Sialan!Gangguan dan kejahilan Vynno kini lebih baik daripada menemukan pemandangan seperti ini.Richard tidak tahu, apa yang membuatnya begitu terpaku dan tak bergerak saat Luna semakin mendekatkan wajah wanita itu ke wajahnya dan menempelkan bibir mereka. Mungkin perasaan iba, atau setidaknya ia ingin Luna merasa lega karena wanita itu akhirnya mengungkapkan apa yang selama bertahun-tahun ini dipendam?Richard dan Luna menoleh mendengar kesiap dan gerakan lain yang tak jauh dari tempatnya dan Luna berdiri. Richard semakin terkejut, melihat Zaffya berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka. Ekspresi terkejut Zaffya tidak kalah jauh dengan miliknya ataupun Luna.Butuh beberapa detik bagi mereka untuk terlepas dari suasana mencengangkan tersebut. Penuh ketegangan dan tali yang membentang di antara mereka siap terputus. Sampai akhirnya, kebekuan tersebut terpecah ketika Luna menunduk, merasa malu melihat ekpsresi Richard dan Zaffya. Tak menunggu sedetik lebih lama, Luna berbalik dan b
Richard mengurut keningnya dua kali sebelum berdiri dan menghadapi Zaffya. Duduk di samping wanita itu setelah mendaratkan kecupan ringannya di bibir."Ada apa?" Pertanyaan Zaffya menahan Richard untuk tak melakukan hanya sekedar kecupan ringan di bibir. "Mama akan menemui kita."Mata Zaffya melebar dan mengulang, "Mamamu?"Richard mengangguk. "Sekarang mama mertuamu.""Kapan?""Belum pasti, tapi dalam waktu dekat.""Lalu?""Lalu?" Richard balik bertanya."Apa yang harus kupersiapkan? Apa yang harus kulakukan?""Zaff!" Richard memegang kedua bahu Zaffya dengan kepanikan yang mulai muncul. "Bukankah kau sudah pernah bertemu dengan mamaku sebelumnya?""Ya, dengan kesan buruk yang mungkin masih membekas di ingatannya." Zaffya mengetuk-ngetukkan telunjuknya di paha. Menyalurkan kegugupan yang mulai merayapi hatinya. Ya, pertemuan terakhirnya dengan mama Richard bukanlah hal yang bagus untuk diingat. Belum dengan hal buruk yang dilakukan mamanya pada Richard, pasti mama Richard mengetahui
"Aku merasa sedih dengan tuan Dewa. Bukankah seharusnya mereka pergi berbulan madu? Bukannya muncul di rumah sakit dan berpapasan dengan tuan Dewa." Tania menggerutu pada sopir yang berdiri menunggu di sampingnya. "Aku bahkan merasa sangat sedih dengan kakaknya yang malah menginginkan perpisahan ini. Bukankah ini bisa dikatakan sebagai pengkhianatan persaudaraan?""Ssttt ... sebaiknya kau diam. Jika tuan Dewa mendengarnya, kau ..." sopir itu terpaku. Menyadari kehadiran Dewa dan ikut terpaku sepertinya, tapi dengan alasan yang berbeda."Kakakku?" Dewa merasakan nyeri mencekik lehernya ketika suara serak itu keluar dari bibirnya. "Apa kak Raka tahu mengenai ini semua?"***Satu pukulan telak menghantam wajah Raka tepat di hidungnya. Tubuh pria itu terpelanting di lantai dan jeritan keras Monica Sagara menggema di seluruh penjuru ruang tengah.Dewa seperti kesetanan. Matanya yang merah membutakan hubungan persaudaraan yang terjalin sejak lahir."Dewa!" Monica berusaha menjauhkan tubuh D
"Jadi, apa kak Raka tidak bisa ikut makan malam dengan kak Rich?" Dania menutup pintu apartemen dengan ponsel yang tertempel di telinga. Tas pink dan gaun malamnya yang berwarna pastel, sangat cocok dengan penampilannya yang ceria."..."Bibir Dania mengerucut kecewa. "Hmm, baiklah. Semoga cepat sembuh.""...""Selamat malam, Kak Raka." Tepat ketika Dania memutus panggilan, ia tersentak dan tubuhnya mundur ke belakang. Terkejut menemukan sosok yang tengah berdiri dengan kepala tertunduk dan bersandar di dinding. Rambut yang acak-acakan, dua kancing kemeja yang tak terkait dan keluar dari celananya, jas dan dasi yang entah ada di mana. Ditambah darah yang sudah mengering tampak begitu jelas melumuri jemari di tangan kanan. Dania tak berani mempertanyakan apa yang sudah tangan itu lakukan karena tatapan dingin Dewa lebih mengerikan. Penampilan pria itu lebih mengejutkannya seperti keberadaan pria itu di depan apartemen Dania."Dewa?" Dania berusaha terlihat tenang dengan aura dingin Dew
Richard mulai gelisah. Dania tidak menepati janji seperti biasa. Adiknya itu tidak datang di makan malam yang mereka janjikan. Hanya sekali panggilannya masuk tapi tidak diangkat, setelahnya nomor Dania bahkan tak bisa dihubungi.Hingga pagi ini pun, nomer Dania masih tidak aktif. Mungkinkah adiknya itu sakit? Terlalu sibuk dengan tugas kuliah hingga tidak memiliki waktu semenit pun untuk menghubunginya? Padahal, selama ini Danialah yang selalu cerewet untuk komunikasi keluarga yang tidak lancar karena kesibukan Richard sebagai seorang dokter. Panggilan tak terjawab belasan kali dari Dania yang masuk ke ponselnya bukanlah hal yang aneh. Bahkan sangat aneh jika sampai nomor Dania tidak bisa dihubungi seperti ini.Tadi malam. Richard berpikir baterai ponsel Dania habis, tapi seharusnya pagi ini sudah bisa dihubungi, bukan?"Apakah masih tidak ada kabar dari adikmu?"Richard mengangguk lesu. Rambutnya yang acak-acakan masih basah karena belum sempat ia keringkan."Kita bisa mengunjungi a
"Mau ke mana kau?" Dewa menghalangi pintu ketika bersamaan Dania akan keluar dari kamarnya. Sudah rapi dengan gaun kuning muda dan tas yang sewarna."Bukan urusanmu," ketus Dania sambil mendorong tubuh Dewa minggir. Namun, tubuh pria itu tak bergerak satu senti pun."Kau sudah menjadi seorang istri. Tidak baik seorang gadis sekaligus istri berjalan-jalan saat hari mulai malam tanpa ditemani suami.""Kita hanya menikah, Dewa. Bukan mencampur adukkan hidupku dengan hidupmu. Apalagi saling ikut campur urusan masing-masing."Tatapan Dewa menajam. Penentangan Dania membuat amarahnya tersulut, tapi ia teringat rencananya. Seketika wajahnya melembut dan tersenyum lembut. "Apa kauingin makan malam di rumah kakakmu?"Dania tersentak kaget. Bagaimana Dewa bisa tahu?"Apa kau tidak ingin memperkenalkanku pada kakakmu?"***"Zaf, apa kau sudah menghubungi mamamu?" Ryffa tak membutuhkan sapaan Zaffya ketika panggilan mereka langsung tersambung."Aku akan menyiapkan meja makan." Richard berjalan ke
"Apa kau puas sekarang?" Dania bertanya sinis ketika mereka baru saja keluar dari lift dalam keheningan sejak meninggalkan apartemen kakaknya.Dewa tak menjawab. Kalimat Zaffya masih bergaung dan suara-suara dalam kepalanya meneriakkan kata pengecut pada dirinya. Apakah dia puas setelah membuat Zaffya dan Richard merasakan penderitaan yang ia dapatkan? Sejujurnya ia tak puas, dan ia tahu ia tak akan pernah puas."Kuharap kau puas, Dewa." Dania melangkah mendahului Dewa. Ia tak ingin pulang dan harus menghabiskan waktu dalam ruangan yang sama dengan Dewa. Ia butuh waktu untuk sendiri.Dewa terpaku memandang punggung Dania. Kemarahan dan rasa bersalah yang bergulat dalam hatinya masih belum menemukan pemenangnya. Yang ia tahu hanyalah kesesakan dalam dadanya sama sekali tak berkurang. Malah semakin sempit dan lebih menghimpit dari sebelumnya.****Zaffya ingin menangis, tapi air mata sialannya tak ingin keluar meskipun hanya sekedar melonggarkan gumpalan besar di tenggorokannya. Richard
Dania terbangun karena panas sinar matahari yang menerpa wajahnya. Di antara tubuhnya yang terasa berat, ia mencoba melihat jam di dinding. Lebih satu jam dari seharusnya ia bangun sesuai rutinitasnya. Dengan ketelanjangannya di balik selimut, ia berusaha bangun melepaskan lengan Dewa yang melingkari perutnya."Tetaplah di sini?" Dewa kembali melingkarkan lengannya di perut Dania. Merapatkan tubuh mereka."Aku harus pergi kuliah." Dania beralasan."Aku juga harus pergi ke kantor." Suara Dewa terbenam bantal. "Tapi aku masih menginginkan istriku di ranjang."Dania memilih mengalah. Membiarkan Dewa memeluknya hingga napas pria itu kembali teratur dan terlelap lagi.Semalam, Dewa mengambil apa pun yang bisa diambil darinya. Merenggutnya dengan cara yang tak pernah Dania bayangkan. Menyakiti, tapi terkadang melembut. Lebih banyak sengaja menyakiti dirinya. Kemarahan pria itu pada semua orang diluapkan jadi satu padanya. Setidaknya ia bisa menghalau semua kemurkaan Dewa hanya padanya. Meli