Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.
Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana."Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar."A-aww!" pekik Guzel terkejut.Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih."Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya sambil menatap benda itu lekat.Ketika sedang bergelut dengan pikirannya, pintu terbuka lebar diiringi dengan sebuah tanya dari seorang pria dengan suara beratnya."Lara mana? Kenapa dipanggil-panggil tidak ke depan juga?""Hah? Apa?" Guzel terkejut dan menjatuhkan sepatu hak tinggi yang ada di tangannya.Ia menoleh dan manik matanya menangkap sosok pria tampan dengan balutan tuxedo hitam. Auranya sangat dingin dan hanya dengan menatapnya sebentar saja membuat seluruh tubuhnya merinding."La-lara ... Lara belum ke depan?" imbuhnya bertanya."Kalau sudah, kenapa aku datang ke sini?" sanggah pria itu yang diketahui adalah Serkan, calon mempelai pria."Kalau Lara belum ke depan, lalu dia di mana? Atau jangan-jangan ..."Pikiran Guzel melayang jauh di mana putrinya mengancam akan kabur. Kemudian, ia menundukkan kepalanya dan menatap benda yang sepertinya mirip sekali dengan gagang hak tinggi."Apa kau benar-benar kabur, Lara?" batin Guzel bertanya-tanya dengan raut terkejut.Jujur, ia sama sekali tidak berpikir bahwa ancaman yang putrinya lontarkan bukan sekedar ancaman belaka. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, ia akan menahan dan tidak akan pergi ke toilet meski perutnya sakit."Jangan-jangan apa?" tanya Serkan penasaran."Sepertinya Lara kabur," lirih Guzel menatap calon menantunya dengan tatapan kosong."Apa? Kabur? Bagaimana bisa?" tanya Serkan terbelalak.Pria tampan dan mapan itu tidak percaya kalau Dilara kabur di acara pernikahannya. Seharusnya ia yang kabur dan bukan Dilara. Memangnya gadis itu siapa? Sekaya dan secantik apa sampai-sampai berani meninggalkannya?"Sejak kemarin, Lara mengancam akan pergi kalau dipaksa menikah. Dan ternyata--""Cepat ganti bajumu dan kita akan ke altar," potong Serkan dingin sambil menunjuk ke arah gaun yang terpajang di dalam ruangan."A-apa?" Guzel mengangkat kepalanya dan menatap Serkan dengan manik mata membola.Sepertinya ia sudah salah dengar. Bagaimana bisa Serkan memintanya ganti baju dan pergi ke pelaminan bersamanya?"Ganti bajumu dengan gaun itu dan gantikan putrimu menikah denganku," sanggah Serkan tegas.Jangan sampai acara pernikahan gagal dan membuat malu seluruh keluarga. Apalagi tamu undangan yang datang merupakan tamu penting. Bahkan beberapa media pun ikut datang untuk meliput, meski secara sembunyi-sembunyi."Aku? Tidak, aku tidak bisa." Guzel menggelengkan kepalanya kuat-kuat menolak perintah calon menantunya, "A-ku akan menghubungi Lara dulu. Mungkin dia hanya berkeliling area ini saja."Wanita itu berjalan ke arah kursi dengan langkah pincang. Kaki kanan masih memakai sepatu hak tinggi dan kaki kirinya tidak. Ia lekas meraih tas dan merogoh ponsel di dalamnya."Tidak ada waktu. Lebih baik kau ganti baju sekarang," ujar Serkan dingin. Ia menatap kesal Guzel yang tidak bisa membaca situasi.Guzel menatap Serkan dan membujuk, "Sebentar. Beri aku waktu tiga menit. Ah tidak, satu menit saja."Sementara Guzel sibuk menghubungi putrinya, Serkan melangkah masuk. Langkahnya terlihat besar dan pasti. Wajahnya memerah karena menahan amarah."Angkat, Lara, angkat. Mama mohon jangan buat masalah sebesar ini," lirih Guzel.Tepat di samping Guzel, Serkan menghentikan langkahnya. Ia menyentuh lengan wanita itu dan menariknya dengan keras."Aww!" pekik Guzel kesakitan."Aku bilang ganti bajumu." Serkan membentak dengan manik mata yang membola, "Atau kau mau aku yang menggantikan gaun itu untukmu?" imbuhnya berbisik dengan gigi yang saling diadu.Manik mata Guzel terbuka lebar karena terlalu terkejut. Bagaimana bisa Serkan membantunya mengganti baju? Memang pria itu pikir Guzel anak kecil? Terlebih, mereka sepasang pria dan wanita dewasa."Baiklah, kalau memang itu maumu."Serkan semakin mengeratkan pegangan tangannya, bahkan sampai mencengkeram lengan Guzel. Lalu, ia menariknya ke arah gaun di sudut ruangan."Ti-tidak. Bi-biar ak-aku mengganti baju sendiri," kata Guzel sambil menatap Serkan panik.Mendengar ucapan Guzel, sontak Serkan menghentikan langkahnya. Ia menatap calon mertua sekaligus calon istrinya kesal."Kenapa tidak sejak tadi? Buang-buang waktu saja." Serkan menghempaskan tangan Guzel hingga terhuyung.Belum sempat meminta untuk menunggu di luar, Serkan sudah berbalik dan melangkah keluar lebih dulu."Apa memang ini yang kau inginkan, Lara? Baiklah, jika memang ini maumu. Mama akan menggantikanmu menikah dengan Serkan," lirih Guzel sambil menatap gaun pengantin.Wanita itu melangkah maju. Meraih gaun pengantin dan bergegas mengganti baju. Setelah selesai, ia menarik nafas dalam-dalam dan melangkah keluar."Apa kau sudah siap?" tanya Serkan dengan suara beratnya."Tidak," sahut Guzel."Siap tidak siap, kau tetap harus siap." Tatapan mata Serkan bak mata belati. "Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan putrimu. Beraninya dia kabur. Memangnya dia pikir dia siapa?"Sejak tadi, Serkan berusaha menahan emosinya. Namun, mendengar kata tidak keluar dari mulut Guzel membuatnya ingin meledak."Tapi, kenapa tidak orang lain saja? Kenapa harus aku?" tanya Guzel dengan nada mengeluh."Kau itu bodoh atau apa? Sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari pengganti," sahut Serkan kesal.Kalau bisa, ia ingin menolak perjodohan itu. Kalau bisa, ia ingin mencari pengganti yang lain. Namun faktanya, ia diburu waktu dan dengan amat sangat terpaksa, ia harus menikahi calon mertuanya."Lalu, bagaimana dengan kita? Aku tidak mencintaimu dan kau juga tidak mencintaiku," tanya Guzel frustasi. Akhirnya, ia merasakan apa yang putrinya rasakan."Kau pikir, aku mencintai putrimu?" Serkan melotot sambil menggertakkan giginya.Yah. Serkan tidak mencintai Dilara, bahkan sama sekali tidak kenal. Melihatnya meski hanya sekilas saja belum pernah. Jadi, apa bedanya dengan Guzel?"Tapi aku tidak bisa," sungut Guzel frustasi."Aku tidak peduli. Pokoknya sekarang kita harus pergi ke pelaminan," kata Serkan bersikeras.Tidak peduli seberapa keras Guzel menolak, Serkan tidak peduli. Ia meraih tangan Guzel dan lekas berjalan. Tepat di depan karpet merah, Serkan memindahkan tangan Guzel ke lengannya."Lakukan dengan baik dan jangan membuatku marah atau kau akan menyesal," peringat Serkan merasakan pergerakan Guzel seolah ingin melarikan diri."Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti. "Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kat
Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering."Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal."Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan
"Terimakasih, Mas," ujar Guzel setelah berada di depan rumahnya."Tunggu!" cegah Serkan ketika sang istri hendak turun."Ada apa?" tanya Guzel sambil mengerutkan keningnya.Setengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari keduanya. Namun tiba-tiba, Serkan menghentikan Guzel Ketika bersiap untuk turun. Apa ia perlu membayar jasa antar?"Apa perlu aku temani?" Serkan terlihat salah tingkah. "Maksud aku, apa kau tidak memintaku untuk mampir sebentar?"Semalam, ia meminta sekretarisnya untuk mencari informasi pribadi Guzel. Namun sampai keesokan harinya, ia belum juga mendapatkan informasi apa pun. Berhubung ia sangat penasaran dengan sosok Dilara. Jadi, ia berencana untuk mampir sebentar. Hal itu ia lakukan karena ingin tahu seperti apa sosok gadis itu, sampai-sampai pergi meninggalkannya di tengah pelaminan."Sebenarnya aku ingin, tapi kau ada rapat penting sebentar lagi," balas Guzel ragu."Tidak masalah. Aku bisa menundanya sekitar tiga puluh menit. Itu,
"Ada apa? Kenapa kau datang ke sini?" tanya Serkan terkejut. Baru saja menyelesaikan rapat dan hendak kembali ke ruangannya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan keberadaan Guzel di depan pintu lift, tepat di depan matanya."Aku membawakan ini sebagai ucapan terimakasihku," sahut Guzel sambil mengangkat rantang di tangan kanannya.Pandangan mata Serkan bergerak menatap rantang itu. Kemudian, ia melangkah keluar melewati istrinya."Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Aku melakukan itu hanya demi kemanusiaan saja," balas Serkan datar.Ucapannya terdengar seperti pria itu akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada orang lain. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia melakukan itu hanya untuk Guzel dan untuk yang pertama kalinya seumur hidup. Meskipun demikian, Guzel tidak merasa kecewa sama sekali. Mungkin karena wanita itu belum ada perasaan apa pun pada Serkan."Tidak apa-apa. Memasak adalah hobiku dan ini sama sekali tidak merepotkan." Guzel berbalik dan mengikuti Serkan ma
Manik mata Serkan terbelalak sambil menahan nafas. Seumur-umur, ia belum pernah yang namanya berciuman. Bahkan sekedar berpacaran saja belum pernah. Tidakkah kalian penasaran dengan apa yang Serkan rasakan saat ini?Entah sudah berapa lama mereka berdua berada dalam posisi itu. Jarum panjang jam dinding terus bergerak memutar. Dan tiba-tiba, Guzel menggeliat melepaskan tangannya dan meringkuk."Ini tidak enak," lirihnya dengan manik mata yang masih terpejam sempurna.Mendengar hal itu, manik mata Serkan membola karena terkejut. "Apa kau bilang?" geram pria itu.Bagaimana bisa Guzel berkata seperti itu setelah merenggut ciuman pertama Serkan? Hal itu membuat sang empu tidak terima dan marah. Lihat saja, wajah yang memerah, gigi yang saling dieratkan, dan tangan yang terkepal kuat."Sial!" umpat Serkan kesal. Ia beranjak berdiri dan menyugar rambutnya ke belakang.Andai saat ini Guzel tidak sedang tidur. Mungkin Serkan sudah membuat pembalasan telak. Entah itu dengan sebuah kecupan men
Dengan nafas yang terengah-engah, Serkan menjauhkan kepalanya. Manik mata berkabutnya menatap bibir Guzel yang membengkak. Rasanya, masih sangat kurang untuk berhenti. Rasanya ingin lagi dan lagi sampai merasa puas."Sial! Aku harus apa sekarang?" umpat Serkan kesal.Ia kebingungan harus berbuat apa sementara sisi liarnya sudah bangkit dari keabadian. Padahal seharusnya, ia menahan diri dan tidak melakukan banyak kecupan. Cukup hanya sekali kecupan dan bukannya masalah sampai ke tiga kecupan. Sekarang, ia sendiri yang terkena batunya karena tidak bisa menahan diri lagi."Sekali lagi. Yah, sekali lagi. Aku janji hanya akan melakukan satu kali lagi. Setelah ini, aku akan pergi tidur," kata Serkan setelah nafasnya teratur.Ia pikir, ia bisa tidur setelah sisi liarnya bangun. Padahal, semakin ia melakukannya lagi. Mak, sisi liarnya akan meminta lebih untuk memuaskan diri. Namun sayangnya, pria itu terlalu bodoh untuk memahami dirinya sendiri."Satu, dua, tiga." Dalam hitungan detik, ia k
Pertanyaan yang Guzel ajukan membuat Serkan menyesali keputusannya untuk memaksa sang istri berbicara. Kalau tahu akan menimbulkan pertanyaan sesulit itu, ia akan memilih untuk diam."A-aku ...." Serkan terlihat kebingungan harus menjawab apa. Untuk sesaat, ia terdiam memikirkan jawaban apa yang masuk akal dan tidak membuat Guzel curiga, "I-itu ... anu."Itu, anu apa?" tanya Guzel mengerutkan keningnya.Bagaimana bisa pria sedingin Serkan bisa salah tingkah dan gelagapan seperti itu?"Aku mengambil selimut untuk menyelimuti tubuhmu dan kau malah menendang-nendang. Jadi aku berencana untuk menyelimutimu lagi, tapi keburu kau bangun," imbuhnya menjelaskan. Bukan menjelaskan, tetapi lebih tepatnya berbohong."Benarkah?" Guzel nampak kurang percaya."Iya, seperti itu," balas Serkan tersenyum canggung.Dalam hati, ia berharap bahwa Guzel akan mempercayai ucapannya dan berhenti mencurigainya. Serkan juga ingin malam itu cepat berlalu agar Guzel tidak menanyakan hal lainnya lagi."Baiklah. S
Serkan langsung membalikkan tubuhnya melihat Guzel sedang membersihkan diri. Beruntung, kaca itu buram dan ia tidak bisa melihat dengan jelas bagian tubuh Guzel."Kenapa, sih, Guzel hobi sekali membuatku kesal?" keluhnya sambil mengeratkan gigi. Sebenarnya bukan membuat Serkan kesal, tetapi membuat sisi liarnya menegang.Seharusnya, kalau masuk ke dalam kamar mandi, entah hanya sekedar mencuci tangan atau menggosok gigi, baiknya mengunci pintu terlebih dahulu. Jangan asal masuk saja dan membuat orang lain kesulitan. Sama seperti apa yang Serkan rasakan saat ini."Sepertinya aku harus buru-buru keluar sebelum ketahuan." Serkan mengangkat kaki kanannya hendak melangkah.Bertepatan dengan Serkan yang hendak melangkah keluar, Guzel berteriak, "Hei, yang ada di sana!"Sontak, Serkan menghentikan langkahnya dan membeku. Raut wajahnya terlihat sangat tidak enak karena terpergok. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya secara perlahan."Yang ada di sini. Semua ikut bernyanyi," lanjut Guzel.Ternyat
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa