengetat mengingat dirinya meniduri seorang gadis dengan sembarangan, terlebih lagi gadis itu ternyata masih suci.

Damien merasa tertarik dan ingin mencari gadis itu sampai ia berhasil menemukannya.

“Cari gadis itu sampai ketemu! Aku tidak peduli meskipun kalian harus mencarinya sampai ke ujung dunia!” perintah Damien dengan nada penuh penekanan.

“Baik, Tuan. Kami akan mencarinya lebih teliti lagi.”

“Cepat pergi! Dan bawa dia ke hadapanku!” berang Sang Tuan mengusir.

Kedua anak buahnya pun melangkah pergi menutup pintu ruangan tersebut.

Damien menyergah napasnya kasar. Ia beranjak dari duduknya dan melangkah berjalan mendekati dinding kaca yang menunjukkan pemandangan kota Barcelona yang tengah terguyur hujan.

“Gadis itu, dia masih suci dan... Sial! Bagaimana bisa aku melakukannya?!” gerutu Damien mengutuk dirinya yang semalam mabuk berat.

Dalam benaknya, terbayang samar wajah cantik gadis muda itu. Damien ingin menggali ingatannya lebih dalam, tapi bayangan itu malah semakin mengabur.

Hal ini membuatnya frustrasi dan kesal.

Damien mengepalkan tangannya di dinding kaca dengan raut dipenuhi rasa geram dan penasaran.

“Siapa pun dirimu Nona, kau tidak akan mudah terlepas dariku begitu saja! Aku akan menemukanmu, cepat atau lambat!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status