Akhirnya Nafa meninggalkan Tian setelah mereka saling bersalaman.Setelah sosok Nafa benar-benar sudah keluar, Tian segera menelepon Anwar yang menjabat sebagai staf divisi personalia.“Ke ruangan saya sebentar.”Tak lama Anwar datang dan langsung duduk di kursi yang tadi di duduki Nafa.“Ada apa?”Jika di depan rekan kerja, mereka sangat profesional selayaknya atasan dan bawahan. Tetapi jika sedang berdua, mereka biasa saja selayaknya teman pada umumnya.“Nafa resign.” Tian memijit keningnya sambil memejamkan mata. “What? Resign, nggak becanda, kan? Kamu?”“Ck. Ya nggak lah. Nih, surat pengunduran dirinya.”Anwar memeriksa surat tersebut. Sekaligus undangan yang tadi diberikan Nafa pada Tian.“Astaga. Patah hati banget gue. Sia-sia memendam cinta bertahun-tahun,” lirih Anwar yang masih memandangi surat undangan berwarna merah hati tersebut.“Jadi Lo suka sama Nafa?” tanya Tian yang memang tidak tahu soal itu. Sebab Anwar tidak pernah mengatakan apa pun. Juga tidak pernah menunjukkan
"Loh, tumben tuan sudah pulang jam segini, seharusnya masih dua jam lagi,” seru bi Ira saat samar-samar mendengar deru mobil Tian berhenti di garasi.Agni yang sedang membantu bi Ira membereskan peralatan masak pun ikut melihat ke arah luar meski tidak akan nampak karena mereka sedang berada di dapur.Benar saja, Tian masuk dengan langkah tergesa. Dia langsung menuju dapur membuat Agni dan bi Ira menganga. Pasalnya napas Tian seperti orang habis berlari berkilo-kilo meter.Tanpa berkata apa-apa Tian langsung menarik tangan Agni dan membawa istrinya itu masuk ke dalam kamar.Tek! Pintu langsung dikunci oleh Tian. Agni yang masih syok hanya bisa diam saja sambil mengedipkan mata beberapa kali. Tian sedikit berbeda dari biasanya.Tian mendekati Agni perlahan. Sementara wanita itu mundur hingga tubuhnya terduduk di ranjang.Tian langsung mencium Agni dengan kasar. Dia sudah dibakar nafsu karena melihat Desy yang begitu seksi di kantor tadi. Dan dia ingin melampiaskan hal itu pada istri s
Sebulan telah berlalu. Tian terus berusaha mengerti bahwa Agni belum bisa menerimanya sebagai suami. Jangan tanya bagaimana dia melampiaskan hasrat biologisnya. Dia punya cara sendiri meski Agni belum juga mau menyerahkan diri.Suasana hati Tian sedang baik hari ini. Agni memasak masakan kesukaannya untuk sarapan. Juga membawakannya bekal, Agni juga tidak marah ketika dia mengecup keningnya sebagai tanda pamit pergi. Hal itu baginya sebuah tanda bahwa Agni sudah mulai membuka hati. Mungkin benar kata Damar dia hanya perlu bersabar sebentar lagi.Suara ketukan di pintu membuatnya menatap benda persegi panjang tersebut.“Masuk!”Desy masuk dengan membawa beberapa berkas yang perlu untuk Tian tandatangani.Sepertinya Desy suka sekali memakai dres atau kemeja dengan warna cerah dan berbahan tipis. Meski sudah jadi pemandangan sehari-hari. Tetapi tetap saja Tian selalu berdebar setiap melihat lekuk depan dan belakang Desy yang menggiurkan.“Bagaimana rencana rancangan untuk mall terbaru?”
"Makasih nasihatnya, Bro. Gue akan jaga jarak sama Karina mulai sekarang.”“Bagus. Ya udah gue cabut dulu. Tuh, temen-temen lain udah pada dateng.”Axel mengacungkan ibu jari ganda setuju.“Kan, mau ke mana, Lo? Kita dateng Lo malah pergi,” teriak Johan saat Arkan akan meninggalkan studio mereka.“Gue mau ke toko. Ana barusan menelepon ada pelanggan baru yang agak rewel. Oke gue cabut dulu ya?” teriaknya seraya mengangkat satu tangan.Ana adalah salah satu pegawai di toko baju milik Arkan yang paling dia percaya. Bulan ini Arkan membuka cabang baru yang dilengkapi dengan sepatu, jam tangan dan tas. Tapi masih tetap khusus fashion untuk laki-laki. Jadi dia harus berhadapan dengan para pelanggan baru yang kadang tingkah dan permintaannya aneh-aneh. Membuat Ana, Fika dan Oliv sedikit kelabakan.Sengaja dia memindahkan Ana ke cabang agar bisa mengajari Fika dan Oliv sebagai pegawai baru. Sedangkan di toko pusat ada Mira dan Penti. Ditambah satu pegawai baru bernama Esti.*Arkan sudah tib
Setelah Tian pergi, Arkan memeriksa penjualan seminggu ini. Ternyata untuk toko yang baru buka, pendapatan mereka sudah sangat besar. Itu terkuat dari cacatan yang diserahkan Ana. Banyak stok barang yang habis terjual. Bahkan Ana sudah memesan sebagian barang kepada grosir atau rumah fashion tempat langganan mereka memesan barang. Hal itu memang sudah diajarkan oleh Arkan sejak pertama kali Ana kerja bersamanya. Gadis berjilbab itu cepat tangkap dan gesit. Mungkin kemajuan toko Arkan salah satunya karena Ana. Jadi Arkan tidak segan-segan memberi gaji tinggi pada Ana.Setelah semua beres, Arkan berniat kembali ke studio musik. Dia pamit pada Ana, Fika dan Oliv. Kemudian bergegas melajukan mobil. Dia sangat mendukung teman-temannya yang sedang merintis grub band bergenre pop bernama d’Star. Nama tersebut dipilih secara bersamaan. Makna bintang karena punya lima sudut sedang ada satu titik di tengahnya. Mereka berlima, sedangkan Arkan ada di tengah karena selalu mendukung mereka.Jangan
“Iya, aku naik taksi aja nggak apa-apa, kok.”Meski tidak pernah naik taksi sebelumnya, tetapi asal bersama Axel tidak apa. Sayangnya jawaban Axel selanjutnya membuat harapan tipis itu kembali terempas. “Aku mau ke rumah Arkan. Ada sesuatu yang mau kami bicarakan. Jadi kamu pulang sendiri aja, ya? Biar aku pesankan taksi.”Axel segera mengetik sesuatu di ponselnya. Memesan taksi tanpa persetujuan Karina. Gadis itu hanya menunduk kecewa. Dia tidak mungkin memaksa untuk ikut Axel ke rumah Arkan.Akhirnya Karina pulang dengan taksi yang sudah datang. “Hati-hati,” ucap Axel datar.Karina hanya menjawab dengan anggukan kepala. Setelah itu taksi melaju mengantarkan Karina pulang. Axel merogoh ponsel di tas. Mengetik satu nama untuk ditelepon.“Jo, Lo udah sampe rumah?” ternyata Axel menelepon Johan. Kebetulan rumah Johan yang paling dekat dengan rumahnya. Dia berniat menumpang pada pria bermata sipit tersebut.“Belum, Xel. Gue baru ngisi bahan bakar, kenapa?” tanya Johan.“Jemput gue.”“K
Dari kejauhan Johan sudah cengar-cengir melihat Axel dengan raut wajah kesal. Setelah sampai tepat di depan Axel, Johan makin melebarkan senyumannya. “Lo kemana aja sih ah elah, capek tau gak nunggunya.” Axel kesal sembari memukul kepala Johan yang berbalut helm bogo tanpa kaca itu dengan koran yang tadi ia pegang.“Eh, Lo kan tau gue punya penyakit ....” “Lambung.” Datar dan aneh Axel melihat Johan. “Jadi gue harus rajin ma ....”“Kan,” sambungnya lagi. “Biar enggak sakit-sakit la ....”“Giiiii!” Axel teriak kepada Johan, kesal melihatnya di perlakukan seperti anak kecil.“Gue bukan anak TK ya?” Axel sambil memukul lagi kepala Johan dengan koran. “Lagian kenapa Lo gak telepon gue, bilang kalau Lo lagi makan, jadi gue gak berharap buat di jemput sama Lo.” Axel kesal. Pembicaraan mereka berhenti sebentar karena Axel menarik nafas.“Ya udah, gue pulang aja Lo juga gak berharap di jemput gue, kan?” kata Johan dengan nada marah yang ke kanan-kanakan. “Ya gak gitu juga, Lo kan udah d
Setelah mengatakan kata-kata itu dia langsung beranjak ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Agni yang tak habis pikir pun ikut beranjak dengan wajah datar dan pikiran kosong. Saat Agni lupa memberitahukan sesuatu ke Tian, Agni langsung kembali lagi ke kamar mereka.“Tian, nanti kalau udah siap mandi turun makan ya, aku mau masak,” tutur Agni dengan sedikit teriak karena posisi Tian yang sedang di kamar mandi. “Iya!” suara Tian dari dalam kamar mandi. “Kopi?” tanya balik Agni. “Bawa turun!” suara Tian kembali menguar dari dalam. Terdengar datar, tapi Agni tidak memperdulikan karena memang Agni tidak punya perasaan apapun dengannya.Agni langsung mengambil secangkir kopi itu dan membawa kopi itu turun bersamanya. Sampai di meja makan dia menaruh cangkir itu di meja tepat di tempat Tian akan duduk saat makan nanti. Agni kembali ke aktivitas memasaknya yang tadi sempat tertunda karena kepulangan Tian. Saat kembali ke dapur dia mendapati Bi Ira yang sedang memotong sayuran,