Share

Mendadak Miskin
Mendadak Miskin
Penulis: Gilva Afnida

Ide Gila

Suara tawa terdengar menggema di ruang santai milik pria berambut coklat bernama Liam. Tangannya menepuk keras bahu kawannya yang bernama Rafa-duduk di sampingnya. Rafa tak menggubris Liam yang masih tertawa bahagia di atas penderitaannya. Wajahnya masih bertekuk masam sambil memandang malas ke arah TV yang masih menampilkan acara pacuan kuda.

"Kau sudah janji padaku, Rafa. Esok aku ingin kau sudah menjadi gelandangan di jalanan," ujar Liam.

"Berisik!" jawabnya sambil beralih dari tempatnya duduk.

"Eh! Mau kemana?" Liam membuntuti kawannya yang enggan untuk menjawab.

Ternyata Rafa hanya menuju ke arah dapur, mengambil soda kaleng dingin yang berada di dalam kulkas dan meminumnya, berharap dapat mendinginkan kepala dan hatinya yang mulai panas. "Bagaimana kalau hukumannya ku ganti dengan saham perusahaan 10%? Bukankah itu terdengar lebih menggiurkan?"

Liam menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tubuhnya menyender di kulkas besar miliknya sambil menatap Rafa dengan tatapan mengejek. "Kenapa diganti? Takut?"

"Apa? Tidak mungkin! Seorang Rafa dikatakan takut hanya karena menjalankan hukumannya? Cuih." Rafa membuat gerakan ludah ke lantai.

"Terus, kenapa minta diganti?"

"Realistis saja, Liam. Kalau aku menjadi gelandangan, siapa yang akan mengurus perusahaan, hah?"

"Itu mudah. Aku akan memberikan satu drama menarik untukmu. Kau umumkan pada orang-orang bahwa aku telah berkhianat merebut perusahaanmu, lalu kau dapat melihat siapa kawan dan siapa lawan."

Ucapan Liam membuat Rafa tersedak soda yang sedang ditenggaknya hingga terbatuk-batuk. "Kau gila?"

"Ya! Aku memang gila. Gila karena berkali-kali aku memberitahu betapa busuknya istri yang kau banggakan itu, tapi nyatanya otak udangmu itu telah dipenuhi oleh cinta buta."

Amarah mulai membuncah dalam dada. Dia tak terima istrinya yang paling cantik dan ia banggakan di fitnah oleh Liam. "Sialan kau, Liam! Pekerjaan Pevita adalah selebgram dan model papan atas! Jadi sudah sewajarnya jika ia dekat dengan pria-pria lain di luar sana."

Liam mendengus tak percaya. "Dan kau percaya padanya setelah kau sudah mengetahui itu semua?"

"Ya! Aku percaya, karena hubungan mereka tidak lebih dari rekan kerja." Rafa lebih percaya dengan istri yang sangat disayanginya.

Liam sekali lagi tertawa, lalu menatap Rafa dengan tatapan mengejek. "Bagaimana kalau hubungan mereka lebih dari sekedar rekan kerja?"

Ucapan Liam membuat Rafa tertohok. Tapi secepat mungkin ia menepis segala perasaan buruk tentang Pevita. "Gak mungkin! Pevita adalah wanita yang baik."

"Lakukan saja hukumanmu, Rafa. Jika Pevita memang tidak sebusuk yang kau kira, maka aku berjanji tidak akan pernah ikut campur dengan segala permasalahan asmaramu lagi," tukas Liam membuat negosiasi. Bagaimanapun caranya, dia harus membuat Rafa tersadar dari cinta buta yang mampu menenggelamkan hidupnya.

"Oke!" Rafa membuang kaleng bekas soda yang sudah habis isinya ke dalam sampah. Lalu beranjak dari apartemen Liam dengan menyambar kasar jaket denimnya.

Liam hanya menghela napas panjang ketika sudah melihat supercar ferrari California milik Rafa dari balik jendela kaca besar apartemennya, pergi menjauh. Dia masih teringat ucapan ibu angkat sekaligus ibu kandung Rafa yang memintanya untuk menjaga Rafa setelah kepergiannya. "Mama tahu kalau permintaan mama terlalu berat untukmu, Liam. Tapi mama yakin kalau kau pasti bisa melakukannya. Hanya satu hal yang mama minta darimu, tolong jaga Rafa layaknya saudara kandungmu dari segala hal bahaya. Bukan dari bahaya rampok ataupun kemalingan, tapi dari bahaya kecerobohan dan kebodohan yang selalu dilakukan tanpa disadarinya."

Pria berkulit kuning langsat, berusia 33 tahun itu memang jauh lebih dewasa di banding Rafa meskipun usia mereka sama. Tumbuh bersama selama belasan tahun membuat Liam mengerti, bahwa uang dan kekuasaan dapat membutakan segalanya. Rafa memang pria yang pandai berbisnis dan mempunyai hoki di dalamnya. Tapi tidak dengan lingkungan yang penuh toxic di sekitarnya. Liam merasa harus membuka paksa mata bodoh Rafa yang tidak bisa melihat jelas siapa kawan dan siapa lawan yang sebenarnya.

***

Sesampainya di penthouse mewah dua lantai, Rafa mendengus kesal ketika hanya mendapati seorang asisten pribadi bernama Diba yang sudah melayaninya sejak kecil. Diba sendiri terheran mendapati majikannya yang pulang jam 9 malam. Biasanya, majikannya itu akan pulang tengah malam atau bahkan jam 1 atau 2 dini hari.

"Kemana Pevita?" tanya Rafa ketika dia berjalan melewati anak tangga. Diba berada di belakang membuntutinya.

"Nyonya masih belum pulang, Tuan." Pandangan Diba menunduk. Enggan menunjukkan wajahnya di depan Rafa yang tengah menoleh ke arahnya.

Rafa mendengus kesal. "Apa biasanya dia memang pulang selarut ini?"

"Benar, Tuan."

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku?"

"Karena Nyonya yang menginginkannya, Tuan." Meskipun Diba takut pada kemarahan Pevita, tapi dirinya lebih takut melihat kemurkaan majikan yang berada dihadapannya itu.

Wajah Rafa menggelap setelah mendengarnya. "Baiklah, siapkan air hangat untukku. Aku akan mandi," titahnya pada Diba.

Tepat ketika tengah malam. Pevita terlihat datang dengan jalan sempoyongan di bawah penerangan yang remang-remang. Lampu ruang tengah memang dimatikan karena sudah tak ada orang yang beraktivitas, namun samar-samar Rafa yang tengah duduk si sofa ruang tengah dapat melihat bahwa yang tengah berjalan adalah sang istri.

Ketika langkah Pevita akan menaiki anak tangga, mendadak langkahnya terhenti karena lengannya di cekal oleh tangan berotot.

"Kenapa baru pulang jam segini? Darimana saja, hah?"

Pevita memicingkan mata untuk menelusuri siapa gerangan yang beraninya menanyai dirinya dengan nada tinggi. "Oh! Rafa? Kau sudah pulang?"

Tercium bau alkohol yang begitu menyengat, membuat kening Rafa mengernyit. "Bau apa ini? Kau mabuk?"

Pevita tak menghiraukan pertanyaan Rafa. "Lepasin, Rafa! Aku mau masuk kamar dulu, aku udah ngantuk."

Rafa membuntuti Pevita yang masih jalan sempoyongan ketika lanjut menaiki anak tangga. Sesampainya di kamar, Pevita langsung menghamburkan diri di atas ranjang tanpa melepas sepatu dan mengganti pakaiannya.

"Vita! Mandi dulu! Badanmu bau alkohol!" titah Rafa pada istrinya.

Pevita hanya menggeliatkan badan dan bergumam tak jelas.

"Pevita!"

Kali ini Rafa tak sabar. Dia menyalakan lampu kamar dan membalikkan istri badannya untuk membangunkannya. Namun betapa terkejutnya ia melihat banyak bekas cupang yang menghiasi leher dan dada istrinya.

"Ini... siapa yang melakukannya, Vita!" teriak Rafa. Wajahnya terlihat murka.

Pevita terduduk dengan mata tertutup. Dia mengacak rambutnya kasar. "Ah, kau berisik, Rafa! Kenapa menanyakan hal yang biasanya tidak kau tanyakan?" tanyanya tanpa dosa. Lalu berlalu melewati Rafa untuk menuju ke kamar mandi.

Rafa mengacak rambutnya frustasi. Sial! Hal yang biasa katanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status