Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.
Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini.
"May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"
Pak Agus mulai menginterogasiku.
Jujur saja aku bingung menjawabnya.
"Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."
Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi.
"Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."
Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setoran.
Pak Eko adalah karyawan baru. Aku bahkan tidak mengenalnya sebelum ini. Sudah barang tentu, aku tidak bisa begitu saja percaya kepadanya.
Berbeda dengan Sasti, Adminku itu sudah bertahun-tahun menjadi andalan Computer Shop. Mana mungkin dia melakukan hal ceroboh? Tidak mungkin juga dia mencuri.
Sasti gadis jujur. Dia juga lembut. Rajin ibadah. Mana mungkin jadi pencuri.
Lalu, selain Sasti, apa ada tersangka cadangan?
"Pak Agus nggak curiga sama Pak Eko?"
Pak Agus terkejut. Matanya menyipit. Bibirnya berkomat-kamit, dahinya berkerut.
Suasana ruang kerja Pak Agus mendadak sangat lengang. Hanya detak jam di dinding yang memenuhi ruangan. Juga mesin pendingin ruangan yang menderu. Menyelimuti kebisuan yang tercipta.
Pikiranku terus mengayuh dalam prasangka.
Pak Agus tampak sedang manggut-manggut.
"Aku nggak berani nyimpulin begitu, May."
"Sama. Aku pun menjaga untuk nggak menyimpulkan. Untuk itu, aku yang ganti."
"Ya, okelah. Semoga ke depan nggak ada begini-begini lagi. Bakal nggak sehat."
Benar. Akan terjadi hubungan tidak sehat apabila di kemudian hari terjadi hal serupa. Akan ada saling sangka.
"Ya, semoga, Pak. Techno bisa hancur digerogoti." Jangan mengira aku berlebihan!
Kujelaskan, apabila ada karyawan yang diam-diam sengaja jadi pencuri, maka sesama teman akan jadi curiga.
"Harus ada sanksi, May. Nggak bisa dibiarkan." Benar, harus ada sanksi. Lalu, bagaimana cara mengungkap pelaku? Menggunakan rekaman CCTV?
"Besok biar kucek rekaman CCTV, Pak."
"Kutunggu hasilnya, May. Tetap bersikap biasa! Jangan sampai mencurigakan!"
Aku mengangguk. Lagi pula, apa tidak salah aku yang dikasih pesan seperti itu? Dasar Pak Agus aneh. Yang mencurigakan itu pelaku, kenapa jadi aku?
Aku meninggalkan kantor pusat, kemudian menuju Computer Shop. Mengendarai mobil dinas kantor, membelah teriknya lautan kendaraan. Deru klakson kendaraan lain memekakkan telinga.
Aku iseng memutar lagu di mobil demi meredam lelah. Sebuah lagu A Thousand Years menamani setiap putaran roda yang membawaku semakin dekat dengan tujuan. Membuaiku sesaat.
Heart beats fast
Colors and promisesHow to be braveHow can I love when I'm afraid to fallBut watching you stand aloneAll of my doubt, suddenly goes away somehowOne step closer
I have died everyday, waiting for you
Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand yearsI'll love you for a thousand moreTime stands still
Beauty in all she isI will be braveI will not let anything, take awayWhat's standing in front of meEvery breath, every hour has come to thisOne step closer
I have died everyday, waiting for you
Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand yearsI'll love you for a thousand moreAnd all along I believed, I would find you
Time has brought your heart to me, I have loved you for a thousand yearsI'll love you for a thousand more....Pikiranku melayang. Membayangkan wajah tampan Lukman. Senyum manisnya yang selalu berhasil membuatku meleleh.
"Aku lama-lama bisa gila kalau begini terus."
Ya, siapa yang tidak gila saat tergila-gila dengan lawan jenis, tetapi tidak lekas berujung? Mungkin, di mata orang-orang yang mengetahui hubunganku dengannya akan berpikir lain. Pasti akan iri.
Mereka melihat dari luar. Bahwa aku yang memiliki pekerjaan bagus, gaji besar, memiliki calon suami—walau belum bertunangan—yang mapan. Toko fesyennya ada di beberapa kota.
"Kita pasti menikah. Segera. Aku janji."
***
"May, dari mana? Dari tadi nggak kelihatan?" tanya Aldi saat aku melintas di depan toko tempatnya bekerja. Aku hanya tersenyum seperti biasa.
Bukan, sekali lagi aku tidak bermaksud sombong. Kali ini aku hanya tidak ingin menarik perhatian siapa pun dengan cara mengobrol dengan kepala toko kompetitorku. Tentu saja, hal itu bisa ditanyakan nanti setelah jam kerja berakhir. Aku yakin Aldi paham.
Dia bukan baru beberapa hari mengenalku.
Dia juga paham sifatku yang tidak suka perhatian dari khalayak. Sangat kontras dengannya yang begitu terlihat bahagia saat mendapatkan perhatian banyak orang. Ya, aku memang sekontras itu dengannya.
Sesampainya di ruanganku, tidak ada seorang pun di sana. Biasanya Sasti tidak pernah meninggalkan ruangan saat sepi. Ya, suasana toko benar-benar sepi. Bahkan, anak-anak marketing sibuk bercengkerama.
"Eh, Bu Maya udah datang ternyata."
"Kamu dari mana, Sas? Pergi-pergi laci dikunci nggak? Jangan sampai kayak kemarin lagi!" Aku memperingatkannya dengan keras.
Dia bilang baru saja ke toilet, kemudian meyakinkanku bahwa laci terkunci.
"Aman, 'kan, Bu? Tenang. Nggak akan lagi."
"Oke."
Aku bergegas menuju kursi di sudut ruangan.
"Bu, tadi Pak Aldi nanyain Bu Maya."
Sasti memberiku informasi, seperti biasa.
"Ya, biarin aja. Dia emang kerajinan." Aku tidak habis pikir, untuk apa dia menanyakanku.
"Pak Aldi itu ganteng banget, ya, Bu?"
Sasti memuji rekan baikku itu.
"Kamu naksir? Nanti saya sampaiin. Gimana?"
Bisa-bisa Aldi kerjanya pacaran. Dia mungkin sekali tidak terlalu mengurusi profit toko. Itu sebuah keuntungan buatku.
Mempunyai pikiran picik macam itu membuatku terkikik sendiri. Sepertinya bagus apabila hal itu benar-benar terjadi. Pelanggannya bisa-bisa lari ke Computer Shop.
Di seberang kursiku, Sasti sedang senyum.
"Naksir, tapi... mana mau Pak Aldinya?"
"Dicoba aja belum. Coba dulu, ya?" rayuku. Biar saja aku jadi comblang mereka.
Rasanya menyenangkan apabila melihat orang yang sedang malu-malu kucing seperti Sasti saat ini.
Benar saja, anak itu masih menatap keluar kaca. Ruanganku itu memang tembus pandang. Bisa memandang ke segala arah, termasuk ke toko seberang.
"Jangan, ah, Bu! Malu. Nanti kalau ditolak—"
"Kalau nggak dicoba mubazir, Sas!"
Anggap saja Aldi itu semacam piza dengan mozarella yang menggoda. Maka, cicipilah! Sadis, ya analogiku?
"Memangnya Pak Aldi makanan, Bu?"
Aku tertawa. Sasti pun ikut terkikik. Lalu, saat mataku mengarah toko seberang, Aldi sedang menatapku.
"Dia memang makanan, semacam piza."
Aku melanjutkan pembicaraan dengan Sasti, meski mata itu menatap tajam.
Aku sengaja balik menatap sambil berbicara.
Akan tetapi, tatapanku terganggu saat lagu All of Me terdengar nyaring di telinga.
What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every
Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk
Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint