"Liatin apa kamu Ndre?" tanya Kinanti pada Andreas sembari membawa nampan berisi beberapa gelas sirup dingin dan sepiring bolu coklat.
"Cuma liatin foto kamu, soalnya aku sepertinya ada kenal satu." Andreas tetap bergeming sembari memandang foto lawas yang menempel pada dinding ruang tamu rumah Kinanti.
"Itu fotoku pas masih kecil, pas di kampung, rumah asli bapak. Gak mungkin lah kamu ada kenal, mereka semua saudara-saudaraku."
"Kayaknya cuma perasaan aku aja deh." Andreas berbalik kemudian melangkah menuju sofa di mana Kinanti dan Agung, tunangan Kinanti, sedang duduk.
"Minum dulu, Ndre!" pinta Agung.
"Kuy lah, kita bahas kerjaan aja! Move on
"Dre, makan siang bareng kami, yuk!" ajak Kinanti pada Andreas seraya meletakkan setumpuk map berisi berkas laporan administrasi perusahaan di atas meja kerja Andreas.Andreas yang sedari tadi menunduk karena sedang memeriksa beberapa laporan lain yang datang sebelum ini, mendongakkan kepala memandang Kinanti kemudian menjawab, "Oke, aku kelarin ini dulu. Tunggu lima menit, entar aku keluar.""Oke, kita tunggu di parkiran saja, ya? Pakai mobil mas Agung saja! Biar simpel," Andreas mengangguk mengiyakan. Kinanti beranjak meninggalkan ruangan Andreas menuju ruangan AgungTak berapa lama berselang, Andreas keluar dari ruangannya kemudian melongok ke dalam ruangan Agung, di mana Kinanti juga sedang berada di sana."Ayo,
Liana berdiri di depan cermin rias, memandangi bayangannya sendiri yang memantul dari sana. Sebuah gamis kasual berwarna kuning pastel yang dipadukan dengan hijab warna senada. Sebuah tuspin mutiara sederhana disematkan pada hijab cantiknya yang makin mempermanis penampilan. Ditatapnya bayangan di depan cermin itu sambil tersenyum sendiri.'Cantik juga aku,' batinnya. Lalu sejurus kemudian diketuk sendiri keningnya dengan kepalan telapak tangannya tiga kali sambil sedikit menggeleng berusaha menyadarkan dirinya dari kesombongan kecil yang barusan dilakukannya. Dia merasa malu sendiri mengamati sikapnya akhir-akhir ini."Ah, apa-apaan aku ini? Memalukan sekali," gumamnya seraya tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan lainnya.Sore ini, seperti biasa, perte
Narendra Surya Atmaja, lelaki paruh baya berbaju batik itu, melangkah setelah sebelumnya menunggu sang istri agar mereka berjalan beriringan bersama. Sang putra, yang tak lain adalah Andreas Surya Atmaja, berjalan mengikuti keduanya di belakang. Sebuah gurat senyum ramah tersungging pada wajah sepasang suami istri tersebut, sembari tatap mata mereka menyapa Sanusi yang masih diam terpaku penuh tanya. Bahkan, botol yang terjatuh dari tangan putrinya pun tak membuat ayah Liana itu terkejut."Assalamualaikum." Narendra berucap salam kepada Sanusi sambil kedua tangannya mengisyaratkan sebuah jabat tangan perkenalan."Waalaikum Salam." Sanusi menjawab sambil mengernyitkan dahi dan menerima uluran tangan Narendra seraya membungkukkan punggungnya khas ramah tamah orang Jawa, kemudian bertanya, "Cari siapa ya, Pak?"
Sudah dua jam berlalu, tapi keluarga Nadendra belum juga pamit untuk pulang, bahkan sepertinya mereka begitu kerasan berada di rumah Sanusi, sang calon besan. Terdengar suara tawa bersahutan dari kedua pasang suami istri paruh baya itu. Sementara Liana makin gusar saja di ruang tengah sembari menguping pembicaraan mereka yang bahkan kini tak membahas tentang dirinya sama sekali."Bisa-bisanya bapak akrab sama pak Narendra. Gak nyadar apa anak gadis kesayangannya ini lagi bosen dan sebel banget?" gumam Liana sembari tanpa sadar dirinya merobek-robek kertas koran yang tergeletak begitu saja di ruang tengah.Sementara di luar, ada tiga orang remaja tanggung belasan tahun yang menatap kagum terhadap sebuah mobil yang tengah terparkir di pinggir jalan di depan rumah Sanusi itu. Salah satunya adalah Dimas, adik Liana.
Sanusi dan Suyatmi melangkah masuk rumah seketika mobil Narendra menghilang di pertigaan yang terletak di sebelah timur rumah mereka. Sementara Liana sudah lebih dulu masuk sejak Narendra membalikkan tubuhnya melangkah ke arah mobil mereka.Kini Liana sedang duduk dengan kaki menjuntai di bibir ranjang. Berulang kali dia menghela nafas dalam-dalam menahan amarah. Teringat kembali kejadian dua pekan lalu, saat dia membalas pesan Andreas dengan cukup kasar, menurutnya. Tapi, Andreas malah datang melamarnya hari ini.Sejurus kemudian Liana mencari ponsel yang sejak pagi dibiarkan tergeletak saja di atas ranjang, sebab dia sibuk menguping pembicaraan kedua orang tuanya dengan keluarga Narendra. Diusapnya layar ponsel, kemudian terlihat ada notifikasi chat dari sebuah aplikasi hijau. Dia membuka aplikasi itu, yang ternyata sebuah chat dari Jun, pujaan hatinya.Belum sempat Liana membuka chat itu, tiba-tiba terdengar pintu kamar yang diketuk dari lua
Mentari pagi mengintip malu dari persembunyiannya, menimbulkan semburat jingga indah arunika dari ufuk timur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, membangunkan penduduk kampung Delima agar segera beraktifitas di Senin pagi yang cerah ini. Namun, cerahnya hari, tak seperti hati Liana yang sedang diliputi kabut kekecewaan akibat kejadian kemarin dan kenyataan bahwa hari ini dia tak akan bisa bertemu dengan Jun.Liana berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi di depan teras rumahnya, menunggu Sanusi mengeluarkan motor dari dalam rumah. Sebuah motor bebek empat tak kesayangannya, yang telah membantu berbagai pekerjaan maupun keperluan lainnya. Sementara Dimas, dia telah berangkat terlebih dahulu, kira-kira dua puluh menit yang lalu mengendarai sepeda BMXnya. Seperti biasa, siswa SMP kelas dua itu berangkat sekolah bersama teman-temannya."Ayo, Nduk, kita berangk
Sebuah ruangan berukuran sembilan meter persegi, di mana di dalamnya terdapat sebuah whiteboard bertuliskan data kegiatan bulanan kampung Delima, seorang lelaki berperawakan langsing sedang duduk berkutat dengan tumpukan kertas yang tercecer di atas meja yang tepat berada di hadapannya. Dia adalah Ahmad Junaedi. Seorang pemuda kampung yang begitu aktif dalam berbagai kegiatan pemuda di beberapa desa sekecamatan Duku, dan salah satunya adalah kampung Delima. Dia adalah pembimbing berbagai kegiatan kepemudaan di kampung itu. Terlihat sesekali Jun, panggilan akrabnya, membenahi posisi peci putihnya yang beberapa kali terlihat miring, sambil terus berkutat dengan berbagai laporan dan catatan kegiatan karang taruna para pemuda di kampung itu, hingga kemudian konsentrasinya terpecah oleh sebuah notifikasi pesan chat dari ponsel yang tergeletak begitu saja di sebelah tumpukan kertas yang sedang diperiksanya. Diperiksanya
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di