Sebuah meja bundar besar menjadi penghalang duduk antara Kakek Bram dan Diana. Dari posisinya kini, Bram bisa melihat jelas raut bingung dan sedikit takut yang terpancar di wajah gadis itu.Bram yakin Diana pasti bingung karena dirinya hadir tanpa aba. Mungkin saja Diana sedang berpikir apa salahnya sampai Kakek Bram nekat menemuinya."Santai saja Diana. Wajahmu terlihat ketakutan begitu. Aku jadi tidak enak dilihat banyak orang," kelakar Kakek Bram. "Maaf Kek!""Santai saja, jika ada yang ingin kamu tanyakan silakan ditanyakan dulu."Diana meneguk ludah. Gadis itu membenarkan posisi duduknya. Matanya terus menatap Kakek Bram tak berkedip diiringi wajah sungkannya yang menambah kegemasan. Ya, Bram gemas melihat tingkah bocah kampung 19 tahun itu."Maaf Kek. Sebelumnya kalau boleh tahu, dari mana Kakek tahu kalau aku dan Mas Bian menginap di hotel ini?"Senyum Kakek Bram mengembang. Pertanyaan polos ini terlihat lucu untuk Kakek Bram yang memiliki banyak mata di mana pun. Apa bocah pol
Keraguan tampak menyelimuti wajah Kakek Bram saat pria tua itu hendak bicara. Diana jelas gusar dengan sikapnya, dia mulai tak tahan dengan bicara Kakek tua itu yang lelet sekali. Tapi apa daya?Tak ada yang bisa Diana lakukan selain menunggu Kakek Bram menjelaskan semuanya dengan sabar. Sesekali ia memainkan jarinya, atau menggesek jempol kakinya di bawah sana dengan tumit."Sebenarnya Ayahmu adalah orang jahat Diana. Satu hari setelah membawamu ke Jakarta, aku sengaja mencari tahu asal-usulmu, itu untuk memastikan apakah kamu layak untuk Abian atau tidak. Ada banyak hal yang harus aku pastikan sebelum memutuskan untuk menikahkan kalian.”Respon Diana hanya diam saja mendengar ucapan Kakek Bram di bagian itu. Ia yang sudah terbiasa dijahati dan disiksa oleh ayahnya setiap hari merasa bahwa apa yang dikatakan Kakek Bram terlalu basi untuk didengar.“Penyelidikanku tentang dirimu tak tanggung-tanggung, orangku bahkan sampai menanyakan langsung pada ayahmu! Dan apakah kamu ingin tahu al
"Kamu serius? Kok tiba-tiba banget kepengin begituan? Kamu nggak lagi becandain aku kan? Kok bisa! Ah, Diana! Aku bingung. Aku nggak tahu harus ngomong apa!"Abian malah berguling sambil menutupi wajah malunya. Diajak seperti itu oleh Diana rasanya masih tidak menyangka saja."Mas Abian kenapa kayak gitu? Mas Bian gak ma--""Mau!" potong Abian cepat."Aku mau banget Diana! Cuma aku masih bingung. Aku takut yang aku dengar sekarang cuma mimpi. Gimana kalau beneran mimpi? Nanti aku malah kecewa."Abian bergulang-guling di ranjang seperti orang gila. Diana jadi bingung harus bereaksi apa. Dia sendiri juga malu. Apa yang dia katakan tadi terlalu tabu! Ditambah lagi respon Abian seperti belut disiram garam begitu.Setelah puas menutupi wajahnya, Abian kembali mengambil posisi duduk. Dia menghadapi Diana sembari menatap lekat-lekat wajahnya.Sejenak mereka berdua saling pandang dengan muka sama-sama merona karena malu.“Diana, tapi kamu nawarin aku bukan karena terpaksa kan? Sebenarnya aku
Tepat jam makan malam, Doni datang ke hotel berniat untuk minta maaf pada Diana dan sekalian ingin membicarakan sesuatu pada mereka berdua.Setelah mendengar sendiri bagaimana sikap Raka tadi, Doni rasa Abian dan Diana harus segera mengklasifikasikan hubungan mereka supaya tidak terjadi perselisihan sengit di kemudian lagi. Ia juga kasihan terhadap Raka yang terlanjur mencintai Diana setengah mati. Doni tidak mau pria itu terus berharap sesuatu yang tidak pasti. Apalagi sesuatu itu adalah milik sahabatnya sendiri. Bisa ada perang Baratayuda jika hal ini tidak segera diklarifikasikan."Ayo ...." Abian tampak menarik tangan Diana yang bersembunyi takut-takut di belakang tubuh pria itu. Dari tempat duduknya sekarang, Doni bisa melihat betapa sungkannya Diana bertemu dengan Doni. Itu pasti karena pertengkaran mereka kemarin.Doni sendiri memang merasa dirinya sudah keterlaluan pada Diana. Dia marah sampai tidak ingat kalau Diana hanyalah gadis remaja dengan usia 19 tahun. Pikirannya past
"Oh ya, Don! Gimana dengan Raka? Apa dia tidak curiga saat kamu ke sini? Biasanya dia selalu ngintil kan? Dia tanya tentang aku dan Diana tidak?""Satu-satu pertanyaanmu Bian! Aku bingung mau jawab yang mana! Tadinya Raka memaksa untuk ikut. Tapi aku bilang kalau aku ada perlu di luar.""Terus dia ngomong apa saja?""Raka sudah mulai curiga kalau kamu dan Diana ada hubungan. Maka dari itu selain minta maaf ada hal lain juga yang ingin aku bicarakan dengan kalian!" Doni kembali membenarkan posisi duduknya. Pandangan terlihat serius, beda sekali dengan tadi yang terlihat biasa saja."Mau ngomong apa?" Ini Diana yang menjawab. Mereka semua sudah selesai dengan kegiatan makan malam. Sebenarnya tinggal pulang, tapi Doni sepertinya masih ada yang perlu dibicarakan. Padahal perasaan Abian sudah campur aduk tidak karuan. Dia terus memikirkan adegan anu-anu yang akan dilakukan bersama Diana nanti. Kira-kira Abian harus memulai dari mana supaya Diana merasa nyaman. Dan terlebih mereka tidak g
Raka tersenyum sinis, dia menatap sejenak Kakek Bram kemudian membuang pandangannya ke arah lain.Kakek Bram ini sungguh menyebalkan. Mirip sekali dengan cucunya. Dia ambisius. Apa pun segala keinginannya harus terpenuhi meski cara yang digunakan tidak benar. Mengenal Kakek Bram sejak kecil cukup membuat Raka memahami bagaimana karakternya. Namun meskipun begitu Raka tahu kalau Kakek Bram cukup baik.“Tolong jangan ganggung hubungan Abian dan Diana. Aku harap kamu bisa mengerti walau mungkin ini sulit. Karena bagaimanapun juga Abian dan Diana sudah ditakdirkan bersama.”“Maksudnya takdir yang Anda buat sendiri?” tanya Raka dengan bahasa menyindir. “Apa Anda bisa memastikan Diana bisa bahagia dengan Abian? Anda pasti tidak tahu kan betapa menderitanya Diana selama ini? Raka masih berhubungan dengan pacarnya. Dia mengabaikan Diana. Itu sebabnya Diana bisa sampai dekat denganku!”Senyum tipis mengembang di bibir Kakek Bram. Dia bisa melihat betapa tingginya emosi yang memenuhi Raka. Nam
Diana terbangun di pagi hari dengan perasaan campur aduk. Posisinya saat ini tak mengenakan pakaian sehelai benang pun. Hanya ada selembar selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada, itu pun masih harus ia bagi dengan Abian yang juga tidak mengenakan sehelai benang pun.Aaaaaaaa .... Pagi ini rasanya Diana ingin menjerit sekeras mungkin kala menyadari apa yang terjadi padanya bukan mimpi. Semalam ia dan Abian sudah melakukan hubungan layaknya pasangan suami istri normal. Meskipun ini bukan pertama kalinya merek bangun dalam keadaan polos, tetap saja rasanya berbeda karena ada hal yang telah mereka lepaskan secara bersamaan.Semalam adalah momen mereka kehilangan kesucian yang telah mereka jaga selama ini. 19 tahun Diana bertengger pada takhta keperwanan, dan sekarang gadis itu sudah kehilangan segalanya.Tangis Diana perlahan pecah. Buru-buru gadis itu mengusap air mata lalu berbalik badan memunggungi Abian yang masih terlelap."Apa pun yang aku lakukan semalam, itu artinya
Alex pulang ke Jakarta dengan tangan kosong karena tidak bisa gegabah terhadap Diana. Ia tahu Diana banyak yang jaga, tapi setidaknya laki-laki itu membawa berita penting tentang hubungan Abian dan Diana yang selama ini tidak diketahui oleh siapa pun.Tidak perlu tahu dari mana asalnya. Yang jelas Alex pastikan berita yang ia bawa cukup akurat. Dia bertindak hati-hati untuk memastikan semua yang dibawah adalah kebenaran.Sementara Miranda, wanita itu murka bukan main ketika mendapati Alex pulang tanpa membereskan Diana sama sekali."Jadi perempuan jalang itu masih bisa hidup dengan tenang di sekitaran Abian? Apa gunanya aku memberikan semua yang kupunya kalau begini hasilnya?" Prang!!!!prang!!!prang!!!Berbagai macam benda yang ada di hotel itu dibuang ke segala penjuru ruangan. Miranda benar-benar putus asa sampai tidak sadar mengamuk di hotel. Untung hotel yang ditempati mereka sekarang adalah milik keluarga Alex."Tenang dulu Miranda. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa jika mengg