Share

Bab 2 Pernikahan

Setelah batal kabur, Alisya dimarahi habis-habisan oleh sang ayah karena sempat berniat kabur. Lalu ia diberi hukuman tidak boleh keluar rumah sampai hari pernikahan. Alisya bahkan sudah terlalu lelah untuk membela diri dan jujur saja, ucapan Tasya sangat menggangunya. Sialnya anak itu terus memberikan senyuman mengejek sambil berkata padanya untuk bertanya langsung pada ayah mereka.

Walau mungkin bisa saja Tasya sengaja membohonginya untuk membuatnya terganggu, tapi Alisya juga tak memiliki nyali untuk menanyakan hal semacam itu pada sang ayah. Atau mungkin ia juga takut untuk menerima jawaban di luar prediksinya. Ini melelahkan. Bahkan pikiran Alisya lebih banyak tersita karena memikirkan hal ini dibandingkan pernikahannya. Hingga tahu-tahu saja hari pernikahannya tiba.

"Gimana? Udah siap?"

Itu suara Mama Jihan yang bertanya kepada penata riasnya. Alisya menatap wajahnya yang terlihat pasrah di depan cermin. Ia didandani begitu cantik, tapi Alisya bisa melihat matanya terlihat kosong. Sampai hari ini ia belum melihat calon suaminya. Bahkan saat lamaran kemarin, hanya perwakilan keluarga yang datang karena calon pengantin prianya sedang berada di luar negeri karena jadwalnya tidak bisa diganggu gugat sama sekali. Aneh sekali.

"Cantik banget Alisya," puji Mama Jihan, berdiri di belakangnya sambil menyentuh bahu Alisya.

Diam-diam Alisya menggigit bibir dalamnya, rasanya ingin menangis dan berlari pergi. Tapi tubuhnya sudah terlanjur lemas. Mama Jihan sepertinya memahami perasaannya. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahunya dan berbisik lembut di telinganya.

"Gak apa, Sayang. Semuanya akan baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, kamu boleh ngomong apapun ke Mama. Anak Mama baik kok. Mama jamin."

Suaranya terdengar tulus dan entah kenapa itu sedikit meringankan beban hati Alisya. Sedikit. Tapi kemudian mood-nya malah menjadi lebih buruk saat Tasya ikut masuk ke dalam ruangan sambil menggandeng seseorang yang sangat dikenal Alisya. Arka Syailendra Widjaya, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hati Alisya. Hubungan mereka awalnya mulus, tapi entah kenapa beberapa kerikil kecil mulai mengganggu hingga mereka putus tepat sebelum ujian kelulusan sekolah.

"Calon pengantin wanitanya cantik banget kan, Arka?"

Pujian semanis madu dari Tasya itu adalah sebuah ejekan terselubung di telinga Alisya. Jelas-jelas si ular licik ini hanya ingin merusak suasana hatinya. Apalagi dengan santainya gadis itu menggandeng lengan Arka di depan matanya. Entah sejak kapan mereka sedekat ini. Arka hanya menatapnya dengan raut kaku dan sorot mata dingin, membuat Alisya refleks membuang muka.

"Selamat atas pernikahannya," kata Arka, terasa begitu menusuk di relung hati Alisya.

"Makasih," jawab Alisya denga lesu. Keinginan untuk kabur itu kembali menggelora di dadanya. Kabur dan meninggalkan seluruh hal menjengkelkan dalam hidupnya.

Tapi itu tak pernah terjadi karena selanjutnya ia dibantu keluar oleh Mama Jihan untuk bersiap menghadapi prosesi sakral pernikahan. Setelah itu, Alisya seolah tak merasakan dirinya lagi. Seolah separuh jiwanya keluar dan kini tubuhnya adalah raga tanpa jiwa yang dibawa kesana kemari bak boneka oleh orang-orang di sekitarnya. Begitu hampa. Keinginan untuk menangis pun sudah tiada.

"Pengantin prianya sudah datang," pekik seseorang, membuat Alisya kembali pada kenyataan dan mau tak mau merasa heran karena pengantin prianya baru datang di detik-detik terakhir. Dan akhirnya, untuk pertama kalinya Alisya bertemu dengan calon suami yang sepuluh tahun lebih tua darinya.

Pria itu bertubuh jangkung dengan setelan hitam berjalan pelan masuk ke dalam. Takut-takut Alisya melihat wajah pria itu yang rupanya juga sedang balik menatapnya. Alisya meremas gaunnya tak nyaman, tak peduli gaun itu akan kusut atau apa. Raut wajahnya yang terlalu tegas itu membuat Alisya takut, ditambah sorot matanya yang begitu tajam. Orang itu adalah sosok yang akan menjadi suaminya sebentar lagi.

Tahu-tahu saja di jari manisnya sudah tersemat tanda sahnya pernikahan. Alisya sedang dibantu beberapa orang untuk melepaskan aksesoris yang ada di gaun dan rambutnya. Lalu ia dipinta membersihkan diri di kamar mandi. Tapi bukannya mandi, Alisya malah menangis sejadi-jadinya begitu ia masuk ke kamar mandi. Entah untuk berapa lama, akhirnya ia mulai lega karena sudah mengeluarkan segala isi hatinya melalui tangisan. Barulah setelah itu Alisya benar-benar mandi.

Kemudian Alisya memakai pakaian yang sudah disiapkan. Kali ini Mama Jihan yang membantunya bersiap-siap. Sang mertua memberikan beberapa wejangan sekaligus memberitahu Alisya bahwa setelah ini Alisya akan tinggal di apartemen Fabian, sang suami. Bahkan Alisya baru mengetahui nama suaminya adalah Fabian saat pernikahan. Rasanya aneh sekali karena saat ini statusnya sudah berubah menjadi seorang istri.

"Sayang, langsung hubungi Mama kalau ada apa-apa ya," pesan Mama Jihan sebelum meninggalkan Alisya sendirian di apartemen yang akan ia tempati.

Kata Mama Jihan, anak sulungnya itu memang sengaja pisah rumah dan tinggal di apartemen ini demi mobilitas pekerjaannya. Apartemennya cukup luas dan sangat strategis dengan latar ibukota yang sibuk. Pasti mahal. Tadi Mama Jihan mengajaknya berkeliling sebentar dan membantunya menyusun barang ke sebuah kamar luas yang Alisya tebak adalah kamar Fabian. Tapi dari selesai pernikahan sampai saat ini, Fabian belum menunjukkan batang hidungnya. Entah dimana orang yang disebut suaminya itu.

Entah ini justru bagus atau buruk, Alisya memutuskan untuk memakan makanan kecil yang untungnya bisa masuk ke tenggorokannya. Nafsu makannya tak terlalu bagus, jadi ia hanya makan sedikit-sedikit. Setidaknya ia ingat pesan ibunya yang menyuruhnya makan teratur. Satu-satunya penyemangat dalam hidupnya saat ia merasa terpuruk. Hingga pukul sembilan malam, Fabian belum datang juga ke apartemen ini. Alisya walaupun ragu-ragu untuk tidur di ranjangnya, akhirnya merebahkan diri karena kelelahan.

Alisya bermimpi seperti berada di sebuah tempat, tapi saat ia berjalan kakinya tak bisa menapak hingga ia terjatuh. Mimpi jatuh itu membuatnya refleks terbangun dan dilihatnya sosok asing sedang duduk di pinggiran ranjangnya sambil menatapnya. Untuk beberapa saat otak Alisya masih memproses hal yang sedang terjadi. Ia lalu tersadar dan,

"Aaaaaa!!" pekik gadis itu sambil beranjak duduk dan menyilangkan tangan ke depan dada.

Fabian yang terkejut melihat reaksi gadis itu langsung meletakkan telunjuknya ke depan bibir dengan ekspresi kesal. "Berisik!"

Teriakan Alisya terhenti, tapi ia masih menatap Fabian dengan waspada. "Om mau ngapain?!"

Kening Fabian berkerut. "Om? Kamu panggil saya Om?"

"M-maaf, Pak," cicit Alisya dengan bibir bergetar.

Fabian menghela nafas. "Memangnya saya setua itu?"

"Maaf," lirih Alisya, meringis karena bingung dan juga panik. "Tapi saya benar-benar gak siap."

"Memangnya kamu pikir saya mau ngapain? Saya juga gak tertarik sama anak kecil," dengus Fabian sambil mengambil sesuatu yang ada di balik bantal yang ditiduri Alisya. Sebuah kunci.

Pandangan Alisya mengikuti gerakan Fabian. "Kunci?" cicitnya tanpa sadar.

"Iya, saya mau ngambil kunci ruang kerja saya yang kamu tiduri," sahut Fabian, setengah galak sambil menunjukkan kunci itu ke depan hidung Alisya. Lalu ia menghela nafas dan beranjak pergi sambil menggerutu kecil, "Bisa-bisanya Mama nikahin aku sama anak kecil."

Brak. Pintu kamar ditutup dari luar oleh Fabian. Mau tak mau Alisya merasa lega dan langsung menurunkan kedua tangannya. Tadi ia pikir Fabian akan macam-macam, tapi rupanya ia salah paham dan malah membuat Fabian kesal. Apa ia harus minta maaf? Entahlah. Alisya memutuskan untuk kembali tidur dan memikirkan persoalan ini besok saja. Ia masih butuh untuk mengumpulkan energi yang sudah terkuras hari ini.

Paginya, Alisya baru sadar bahwa Fabian semalam memilih tidak tidur di kamar. Ia buru-buru mencuci muka dan menggosok gigi sebelum keluar kamar untuk meminta maaf pada Fabian. Ia benar-benar tak enak karena sudah salam paham dan membuat Fabian kesal. Rupanya Fabian sedang berada di dapur dan membuat kopi di mesin kopi instan. Fabian menoleh saat Alisya masuk ke dapur, tapi tetap berkonsentrasi membuat sarapan pagi kesukaannya, kopi pahit dan roti panggang.

"P-pagi," sapa Alisya, ragu-ragu.

"Eum," angguk Fabian, sebenarnya agak bingung harus membalas apa.

"Saya harus apa?" tanya Alisya dengan nada polos.

Fabian sontak menoleh dan menatap ekspresi Alisya yang begitu polos. Ternyata dia benar-benar masih kecil, pikirnya.

"Kamu boleh duduk aja."

"Baik, Pak," angguk Alisya, lalu menarik kursi meja makan dan duduk di sana.

Fabian kembali mendesah, lalu memanggang dua roti lagi untuk Alisya. Setelah selesai ia membawanya ke meja makan dan meletakkannya ke hadapan Alisya. Daripada istri, Fabian lebih seperti mendapatkan seorang anak untuk diurus. "Makan," titahnya sambil ikut duduk di hadapan Alisya.

"Makasih, Pak," kata Alisya, memperhatikan rotinya yang terpanggang sempurna.

"Sampai kapan kamu mau panggil saya 'Pak'?" tegur Fabian.

"Eh, maaf," cicit Alisya, tidak tahu bahwa itu sapaan yang tidak sopan. "Eum, Tuan?"

Rasanya Fabian ingin menjedotkan kepalanya ke meja. "Apa kamu gak terpikirkan panggilan yang normal? Atau kamu memang berniat menjadi pembantu saya?"

Alisya menatap Fabian bingung.

"Kakak atau Mas, gitu?" sambung Fabian. "Saya pikir saya belum terlalu tua untuk panggilan itu."

"Oh, eh, Mas?"

"Itu lebih baik," angguk Fabian, merasa lebih tenang. "Kamu Alisya, kan?"

"Iya, Mas?"

"Kamu kuliah?"

Alisya terdiam sejenak, lalu menjawab, "Nggak, Mas. Saya kemarin di luar negeri."

"Saya biasanya kerja dari pagi sampai malam, jadi mungkin kamu akan lebih sering sendirian di rumah. Petugas kebersihan cuma akan datang seminggu sekali," jelas Fabian. "Kamu mau terus di apartemen?"

Alisya tersadar. Betul juga, ia saat ini tak memiliki kegiatan apapun di Indonesia dan sekarang belum waktunya penerimaan mahasiswa baru untuk kuliah. Tapi memangnya apa yang akan ia lakukan di luar sana?

"Saya gak tau harus ngapain, tapi mungkin nanti saya pengen kuliah," jawab Alisya dengan nada pelan.

Fabian mengangguk-angguk. "Ambil kursus aja untuk ujian masuk kuliah."

"Oh, itu juga boleh," sahut Alisya, tapi kemudian tersadar ia tak punya banyak tabungan. Mana perhiasannya masih tertinggal di rumah.

"Saya akan minta sekretaris saya carikan tempat bimbel yang cocok di dekat sini," kata Fabian, menandaskan roti dan kopinya. "Nah, saya harus siap-siap berangkat kerja sekarang."

Setelah itu Alisya ditinggal sendirian di meja makan. Alisya memutuskan untuk mencari sesuatu di kulkas sebagai makanan tambahan. Kulkasnya penuh, ia mengambil apel, susu dan sereal. Fabian ternyata tak seburuk yang Alisya kira. Dia cukup baik, bahkan mencarikan tempat bimbel tanpa Alisya minta. Oh ya, tadi Alisya sampai lupa untuk minta maaf atas kesalahpahaman semalam.

"Nanti kalau ada yang datang, bilang kalo kamu itu adik sepupu saya."

Suara Fabian mengejutkan Alisya yang mulutnya sedang penuh dengan sereal. Karena sulit bicara, jadi Alisya hanya mengangguk-angguk saja. Saat Fabian pergi, Alisya baru merasa heran dengan ucapan Fabian. Kenapa harus mengaku sebagai adik sepupu?

Tapi kemudian ia tak terlalu memikirkannya lagi karena sibuk mencuci piring dan membereskan barang-barangnya yang kemarin belum sempat dibereskan semua. Usai mandi, bel apartemen berbunyi dan Alisya yang sedang mengeringkan rambut, terpaksa menguncir rambutnya ke atas agar tidak terlihat terlalu berantakan. Ketika pintu dibuka, ia mendapati seorang perempuan sekitar 30-an ke atas yang memakai kacamata hitam besar dengan pakaian yang juga mencolok sedang berdiri di depan pintu. Alisya bengong sesaat.

"Cari siapa?" tanyanya, refleks.

Wanita itu sedikit menurunkan kacamatanya sedikit, lalu berdehem ringan. "Keponakannya Mas Bian?"

Alisya ingat disuruh mengaku sebagai sepupu. "Adik sepupunya."

"Oh iya, maksud saya itu," balas wanita itu, mengibaskan rambut ikalnya yang tertata rapi seperti peer panjang berjuntai-juntai yang diikat setengah. Lalu ia mengulurkan tangan pada Alisya. "Perkenalkan, saya Clara Bella, sekretaris Mas Bian."

"Oh, saya Alisya," balas Alisya, menerima uluran tangan sang sekretaris.

"Boleh saya masuk?"

"Boleh, boleh. Silahkan," kata Alisya, memberikan jalan agar Clara bisa masuk. "Mau minum apa?"

"Oh, gak usah. Saya sebentar aja kok," kata Clara, dengan santainya duduk di sofa ruang tamu apartemen. "Oh ya, panggil saya Kak Clara," imbuhnya.

"Ada apa ya, Kak Clara?" tanya Alisya, ikut duduk di sebelah Clara.

Clara melepas kacamatanya sambil tersenyum-senyum genit. Jujur saja, wajah dan sikap tubuhnya mengingatkan Alisya pada tokoh sinetron masa kecilnya yang sering berperan sebagai pembantu genit tapi konyol.

"Kebetulan saya disuruh Mas Bian untuk mencarikan Adik Alisya tempat bimbel. Biasanya Mas Bian kalau butuh apa-apa, pasti minta bantuan pada saya."

Alisya ber-oh ria.

"Sebenarnya kami memang dekat," imbuhnya, dengan nada berbisik malu-malu. Lalu ia terkikik sendiri. "Saya jadi maluu."

Alisya tak tahu harus menanggapi apa, kenapa dia malah curhat?

"Bimbelnya?"

"Oh ya, betul. Bimbel," sahutnya, lalu mulai membuka tasnya yang seperti koper kecil. Ia mengeluarkan setumpuk kertas yang sepertinya brosur bimbel. "Nah, ini brosur-brosur dari bimbel terkenal yang ada di dekat sini. Dik Alisya bisa baca-baca dulu, nanti tinggal ngomong ke saya mau pilih yang mana."

Alisya mengangguk-angguk sambil menerima tumpukan brosur itu. Tempat bimbelnya tak asing dan terkenal cukup mahal di ibukota.

"Oh ya, ini titipan Mas Bian," ujar Clara memberikan sebuah kartu kredit dari bank ternama di Indonesia. "Katanya pakai ini dulu. Kartu kredit untuk Dik Alisya belum saya urus."

"Oh iya, makasih banyak."

"Oke, kalau gitu saya ke bank dulu. Oh ya, kalo ada apa-apa hubungi kak Clara ya," ujarnya, memasang kacamata hitamnya lagi sambil tersenyum-senyum, lalu mendekatkan diri pada Alisya dan berbisik, "Siapa tau kita jadi keluarga nanti."

Alisya cuma mengangguk saja sambil terbengong-bengong melihat Clara yang cengengesan dengan sikap genit. Bahkan ia sampai terpukau saat Clara meninggalkan apartemen dengan langkah percaya diri. Baru kali ini Alisya bertemu dengan seseorang yang begitu percaya diri seperti itu. Usianya terlihat lebih tua dari Fabian, Alisya jadi ingat semalam Fabian mengatakan bahwa ia tak tertarik pada anak kecil. Apa mungkin Fabian tertarik pada wanita yang lebih tua?

Alisya mengangkat bahu, lalu memutuskan untuk masuk ke kamar dan melihat-lihat brosur yang ia dapat. Saat asyik memilah-milah, tak sengaja ujung jarinya tergores ujung brosur yang tajam. Alisya mendesah saat melihat darah yang mulai merembes, lalu ia mencari-cari sesuatu untuk menghentikan darahnya. Tapi saat membuka laci, ia terpaku pada pigura seorang wanita cantik yang sedang tersenyum manis. Alisya malah mengambil foto itu.

"Alisya?"

Prang! Alisya terkejut dan malah tak sengaja menjatuhkan pigura itu.

"Ngapain kamu?!" pekik Fabian, terkejut melihat bingkai apa yang dijatuhkan oleh Alisya.

"Maaf, Mas," ringis Alisya.

"Saya tanya kamu ngapain?!" bentak Fabian.

Alisya kaget karena Fabian terlihat marah sekali. "Saya gak sengaja..."

"Keluar!" usir Fabian, melotot pada Alisya. "Cepat keluar!"

Diusir seperti itu, nyali Alisya benar-benar ciut. Dengan tubuh gemetar karena takut, Alisya memundurkan langkah hingga berbalik pergi. Lalu ia ingat jarinya yang terluka. Ia buru-buru pergi ke dapur untuk membersihkan noda darah dan untungnya ia ingat di dapur juga ada tisu yang bisa ia pakai untuk menahan darahnya sampai berhenti keluar. Alisya merutuki diri sendiri, harusnya sejak awal ia langsung pergi ke dapur saja. Tapi, kenapa Fabian semarah itu? Memangnya siapa wanita di foto itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status