Setelah mendapat kecupan di keningnya dari Clara dan Willson, Olivia berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Clara memandang kepergian Olive dengan tatapan sendu. Sungguh, ia tak menyangka jika takdir akan mempermainkan kebahagiaan Putrinya seperti ini. Saat sampai di kamar, Olivia langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Sejujurnya, dia masih sedikit syok dengan kejadian siang ini.
Dalam hitungan jam, ia akan menjadi isteri seorang pria yang tidak dia kenal. Bahkan, namanya saja dia tak tau. Terbesit penyesalan di hatinya, kenapa dengan mudahnya ia menyetujui untuk menikah dengan pria itu. Namun, saat memikirkan kedua orang tuanya, Olivia merasa telah mengambil keputusan yang sangat tepat.
Namun tetap saja, muncul kegundahan di dalam hatinya. Bagaimana dengan kuliahnya nanti? Apa yang harus dia katakan pada Tristan, kekasihnya? Apa dia harus menceritakan semua ini pada Zara, sahabat baiknya? Pertanyaan- pertanyaan itu muncul di dalam pikiranya.
Tak terasa matanya perlahan menjadi berat. Olivia tertidur, saat pikirannya masih berkecamuk dengan semua kejadian yang tak pernah ia duga ini.
Baru saat Clara masuk dan membangunkannya, Olivia sadar telah ketiduran. Ia dengan cepat masuk ke kamar mandi, dan membersihlan dirinya. Setelah itu ia turun ke bawah untuk makan malam.
Di mana sudah menunggu Willson dan Clara di meja makan itu. Mereka makan tanpa suara. Terasa aura menyedihkan dimeja makan malam kali ini. Olivia menyadari, besok ia akan pindah ke rumah pria angkuh itu. Dia akan tinggal di sana sebagai isterinya. Tentu saja Ayah dan Ibunya merasa sedih saat ini. Mereka hanya akan tinggal berdua di rumah besar ini.
"Ayah, Ibu. Saat aku menjadi isteri pria sombong itu, aku berjanji akan terus datang ke rumah kita ini. Aku akan sering-sering menjenguk Ayah dan Ibu. Tolong jangan bersedih lagi untuk itu." Olivia berusaha menghibur mereka. Olivia juga menggenggam tangan Clara yang berada di atas meja saat ini.
Willson berusaha menguatkan diri dan hatinya. Dia tidak ingin membuat isteri dan anaknya ini bertambah sedih. "Hidup lah dengan baik di sana. Ayah akan melakukan apa pun untuk kebahagiaanmu. Jika dia melukaimu, pulang lah ke rumah kita ini. Jika di berani menyakitimu, Ayah tidak akan tinggal diam. Aku rela kehilangan semua yang kumiliki di dunia ini, asal bukan dirimu."
Kata-kata Willson yang terakhir, berhasil membuat air mata Olivia jatuh berderai. Ia segera lari menghambur ke dalam pelukan ayahnya.
"Ayah..." Ucapnya pilu.
Willson mengusap-usap kepala Olivia. Dia harus merelakan Putrinya menikah dengan cara seperti ini. Di usia yang masih terbilang muda, masih 19 tahun. Hal yang pasti sangat jauh dari harapan dan impian gadis seumuran dirinya.
"Baik lah. Ibu akan membantumu mengemas barang-barang. Duluan lah, setelah membersihkan meja Ibu akan segera menyusulmu." Clara tak ingin larut dalam kesedihan. Ia mencoba mencairkan suasana.
Olivia kembali naik ke kamarnya. Ia mulai mengemasi satu persatu barang yang dia anggap penting. Dia juga memasukkan satu frame yang berisi poto dirinya dan Tristan. "Apa yang harus kukatakan padamu? Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya?" Dengan tatapan sendu ia membelai potret itu.
Tapi, hidup terus berjalan. Apa dan bagaimana ke depannya, ia tak pernah tau. Keputusan sudah di sepakati. Di tak bisa mundur lagi ke belakang. Olivia harus menghadapi semuanya dengan berani.
Tiba-tiba Clara masuk memecah lamunan Olivia. "Ada apa sayang? Apa kau menyesali semuanya? Katakan padaku, belum terlambat. Ayahmu pasti akan berusaha membatalkan perjanjian tadi." Bujuk Clara, seolah mengetahui isi hati dan pikiran Olivia.
"Aku tidak menyesal, Bu. Aku hanya tidak tau, bagaimana cara menjelaskannya pada Tristan. Bisakah aku melupakannya? Sedang rasa cintaku begitu besar untuknya." Olivia menitikkan butiran bening dari ujung matanya.
"Cepat atau lambat, Tristan harus tau situasi yang sesungguhnya. Kita tidak mungkin menyembunyikan kebenaran darinya." Nasihat Clara sangat benar adanya. Olivia mengakui hal itu.
"Tapi, aku butuh waktu, Bu." Kemudian Olivia meletakkan kepalanya di atas paha Clara. "Aku akan mengatakannya nanti, saat hatiku sudah siap melepaskannya."
Dengan membelai kepala Putrinya, Clara memberi nasehat lagi. "Kau tak akan pernah tau kapan hatimu siap untuk melepaskannya, mungkin tidak akan pernah bisa jika kau tak berniat melepaskannya. Namun, harus kau tau, sayang. Tristan juga punya perasaan, semakin lama kebenaran ini kau sembunyikan, semakin terluka hatinya saat nanti dia mengetehui segalanya."
Saat ini Olivia tidak mengerti apa yang di maksud oleh Clara. Dia hanya diam, memejamkan mata sampai akhirnya tertidur di pangkuan Ibunya. Nanti dia akan merindukan hal-hal seperti ini saat sudah pindah ke rumah pria yang di julukinya pria angkuh itu.
Menatap wajah Putrinya tertidur pulas di atas pangkuannya, Clara merasa gagal menjadi seorang Ibu. Dia gagal memberikan kebahagiaan sampai skhir untuk Putri kesayangannya. Clara menitikkan air matanya di atas kepala Olive. Dengan perlahan ia mengangkat dan memindahkan kepala Celline ke atas bantal.
Sebelum ia beranjak meninggalkan Olivia yang telah tertidur pulas, Clara berkata. "Semoga, kau memiliki kehidupan yang baik setelah ini. Kuharap, kelak kau bisa berdamai dengan keadaan. Aku yakin, suatu hari nanti dia akan sangat mencintai dirimu dengan segenap jiwa dan raganya."
Sebagai seorang wanita, Clara bisa melihat kesungguhan dan ketulusan dibalik cara Albert meminta Olivia menjadi isterinya. Meskipun pria itu bersikap dingin, angkuh dan sedikit sombong, namun jelas terpancar aura ketulusan saat dia menatap pada Olivia.
Caranya menatap Olivia seperti tatapan seorang yang baru saja menemukan sesuatu yang sudah lama dicarinya. Clara sangat yakin, karena yang dia tau, Albert tidak akan mengampuni orang yang berkata kasar atau menghardik padanya. Namun, itu berbeda saat tadi Olivia membentak dan menyindirnya. Pria itu hanya tersenyum sinis. Clara berharap, semoga semua pemikirannya itu benar. Perlahan Clara meninggalkan Olivia yang sudah tertidur dengan nyenyak. Clara menutup pintu kamar Olivia dengan sangat pelan. Dan kembali berjalan menuju kamarnya untuk segera tidur.
Hai, para pembaca yang Author sayangi. Ini novel kedua karya Author.
Di baca terus ya, kak. Kalau kakak suka, boleh ya tinggalkan review untuk novel ini.
Terima kasih. Salam cinta dari Author❤️
Keesokan harinya, Olivia terlihat sudah rapi dikamarnya. Dia sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, saat Ibunya datang memanggilnya untuk turun. "Olive, apa kau sudah siap, Nak? Tuan Muda itu sudah menuggumu di bawah." Tanya Clara dengan sedikit berteriak saat mengetuk pintu kamar. Dengan ekspresi terkejut dan heran, Olivia membukakan pintu. "Apa maksud ibu, pria yang kemarin siang itu? Yang akan menjadi suamiku?" "Benar, sayang. Namanya, Tuan Muda Albert Jay Cammerun. Dia putra sulung keluarga Cammerun. Dia CEO termuda dengan kekayaan yang tidak akan pernah habis selama tujuh generasi." "Oh ya? Tapi, percuma dia mendapatkan semua keberhasilan itu, jika masih ada sifat angkuh dan sombong didalam dirinya." Olivia terlihat tidak tertarik sama sekali dengan hal menakjubkan yang baru saja di terangkan Clara. Saat dia berjalan keluar kamar, ternyata Albert ada diluar kamarnya itu. Clara menjadi gugup, mengingat apa yang baru saj
Setibanya di kantor catatan sipil. Mereka berdua segera masuk ke dalam kantor ketua pengurusan akta nikah. Karena Albert orang yang sangat berpengaruh di kota ini, tentu saja mudah baginya mendapatkan surat nikah itu hanya dalam waktu semalam. Setelah membubuhi tanda tangan di kertas selembar itu, mereka segera keluar. Saat Albert membukakan pintu mobil untuk Olivia, dia dengan cepat memberikan penawaran. "Bisakah aku pergi dengan taxi saja? Aku akan langsung ke kampus. Aku ada kelas pagi ini." "Masuk!" Titah Albert terdengar menakutkan. "Tapi, kau tidak mungkin kan mengantarku ke kampus menggunakan mobil super mewah ini?" Olivia takut menjadi tontonan satu kampus karena turun dari mobil yang hanya ada tiga unit di dunia ini. "Masuk atau aku akan..." "Iya.. iya.. aku masuk. Kau puas sekarang?" Olivia masuk ke mobil itu dengan wajah cemberut. Tersungging senyum di bibir Albert melihat tingkah Olivia yang menurutnya sangat lucu.
Mike sudah menunggu di depan kampus dengan mobil baru, yang tidak terlalu mencolok. Meski begitu, mobil sport yang di bawa Mike saat ini masih terbilang mewah. Karena hanya ada seratus unit di dunia. Setidaknya, Olivia tidsk terlalu risih seperti menaiki mobil yang hanya ada tiga unit di dunia itu. Saat Mike melihat Olivia keluar dari gerbang kampus, ia segera keluar untuk membuka kan pintu mobil. Olivia sedang bersama Tristan saat ini. Saat melihat Mike sudah menunggunya, Olivia menjadi sangat gugup. "Olive, apa kau mendengar yang baru saja kukatakan?" Pertanyaan Tristan membuat Olivia semakin gugup. "Em.. itu, bagaimana jika kita pergi lain kali saja? Ada hal penting yang harus kukerjakan sekarang!" Olivia tidak tau harus berbuat apa saat ini. "Tapi, aku sudah memesan tiket untuk sore ini. Apa kau lupa, film ini hanya di tayangkan satu kali di bioskop." Tristan memegang tangan Olivia. "Aku benar-benar tidak bisa kali ini, aku harus p
Mike tidak tau harus bagaimana menghadapi tingkah Olivia. Mike mengeluarkan ponselnya, berencana untuk melaporkan pada Albert bahwa Olivia sudah selesai makan malam. Olivia yang melihat Mike akan menelpon, lantas berkata "Kadukan saja pada pria sombong itu, aku tidak takut sama sekali. Kau memang anak buah yang sangat berbakti, Mike." "Itu sudah menjadi tugasku, Nona." Mike membungkuk, kemudian pergi dari ruang makan. Meninggalkan Olivia yang masih menggerutu karena kesal. Akhirnya Olivia kembali ke kamarnya. "Apa yang bisa aku lakukan di sini?" Olivia bertanya pada dirinya sendiri saat sedang berbaring di atas ranjangnya. Layar ponselnya menyala, Olivia menjangkau ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. Panggilan masuk dari sebuah daftar kontak bernama Tristan. Dengan cepat Olivia mengatur posisinya menjadi duduk. Olivia ragu-ragu namun akhirnya menggeser layar ke tombol angkat. "Hallo.. my sweety."
Pagi ini, Olivia bangun lebih awal. Dia ingin memasak sendiri sarapan yang ingin dia makan. Meski para pelayan dan para koki sudah melarangnya, bukan Olivia namanya jika menyerah. Akhirnya para pelayan dan koki hanya mengawasi saja apa yang di lakukan Olivia. Sesekali Olivia akan meminta mereka untuk membantu mengerjakan sesuatu. Jam setengah tujuh pagi, sarapan telah tersaji di meja makan. Olivia sengaja membuat dua piring sarapan. Dia ingin memberikannya untuk Mike sebagai sogokan pagi ini. Ada informasi yang harus dia ketahui dari Mike. Setelah Olivia selesai mandi dan berpakaian rapi, dia kembali turun dan langsung menuju meja makan. Dia duduk dan mencium aroma masakannya sendiri. "Hhmmm.. aromanya sangat menggoda. Masakanku memang selalu tak tertandingi." Ucap Olivia lalu menyuap satu sendok bubur yang terbuat dari tepung beras dan di siram gula merah di atasnya. Aroma pandannya sangat kuat. Hingga Mike pun bisa mencium aroma bubur itu dari
Di dalam jet, saat perjalanan pulang, Albert tak henti-henti menatap jarum yang bergerak di jam tangannya. "Dasar, gadis manja. Kali ini, apa lagi yang membuatnya bertingkah." Albert menggeram pelan, namun kata-kata itu masih terdengar dengan jelas di telinga Lucy. "Siapa yang di maksud oleh Tuan Muda? Itu tidak mungkin Ny. Monic kan? Jika itu Ny. Monic, Tuan tidak akan meninggalkan rapat penting seperti tadi hanya demi menemuinya. Siapa gadis yang Tuan maksud? Aku harus mencari tau informasinya nanti." Lucy begitu penasaran dengan ucapan Albert. Lucy merasa saingannya bertambah satu orang lagi, setelah Monica. Karena cuaca bagus pagi ini, mereka sampai dengan cepat. Seorang sopir sudah menunggu di bandara. "Lucy, kembali lah ke perusahaan menggunakan taxi. Aku akan pulang ke mansion terlebih dahulu." Titah Albert lantas segera masuk ke mobil, tanpa perlu menunggu jawaban dari Lucy. "Pulang ke mansion? Apakah gadis yang Tuan Muda sebut t
Olivia tidak bersemangat lagi hari ini. Bahkan, ia tidak mengikuti satu pun kelasnya hari ini. Olivia merenungi apa saja yang telah terjadi pagi tadi, semua terasa begitu cepat. "Bagaimana dia bisa menganggap itu seakan bukan lah hal yang penting untuk kuketahui?" Olivia berbicara pada bayangannya di cermin. Setelah kejadian menggemparkan pagi tadi, Albert memutuskan untuk kembali ke kantor pusat. Di kantor, para karyawan sudah biasa melihat wajah kaku dan dingin Albert. Meskti tidak pernah dijawab, para pekerja akan tetap menyapa atau memberi hormat saat mereka melihat Albert. "Lucy, apa kau sudah membereskan masalah di London pagi ini? Jangan lupa, beri tau mereka kembali bahwa aku mengundang mereka dalam peresmian cabang hotel yang akan di laksanakan dua hari lagi. Sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi ini, segera kau kirim undangan beserta sebotol anggur tahun 1940." Albert memerintahkan Lucy untuk menyelasaikan urusan itu. "B
Diam-diam, Mike merekam momen itu. Lalu mengirimnya kepada Albert. Semenit kemudian, Albert mengirim pesan. "Untuk apa kau mengirimiku video itu? Aku tidak peduli apa yang di kerjakannya, aku lebih peduli pada dapurku. Jangan sampai dia membuat dapur atau mansionku hancur, Mike." Balasan dari Albert membuat Mike tertawa pelan. "Tuan, aku yakin anda sangat peduli pada Nona Muda. Jika tidak, anda tidak akan mengirimiku pesan seperti ini." Bathin Mike sambil terus memperhatikan gerak gerik Olivia dari kejauahan. "Mike, kemari lah." Panggil Olivia, membuat Mike sedikit terkejut. "I-iya, Nona." Jawabnya gugup. "Kenapa kau hanya berdiri di sana sejak tadi? Apa yang kau pikirkan?" Tanya Olivia saat Mike sudah berada di depannya. "Maaf, Nona. Saya hanya mengawasi anda. Karena dapur adalah salah satu tempat yang berbahaya untuk anda." Ucap Mike, membuat Olivia sedikit heran. "Berbahaya? Bagaimana dapur bisa di sebut berbahaya? Ini hanya tempat