Share

Part 2. Merasa Terhina

Chapter 2. Merasa Terhina

Dengan begitu percaya diri, Fahran pun tampak tersenyum manis di hadapannya Buk Sahra—tak mementingkan skandalnya yang telah di duga kuat, sebagai seorang PEBINOR. Ya, memang telah cukup banyak yang tahu soal ini—terlebih ia bukanlah orang biasa. Cuma hanya saja, tak sedikit pula yang menganggap, bahwa Humaira-lah yang telah menggodanya.

Sementara Buk Sahra, kini matanya tampak membulat, mendapati keberadaannya Fahran di sana. Geram, ia benar-benar merasakan hal itu.

Plak!

Suara tamparan pun terdengar, mendarat kuat pada bagian kanan dari wajahnya Fahran.

“Ngapain kamu datang ke sini?! Kamu mau cari Humaira? Humaira nggak ada di sini! Perempuan yang nggak tahu diuntung itu, dia udah pergi dari sini!” inilah kalimat yang sejatinya ditunggu-tunggu oleh Fahran.

Tak peduli akan rasa sakitnya tamparan itu, yang peting baginya, Buk Sahra dan Zayana benar-benar telah terpengaruh, akan segala hal yang telah anak buahnya fitnahkan untuk Humaira, atas perintah darinya.

Dengan mudahnya, Fahran pun kembali mengulas senyumannya. Dia benar-benar licik.

“Mungkin menurut Buk Sahra, saya adalah PEBINOR, sekaligus penyebab dari kecelakaan anaknya Ibuk, tapi apa Ibuk tahu? Ini bukan cuma tentang kejadian itu. Ini semua bermula ... Humaira mulai dekat dan merasa nyaman dengan saya, itu karena Tama yang selalu memposisikan istrinya, sebagai kepentingan yang kedua.

“Selama ini Humaira udah tersiksa. Dia benar-benar udah nggak dianggap lagi sama kalian, hanya karena saya menolong Humaira pada saat itu. Apa saya ... sebagai seorang laki-laki yang baik hati, bisa sampai hati melihat Humaira terjatuh di sana, yang hampir saja kehilangan calon bayinya?” Fahran.

Kali ini, Fahran kembali memanipulasi—hendak membuat pikiran mereka semakin menyatakan, bahwa Humaira memang bukanlah wanita yang baik-baik.

Ia mengatakan hal tersebut, seolah hendak menyisipkan makna, bahwa perhatian yang nyatanya selalu Tama dan keluarganya kasih terhadap Humaira, hal itu sama sekali tidak bermakna bagi seorang Humaira.

“Jadi itu tanggapanmu? Kamu bisa mengatakan hal itu barusan, karena Humaira yang telah menceritakan banyak kepalsuan itu padamu?” Buk Sahra mengatakan hal ini, sembari membuang muka—merasa kebenciannya terhadap Humaira kian semakin memuncak.

Kena sasaran. Benar saja, target manipulasinya seorang Fahran, kini telah terdengar seratus persen berhasil.

Fahran tampak tersenyum tipis. “Apa dia salah? Saya rasa ... dia memang berhak mendapatkan seorang laki-laki yang jauh lebih bisa menerimanya, dan turut menyayanginya dengan sepenuh hati. Saya percaya, Humaira bukanlah wanita yang jahat, dia hanya kehilangan haknya sebagi seorang istri—untuk bisa diperlakukan layaknya seorang ratu, di saat ia tengah mengandung.”

Zayana lekas menyela, tepat setelah ia mendengar kalimat itu darinya. “Ooo, jadi itu maksud kamu?! Jadi itu artinya, kamulah yang telah berhasil membuat Humaira layaknya seorang ratu, di saat dia sedang hamil?! Apa maksudnya dari itu semua?? Kamu seolah ingin mempe-ratu-kannya, padahal kamu bukanlah siapa-siapa dari anak itu?

“Ck! ini sama sekali nggak masuk akal! Apa lagi kalau bukan rasa cinta?!” –ucapannya terhenti sejenak. Ia tampak membuang muka, benar-benar membenci siapa pun yang telah membuat Kakaknya terbaring kaku di dalam sana- “ck! Apa rumor itu benar, bahwa kamulah ayah dari anak yang lagi Humaira kandung?” Zayana melanjutkan kalimatnya.

Sungguh, Fahran merasa terkejut, di saat anak berusia delapan belas tahun layaknya Zayana, ia telah turut menerima kabar rumor ini, mengenai ia dan Humaira.

“Ya ampun, ternyata kabar rumor itu telah jauh menyebar, padahal video-video yang lagi booming itu ... itu hanya mengenai kedekatanku dengan Humaira, di saat Humaira telah mengandung anaknya Tama,” batin Fahran, merasa heran.

Namun yang pasti, keheranan Fahran bukanlah sebagai bentuk dari penyesalannya, melainkan hal ini layaknya babak baru menuju hayalannya, di saat kemungkinan terbesar, bahwa Buk Sahra dan Zayana—mereka akan secara blak-blakan membujuk Tama, untuk lekas menceraikan Humaira—sang tambatan ulung di hatinya itu.

Merasa emosi sebab ucapannya tak digubris, sontak Zayana pun lekas kembali mencengkram lengannya Fahran, tanpa adanya rasa takut. Matanya turut membulat—menancapkan pandangannya hanya pada wajahnya Fahran. “Kenapa? Kenapa cuma diam? Apa rumor itu memang benar?!”

Zayana bertanya dengan kesan memaksa. Sementara Buk Sahra, kini ia telah memegangi tangan sebelah kiri dari putrinya—tak ingin lagi ada keributan. Menurut Buk Sahra kala itu, mungkin makian mereka hanya terkesan sia-sia. Menurutnya pula, tak ada yang perlu dipertanyakan lagi, apalagi sampai diperjuangkan, jika itu mengenai Humaira.

Rasa toleransinya seorang Buk Sahra yang telah selama dua tahun pun telah hilang untuk seorang Humaira yang dulunya telah teramat ia sayangi itu. Ini semua bisa terjadi, sebab perkara fitnah dan juga tentang rumor-rumor yang telah tersebar, akibat kelicikannya seorang Fahran.

“Cukup, Nak. Nggak ada gunanya kita terus-menerus menekannya. Umi rasa, asumsi publik jauh lebih benar, daripada apa yang nantinya akan keluar dari mulutnya. Dia dan Humaira itu sama saja. Mereka adalah pasangan pendusta yang pernah ada!” Buk Sahra berupaya menegaskan kalimatnya itu, berharap Fahran akan mengerti, bahwa tiada lagi image yang baik untuknya dan juga Humaira.

Fahran mendengar hal itu tentunya, bahkan cengkraman dari Zayana pun kembali ia dapatkan. Rasanya sama, perih dan terasa ngilu—membuat tangannya membiru—di balik kemeja lengan panjangnya yang berwarna biru dongker itu.

Ya, ingin sekali ia merintih kala itu. Namun tetap, ini mengenai image dan juga rencananya. Sama halnya dengan rasa sakit itu, sebenarnya ia juga sangat sulit menerima, saat harga dirinya direndahkan, emosinya pun cukup memuncak kala itu, tapi apa yang bisa ia lakukan, di saat keobsesiannya terhadap Humaira telah kian membenak? Ya, tentunya ia akan melakukan apa pun itu, selagi masih ada peluang untuk ia bisa mendapatkan Humaira. Kira-kira seperti inilah yang tengah Fahran pikirkan.

“Ini bukan tentang rasa sakit, tapi ini tentang kisah balas dendam, yang sebentar lagi akan aku mulai! Lihat saja, cengkraman dan hinaan itu sama sekali nggak akan pernah bernilai apa-apa, di saat seorang Fahran Mahendra akan membalaskan dendamnya! Lihat saja nanti! Humaira akan lekas menjadi milikku seutuhnya, dan Tama pasti akan berlutut memohon, meminta Humaira kembali mencintainya!” batin Fahran.

Kini wajahnya tak lagi menampilkan senyuman, melainkan benar-benar datar—menahan banyak hal yang kini tengah ia rasakan.

Dalam hitungan detik setelahnya, Fahran pun memutuskan untuk lekas menyingkirkan tangannya Zayana dari sana, tak peduli lagi apa yang akan mereka pikirkan.

Zayana memang merupakan tipikal anak yang keras kepala, meskipun Buk Sahra telah memberinya pengertian yang telah berhasil membuat Fahran merasa harus membalaskan dendamnya itu barusan, tapi tetap saja, Zayana masih kukuh, menunggu jawaban yang pasti dari seorang pria charming, yang kini masih berada di hadapannya.

Tak hanya sampai di situ, bahkan sangkalan yang kini tengah Fahran lakukan pun seolah tak ia gubris, ia masih saja keras kepala.

Mulanya, Fahran memang hanya menggunakan sedikit tenaganya—tak ingin terburu-buru membuat Zayana terluka. Namun setelah yang ketiga kalinya ia melakukan penyangkalan itu—berusaha untuk bisa menyingkirkan tangan Zayana dari sana, lantas kesabarannya pun telah kian menipis. Dengan tenaga yang sedikit lebih ia kencangkan, akhirnya cengkraman itu pun lekas terlepas, dan tubuh Zayana pun sedikit terdorong sebab hal ini.

Untungnya pada saat itu, Buk Sahra masih berada dekat dengan putrinya, sehingga ia mampu menahan tubuh putrinya—sebelum kemungkinan akan benar terjatuh.

“Aku tersenyum, mengetuk pintu, ingin menjenguk Tama, tapi apa yang telah kalian lakukan?” –Fahran tampak tersenyum, seolah tabah. Namun sejatinya, senyuman itu bukanlah hanya sebatas senyuman, melainkan ada kesan manipulasi di dalamya- “aku sadar ini adalah sebuah penghinaan. Namun ingatlah, semuanya pasti akan berbalik. Bisa saja setelah ini, akan ada sebuah hinaan yang jauh lebih pedih untuk keluaga Dirgantara.

“Tapi ingat, sebuah penghinaan itu tentunya bukan dari keluarga Mahendra, dan pahamilah, bahwa karma itu pasti akan berlaku. Saat ini, aku hanya ingin berterima kasih untuk segala penyambutan ini dari kalian. Kirim salam untuk Tama, bilang padanya, Humaira akan aman hidup bersamaku.” Tanpa ada kesan ragu, Fahran pun mengatakan hal ini di hadapan mereka. Ia mengatakannya dengan turut kembali menampilkan senyuman.

Licik dan sangat pandai memanipulasi, bahkan dengan beraninya Fahran mengatakan, bahwa karma itu pasti akan berlaku, ya itulah dia, Fahran Mahendra. Tak banyak yang tahu soal karakter aslinya ini. ia benar-benar telah lama menjadi idola—membungkus banyak hal buruk yang sejatinya telah sering ia lakukan.

Mendengar hal itu darinya, dan turut melihat senyuman itu darinya, sontak keduanya pun hanya mampu terdiam—benar-benar merasa bingung, dengan apa yang baru saja mereka dengar dan lihat itu barusan.

Sementara Fahran, hanya dalam hitungan detik setelah ia selesai berbicara—turut sejenak melihat ke arah mereka yang tengah terdiam melihat ke arahnya itu, maka ia pun lekas memutuskan untuk berbalik arah—lekas pergi dari sana—berjalan gagah penuh dengan kepercayaan diri.

“Fahran Mahendra nggak akan pernah diam, di saat reputasinya mulai tercemar. Aku tahu, kalau memang akulah yang sangat menginginkan Humaira, tapi yang publik tahu, dan sangat banyak di antara mereka yang telah berpikiran baik tentangku ... ini bukan mengenai suatu rasa yang telah aku miliki untuknya, melainkan ini tentang kemanusiaan, dan Humaira-lah yang telah mengejarku, sebab alasan kemanusiaan yang telah berhasil aku putar balikkan itu di hadapan mereka.

“Bersimpati ... menuntunnya untuk bisa bahagia, hal itu bukanlah tujuan utamaku! Mana mungkin ... mana mungkin aku bisa membiarkan Humaira akan tetap bahagia dengan Tama. Ya! Tujuanku hanya satu, aku hanya ingin memiliki Humaira, bagaimanapun itu caranya, dan apa pun itu resikonya!” batin Fahran—masih merasa yakin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status