"Pokoknya pulang dari sini antarkan Raccel ke tempat Nanny!" Raccel turun dari dalam mobil dengan raut marah, anak itu menghentak-hentakkan kakinya. "Daddy dengarkan Raccel, tidak sih?!" teriak Raccel mendongak menarik-narik lengan Damien. "Iya Princess, Daddy mendengarmu. Sudah sekarang ayo masuk ke rumah Oma!" Damien menggandeng tangan mungil Raccel. Masih terus mengomeli Daddy-nya sembari berjalan masuk ke dalam rumah keluarga Escalante. Raccel dan Damien disambut oleh kedua orang tua Damien, Kakak perempuannya, dan seseorang wanita cantik yang tengah berada di ruang makan menanti Damien. Bibir Raccel langsung cemberut saat melihat Lora, Mama dari Damien dan juga Sevia, Kakak perempuan Damien yang kini menatapnya dengan tatapan angkuh. "Datang juga akhirnya, ayo duduk dan cepat makan bersama." Lora, Mama kandung Damien yang memintanya duduk. "Kenapa kau mengajak anak itu, Damien?""Merepotkan saja," imbuh Sevia. Damien menatap dingin Mama dan Kakaknya. "Raccel adalah anakku
"Namaku Cassel Om, Cassel Gabriel!" Anak laki-laki itu meraih telapak tangan besar milik Damien dan meletakkan tangan mungilnya di sana. Kedua mata indah milik Cassel mengerjap berbinar-binar. Damien masih terpaku dengan ekspresi anak ini, persis seperti ekspresi saat Raccel tengah penasaran."Kenapa?" tanya Damien menggenggam hangat tangan mungil Cassel. "Pasti genggaman tangan Papiku rasanya seperti ini," jawab Cassel menatap Damien, tersenyum manis sebelum kembali menatap genggaman tangan Damien. "Memangnya di mana Papimu, Cassel?" tanya Damien menarik lengan mungil Cassel dan dirangkul tubuh bocah kecil itu. Cassel menggeleng polos memberikan jawaban. "Kata Mami, Papi sedang pergi bekerja. Tapi Papi tidak pernah pulang-pulang sama sekali, Cassel tidak tahu seperti apa wajah Papi. Tapi kata Mami Papiku itu tampan sekali, Om!"Damien terdiam mengamati wajah Cassel lebih dekat lagi. Rasanya seperti ia berada bersama dengan Raccel, anak ini membuat hatinya merasa berdebar dan ha
"Nanny-ku belum kembali, rasanya sedih... Hatinya Raccel patah!" Bibir tipis gadis mungil itu cemberut. Raccel duduk di kursi kayu di teras rumahnya menatap ke arah gerbang. Raccel ditemani oleh Daddy-nya menunggu Dalena datang. Beberapa menit yang lalu Damien meminta Thom menghubungi Dalena, dan wanita itu sedang menuju ke sana. "Daddy, kenapa Nanny-ku belum ke sini? Apa dia tersesat?" tanya Raccel mendongak menatap sang Daddy. "Tidak Princess. Sebentar lagi pasti datang," jawab Damien. Laki-laki itu menekuk kedua lututnya di samping Raccel dan menatap wajah kecil sedihnya. Sekelebatan wajah anak kecil laki-laki di taman tadi mengganggu pikiran Damien. Cassel, dari sisi manapun dia sangat mirip dengannya dan Raccel. "Ck, sial!" umpat lirih Damien memijit pangkal hidungnya. Tiba-tiba Damien merasakan telapak tangan kecil Raccel menyentuh pipinya. Damien mengangkat wajahnya menatap raut cantik Raccel yang datar dan sedih. Anak itu mengelus pipi sang Daddy dan Raccel mengerjap
Dalena tertidur dengan posisi duduk memeluk Raccel. Wanita itu duduk bersandar di sofa, kedua tangannya mendekap Raccel yang juga terlelap dalam pelukannya. Damien yang menemani mereka berdua, laki-laki itu mengambil selimut di dalam kamarnya. Ia menyelimuti Dalena dan Raccel dengan pelan-pelan. "Dalena," lirih Damien menatap wajah Delana dari dekat. Saat matanya terpejam, raut wajah dan cara tidurnya sama seperti Raccel. Wanita muda ini mengorbankan banyak waktunya untuk Raccel. Damien perlahan duduk di samping Dalena, ia meluruskan kedua tangannya di atas sandaran sofa hingga tiba-tiba lengan kirinya dijadikan bantal oleh Dalena. Anehnya, Damien tidak ingin menarik lengannya. Ia memilih untuk diam membiarkan Dalena tertidur. 'Kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh tiap kali menatapmu, Dalena. Apa yang membuatmu terlihat seperti seorang Ibu untuk putriku yang keras kepala dan menolak dengan orang asing, tapi denganmu... Raccel-ku sungguh berbeda.' Damien menyergah napasnya panj
"Karena saya sangat menyayangi Raccel. Sudah, itu saja alasan saya, Tuan Damien." Dalena memberikan jawaban yang jujur dari dalam hatinya, meskipun kini dadanya terasa berdebar. Damien terdiam tak bereaksi menyadari konyolnya pertanyaan yang dia berikan pada wanita di sampingnya ini. "Mommy kepala Raccel sakit," rengekan Raccel kembali terdengar. "Iya Sayang, kita sudah sampai sebentar lagi..." Dalena menundukkan kepalanya mengusap pucuk kepala Raccel. Ketegangan antara Damien dan Delana pun berkurang. Damien kembali fokus mengemudi, begitupun Dalena yang kembali fokus pada Raccel. Sampai beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Dalena berjalan masuk ke lebih dulu, ia membawa Raccel ke ruang perawatan anak dan langsung bertemu dengan dokter. "Dokter, tolong putriku demam sejak semalam belum turun-turun," ucap Dalena dengan wajah panik. "Baik. Tunggu sebentar, Nyonya!" Dokter itu masuk ke dalam sebuah ruangan mengambil beberapa peralatan. Dalena kesulitan membuka
"Cassel juga demam, semalam dia mencarimu terus dan tidak mau makan." Melinda kini mengajak Dalena masuk ke dalam kamarnya. Dalena baru saja sampai tergesa-gesa ingin melihat kondisi putranya. Pintu kamar pun terbuka dan nampak Cassel tidur meringkuk di tengah ranjang. Melihat sang putra, Dalena langsung membungkam mulutnya dan menangis. "Cassel-ku..." Wanita itu berjalan cepat ke arah ranjang. Suara Dalena membuat Cassel bangun, anak itu membuka matanya dan melihat Dalena yang kini mengusap wajah panas Cassel. "Mami," rengek Cassel memeluk erat tubuh Dalena. "Mami, Cassel pusing. Kepala Cassel sakit!" Dalena langsung menggendong Cassel dan mendekapnya erat-erat. Ia merasakan napas putranya yang panas dan suhu tubuhnya pun ikut panas. Sering kali ia mendengar bila anak kembar saat satu anak sakit, kadang kala satu anak lagi akan ikut sakit juga. Dan hal ini sudah terbukti Dalena rasakan. "Makan dulu ya Sayang, Mami suapi ya nak," bisik Dalena mengusap rambut hitam Cassel. "L
Cassel pun ikut dirawat di rumah sakit, hebatnya anak itu tidak rewel sama sekali. Hanya saja dia sesekali meminta gendong. Seperti saat ini Cassel berada dalam gendongan Dalena. Mereka berdua berdiri di dekat jendela menatap hujan di luar sore ini. "Cassel tidak mau makan sama ayam goreng?" tawar Dalena menatap wajah sang putra. Anak laki-laki itu menggeleng. "Mau gendong Mami saja," jawabnya lemas. Dalena tersenyum menepuk-nepuk lembut punggung Cassel sembari memejamkan kedua matanya dan bersenandung lirih. Wanita itu kepikiran dengan Raccel tiba-tiba. Namun seperti yang Dalena ketahui kalau Raccel pasti dijaga ketat oleh Damien dan Thom, ia rasa untuk sementara Dalena harus fokus pada Cassel hingga putranya sembuh. "Aku harus menghubungi Damien lebih dulu," gumam lirih Dalena. Diraihnya ponsel di atas meja, Dalena mencoba menghubungi Damien saat itu. "Halo Tuan..." "Halo Dalena, ada apa?" sahut Damien di balik panggilan tersebut. "Tuan, saya minta maaf kalau sore ini mung
"Sshhhttt... Pejamkan kedua mata, tidurlah putriku Sayang." Senandung kecil nyanyian di bibir Dalena terhenti begitu Raccel kembali terlelap dalam pelukannya.Raccel akan terbangun dan menangis bisa dibaringkan di atas ranjang. Hingga berjam-jam lamanya Dalena menggendong anak itu. "Duduklah, kau pasti lelah berdiri," kata Damien membujuk Dalena. "Tidak papa Tuan, nanti Raccel bangun kalau saya duduk." Dalena menggelengkan kepalanya. "Duduk Dalena!" Damien menarik lengan kecil Dalena dan membantunya duduk. Laki-laki itu memberikan posisi duduk yang nyaman untuk Dalena agar bisa bersandar. Sungguh ia menghormati bagaimana kerasnya Dalena menenangkan tangisan Raccel yang hebat seperti badai. Damien duduk di samping Dalena memperhatikan wajah lucu putri mereka yang tengah tertidur. "Raccel sangat cantik Tuan," ucap Dalena mengelus gemas ujung hidung Raccel. "Ya. Dia memiliki mata sepertiku, tapi raut wajahnya mungkin secantik Mamanya." Damien merangkul pundak Dalena tiba-tiba unt