Share

MD5. Bantet dan Bontot

Menikah karena ketidaksengajaan masih membuat Jin dan Yola canggung. Mereka harus beradaptasi antara satu dengan yang lainnya. Karena sebelumnya, mereka sama sekali tidak saling mengenal. Bertemu pun dengan cara tidak sengaja dan melalui banyak drama. Bertemu hari itu juga dan langsung menikah.

Belum genap sehari tinggal di rumah Jin si "pinky boy" alias kang wor wet hensem, Yola sudah mulai ketularan aneh. Apalagi kedua adik Herjinot yang benar-benar gesrek. Si Jimmy gesreknya tidak ketulungan. Sedang si Juki adik Jin yang paling bontot lumayan lah agak normal walaupun dia juga rada-rada aneh. Yang benar-benar normal adalah Bibi Im pelayan sepuh di situ.

Herjinot tidur telentang di samping istrinya, Yola.

"Siapa laki-laki tadi?" tanya Jin.

"Hah? Laki-laki yang mana?" Yola balik bertanya.

"Laki-laki itu loh," balas Jin sambil memajukan bibirnya beberapa senti.

"Kalau bicara itu tidak usah setengah-setengah, muter-muter seperti kitiran alias kipas angin bikin pusing tahu." Yola melempar bantal ke muka Jin

"Hais ... main lempar-lempar bantal. Wajar kan kalau aku tanya, aku ini suamimu, Saodah," cicit Jin kesel.

"Saodah ... Saodah ... enak sekali kau manggil nama orang seenak jidatmu yang lebar itu. Namaku Yola. Yola Asmara, jelas." Yola bangkit dari ranjang.

"Mau ke mana kau?" tanya Jin menarik tangan Yola hingga tubuh Yola jatuh lagi ke ranjang.

"Apa-apaan sih? Jangan main tarik tangan orang seenaknya." Yola bangkit lagi dari ranjangnya.

"Orang kalau disuruh menemani suaminya tiduk harus mau, pamali. Mau jadi istri durhaka, ya?" Herjinot ngedumel.

"Tidur? Masih sore kali, Jamaludin." Tangan Yola menunjuk jam yang menempel di dinding.

"Kau juga asal manggil nama orang seenaknya. Namaku Herjinot Adiwangsa bukan Jamaludin," balasnya kesal.

"Kau sendiri yang duluan manggil nama orang sembarangan. Sana keluar dari kamar. Kau membuat kamar menjadi sumpek." Yola mendorong Jin ke luar dari kamar.

"Eh, ini kan kamarku, kenapa kau malah mengusirku," protes Jin.

"Aku mau ganti baju," ucap Yola.

"Memangnya kau datang ke sini bawa baju?" tanya Jin.

"Eh?" Yola bengong. "Aku pinjam bajumu dulu ya," imbuhnya.

"Enak saja. Bajuku mahal-mahal," protes Jin.

"Pelit amat sih sama istri sendiri. Amat saja tidak pelit sama orang lain," sindir Yola.

Hais ... siapa lagi itu yang namanya Amat?" Jin menjitak kepala Yola.

"Aauw ...." Yola membalas memukul lengan Jin.

Plaaakk!!

"Berani sekali kau memukul suamimu ini. Aku tidak jadi meminjami baju," ujar Jin.

"Eh ... jangan. Nanti jika aku tidak ganti baju terus gatal-gatal bagaimana?" Yola mengelus-elus lengan Jin.

"Pakai baju ini." Jin menyodorkan baju warna putih.

"Aku pinjam celana dalam juga," lanjut Yola.

"Pakai yang ini saja!" Jin mengambil semvak warna pink. Yola melirik Jin dengan lirikan dongkol. "Kenapa kau melirik ku?" Jin memandang dengan heran.

"Aku tidak mau pakai ini!" protes Yola lagi dan dia melemparkan semvak itu kembali ke arah Jin.

"Kalau kau tidak mau memakai semvak ini, ya sudah tidak usah memakai celana dalam biar inyis. Biar nanti malam aku tidak susah payah untuk melepaskan celana dala. Biar aku bisa langsung masukin anaconda ku." Jin tersenyum nakal memancing muka savage sang istri.

"Hiiss ... sini berikan padaku!" Yola merebut semvak warna pink dari tangan Jin. "Ada beha tidak?" tanya Yola lagi.

"Kau ini aneh. Aku ini pria, mana ada pria memakai beha!" Jin mulai sewot.

"Masa aku tidak memakai beha, mana bajunya warna putih lagi," keluh Yola merentangkan semvak warna merah muda.

"Baguslah. Lebih baik gunung kembar mu itu tidak usah memakai beha biar gemandul." Jin tersenyum smirk.

"Dasar mesum. Punya suami kenapa otaknya ngeres seperti ini sih. Jika gunung Bromo ku tidak memakai kacamata terus jika aku turun ke lantai bawah, adik-adikmu melihatnya bagaimana coba?" Yola melirik Jin.

"Enak saja, aku sleding mereka berdua nanti." Jin terdiam. "Terus bagaimana?" lanjutnya bertanya.

"Sana pergi ke pasar. Kau harus membelikan ku celana dalam dan beha,"perintah Yola menyuruh kang wor wer hensem pergi ke pasar.

"Enak saja kau menyuruhku pergi ke pasar, nanti jatuh reputasi ku sebagai pria ter-wor wet hensem!" tegas Jin.

"Ah ... sabodoh teuing! Terserah kau mau beli di mana. Jika kau ingin anaconda mu masuk sarang, kau harus menuruti kata-kataku. Jika tidak mau, nanti malam tidak akan aku kasih jatah anaconda mu itu!" ancam Yola.

"Eh, iya ... iya. Aku pergi ke pasar sekarang." Jin mengerucutkan bibirnya. "Awas saja jika nanti malam kau mengulur-ulur waktu lagi," ancam Jin balik.

💘💘💘

Di lantai bawah, Jimmy dan Juki sedang asyik main ular tangga.

"Kak Jin di mana?" tanya si bontot.

"Sepertinya ada di kamar. Mungkin sedang berduaan dengan istrinya. Istrinya Kak Jin cantik." Jimmy menjawab pertanyaan Juki.

"Istri? Memangnya kapan Kak Jin menikah? Kok aku tidak tahu sama sekali?" tanya Juki lagi.

"Ah ... kau ini banyak tanya. Aku pun baru tahu tadi siang." Jimmy mulai bermain curang.

"Hei ... kau main curang!" protes Juki.

"Enak saja. Siapa yang curang?" Jimmy tidak mau mengalah.

"Kau ini harusnya mengalah sama adikmu yang paling bontot ini." Juki mulai panas.

"Enak saja. Kau yang harus mengalah, aku kan yang paling bantet," imbuh Jimmy.

"Bantet kok bangga." Juki merebut dadu dari tangan Jimmy.

"Bantet ... bantet begini, kita lahir dari perut emak yang sama," balas Jimmy.

"Kenapa sih anak nomor dua selalu aneh?" ledek Juki.

"Memangnya di sini anak yang nomor dua siapa?" tanya Jimmy.

"Ya elu lah," jawab Juki.

Mulailah mereka berdebat karena hal kecil. Sudah hal biasa mereka berdua selalu bertengkar dan menjadikan rumah pink sangat ramai.

"Kalian berdua meributkan apa sih? Jika kalian berdua ribut rumah sudah seperti pasar bebek." Jin menuruni anak tangga.

"Tukimin nih Kak, tidak mau mengalah sama aku. Aturan aku ini anak paling bontot." Juki mengadu pada Jin.

"Hei ... Marjuki, tubuhmu sama tubuhku tinggian tubuhmu, jadi kau yang harus mengalah." Jimmy berusaha membela diri.

"Dimana-mana yang namanya Kakak itu harus mengalah pada adiknya yang paling bontot. Kau ini memang aneh," cela Juki.

Mereka berdua adu mulut lagi.

"Sudah ... jangan ribut lagi. Juki, kau harus mengalah pada si bantet," ujar Jin.

"Hei ... Kak Jin kenapa jadi ikut-ikutan manggil bantet!" protes Jimmy.

"Di sini yang paling bantet kan elu!" ledek Juki.

"Hiisss ... ini cacing kermi mancing emosi mulu!" balas Jimmy.

"Diam lu kutil, ngajak gelut terus!" Juki menggulung lengan bajunya.

Plaakk!!!

Plaakk!!!

Jin menabok kepala kedua bocah itu.

"Sudah dibilang jangan ribut. Aku mau pergi dulu. Tuh jagain kakak ipar kalian, jangan sampai kabur." Jin berjalan keluar rumah.

"Kabur?" Mereka berdua menjawab serentak. Jimmy dan Juki saling pandang.

"Memangnya Kak Jin mau pergi ke mana?" teriak Juki.

"Mau beli semvak dan beha," jawab Jin yang akhirnya hilang ditelan pintu.

"Kenapa Kak Jin beli beha?" Jimmy dan Juki saling pandang dan menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kau lupa ya, kita kan sekarang punya kakak ipar," jawab Jimmy.

"Aku belum pernah bertemu kakak ipar?" Juki mendongak ke lantai dua. Keduanya terdiam sesaat dan ... mulailah keributan lagi.

"Di rumah ini yang aneh tuh bukan aku," ujar Jimmy.

"Terus siapa?" tanya Juki.

"Kak Jin lah," celetuk Jimmy.

Juki menjitak kepala Jimmy.

"Kenapa kau menjitak kepalaku?" Jimmy memegang kepalanya.

"Kau mau di sleding Kak Jin apa?" kata Juki.

"Ah ... dia tidak mungkin mendengarkan, kecuali jika kau yang mengadu." Jimmy tertawa.

"Lucu juga tidak, kenapa kau ketawa? Dasar sarap!" ledek Juki.

Pertengkaran kecil pun terjadi lagi di antara Jimmy dan Juki.

💘💘💘

"Selamat datang, Tuan. Tuan ingin beli apa?" tanya si penjual.

"Hmm ... anu itu ... aku mau beli beha," jawab Jin malu-malu.

"Beha?" tanya penjual heran. "Berapa ukuran behanya?" tanya sang penjual lagi.

"Hah? Ukuran? Aku tidak tahu ukurannya. Aku kan seorang lelaki," ucap Jin.

"Jika anda laki-lak, kenapa kau beli beha?" tanya si penjual. "Atau jangan-jangan kau punya pekerjaan sampingan jika malam hari, ya?" si penjual makin curiga.

"Hiiisssss ... aku beli beha untuk istriku," ucap Jin galak.

"Oooo ... bundar. Jika begitu berapa ukurannya?" lagi-lagi si penjual bertanya.

"Aku tidak tahu berapa ukurannya. Bungkus saja semuanya. Sekalian sama semvak dan celana dalam." Jin mulai ngegas.

"Haiisss ... dasar pria aneh, masa sama istri sendiri ukuran beha tidak tahu," celetuk nenek-nenek yang ada di samping Jin.

Jin yang mendengar celotehan nenek-nenek itu hanya memasang muka manyun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status