🏵️🏵️🏵️
Aku masih tidak habis pikir kenapa Mas Arfan berani melontarkan kalimat yang tidak masuk akal menurutku. Berani-beraninya pemuda itu mengucapkan sesuatu yang membuatku ingin mengeluarkan amarah.
Apa Mas Arfan tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan tadi saat di mobil? Bagaimana mungkin ia mengeluarkan kata melamar kepada gadis yang baru bertemu dengannya dalam dua hari ini? Ini benar-benar tidak masuk akal.
Siapa Mas Arfan sebenarnya? Kenapa aku tidak mengenalnya? Sementara ia mengaku telah lama mengenalku. Kenapa aku tidak mengingat Mas Arfan sama sekali? Ia benar-benar membuatku penasaran. Kesal!
“Ren, dari tadi kamu diam aja. Ada apa?” Devi kembali memukul pundakku.
“Aku lagi kesel.” Aku memberikan jawaban sembari berjalan menuju ruangan Bu Riani, dosen pembimbing kami berdua.
“Kesel kenapa?” Devi pun menyejajarkan langkahnya di samping kananku.
“Kesel aja.”
“Oh, ya, cowok ganteng tadi siapa, sih? Kok, baru hari ini nganterin kamu ke kampus?” Entah kenapa Devi mengingatkanku tentang Mas Arfan.
“Cowok ganteng?”
“Iya. Aku tadi lihat kamu turun dari mobilnya. Aku sempat dengar juga pujian mahasiswi lain tentang dia.”
“Pujian apa?”
“Tentang kecakepannya.”
“Cakep dari mananya?”
“Ih, nih, anak. Kamu nggak mengakui ketampanan cowok yang tadi nganter kamu?”
“Dia itu hanya sok ganteng.”
Walaupun Devi menilai Mas Arfan sebagai pemuda tampan, tetapi bagiku, laki-laki itu hanya sok ganteng. Apalagi ia telah membuatku dua kali kesal hari ini. Pertama, aku tidak mengharapkan kehadirannya pagi ini. Sementara yang kedua, ia berani mengucapkan kata lamaran kepadaku.
Dasar laki-laki aneh. Mas Arfan bersikap seolah-olah telah mengenalku sudah bertahun-tahun lamanya. Entah dari mana keberanian yang ia dapatkan hingga dirinya mampu mengucapkan kalimat yang membuat hati ini kesal.
Aku masih sangat bingung kenapa Mas Arfan tiba-tiba muncul di rumahku dan tampak sangat dekat dengan Ayah. Sejak kapan laki-laki paruh baya itu mengenal Mas Arfan? Apa mungkin hubungan antara kedua pria itu berkaitan dengan ungkapan yang Mas Arfan lontarkan tadi saat di mobil?
Aku merasa kalau Ayah sedang menyembunyikan sesuatu, padahal selama ini, beliau selalu terbuka kepadaku. Namun, kenapa kehadiran Mas Arfan tidak pernah ia ceritakan sebelumnya? Apakah ini merupakan unsur kesengajaan?
“Ren, kita pulang, yuk! Sia-sia aja, deh, datang hari ini. Ternyata ibunya nggak masuk kampus. Apa kita ke rumah beliau aja?” Devi selalu saja berhasil mengagetkanku.
“Bisa, nggak, ngomongnya nggak tiba-tiba?”
“Kok, tiba-tiba? Dari tadi kita, kan, ngobrol. Kamunya aja, tuh, yang ngelamun.” Memang benar apa yang dikatakan Devi, sangat jelas kalau saat ini, aku sedang memikirkan Mas Arfan.
“Iya, deh. Sorry.” Aku menyatukan kedua telapak tangan di depan Devi.
“Lupain aja. Yang penting sekarang kita harus mikir gimana caranya ketemu Bu Riani.” Devi mengerutkan keningnya.
“Kita ke rumah beliau aja, tapi kapan? Hari ini nggak mungkin karena beliau sedang tidak enak badan. Kamu dengar sendiri, kan, tadi dari Pak Herman.”
“Iya juga, sih. Nanti aja, deh, kita pikirkan lagi. Sekarang kita pulang, tapi naik angkot. Aku nggak bawa motor soalnya.”
“Sama, dong. Aku juga.”
Aku dan Devi pun tertawa karena kami hari ini secara bersamaan tidak membawa kendaraan sendiri, padahal tidak janjian sebelumnya. Alasan aku sudah jelas karena kemunculan Mas Arfan. Sementara Devi mengaku karena ingin santai.
🏵️🏵️🏵️
“Kamu ngapain masih di sini?” Aku terkejut melihat Mas Arfan yang masih berdiri di samping mobilnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Nungguin kamu.” Ia memberikan jawaban dengan santai.
“Nggak perlu. Aku mau pulang naik angkot aja sama teman.” Aku melihat ke arah Devi. Ternyata gadis itu menatap Mas Arfan.
“Nggak apa-apa, kita anter teman kamu. Setelah itu, aku ingin bawa kamu ke suatu tempat.”
“Ogah. Aku nggak mau. Sana pergi, aku nggak butuh kamu.”
“Yang bener? Tapi aku nggak percaya.” Kalimat yang keluar dari bibirnya selalu saja membuatku kesal.
“Jadi, mau kamu apa?”
“Ingin bersamamu hari ini.” Ia benar-benar mengundang amarahku.
“Apa perlu aku ingatin lagi kalau aku nggak kenal kamu?” Aku menaikkan suara.
“Ternyata kebencianmu padaku tetap sama seperti dulu.”
“Kayaknya hidup kamu itu penuh drama, ya. Baru juga ketemu dalam dua hari ini, tapi udah ngaku kenal aku dari dulu.”
“Tapi itu kenyataan, Ren. Kenapa kamu nggak ingat aku? Apa karena dulu aku sering usilin kamu?” Aku makin bingung dengan arah pembicaraannya.
“Maaf, Ren, aku duluan.” Devi tiba-tiba menghentikan kendaraan lalu memasukinya, kemudian meluncur meninggalkan kampus.
Setelah kepergian Devi, Mas Arfan meraih tanganku lalu memintaku memasuki mobilnya. Entah kenapa diriku tidak mampu menolaknya. Ia menghidupkan mesin kendaraan roda empat itu, kemudian kami pun meluncur.
“Apa kamu nggak ingat aku sama sekali, Ren?” tanya pemuda menyebalkan itu.
“Ingat banget.”
“Serius kamu udah ingat aku?” Tampak perubahan di wajahnya, menunjukkan guratan halus.
“Iya. Kamu itu cowok nyebelin yang tiba-tiba muncul dalam hidupku. Kamu itu cowok sok akrab yang telah mengundang amarahku.” Akhirnya, aku berhasil mengutarakan kekesalanku.
“Ternyata kamu belum ingat aku, padahal aku selalu mengingatmu sebagai gadis kecil yang cantik dan imut. Kamu itu gadis yang aku puja sejak dulu.”
“Aku nggak ngerti apa maksud kamu. Gadis kecil?” Ia membuatku penasaran.
“Iya. Kita sudah beberapa kali ketemu saat kita masih anak-anak.”
“Kapan? Siapa kamu sebenarnya?”
“Kamu ingat Mandala yang juga merupakan nama belakangku? Kalau kamu kesal padaku, kamu selalu menyebutku dengan nama itu karena merupakan nama papaku.” Pikiranku pun berkelana agar mampu mengingat saat-saat masih kecil dulu.
Aku mencoba mengingat teman saat masih SMA, tidak ada yang bernama Mandala. Aku pun menggali ingatan agar mampu membayangkan masa putih biru, tetap tidak ada hasil. Sekarang, aku harus berkelana ke masa yang sudah lama berlalu, saat masih SD.
Tiba-tiba ingatanku tertuju pada satu nama yang tidak asing. Ini tidak mungkin. Kenapa ia kembali hadir dalam hidupku? Apa dirinya tidak puas melakukan keusilan kepadaku kala itu? Kenapa ia seganteng ini sekarang? Maksudku sok ganteng.
Pantas saja aku tidak mengenalnya sama sekali, ternyata aku bertemu dengannya dulu saat aku masih duduk di bangku SD. Kala itu, aku masih kelas empat, sedangkan ia kelas sembilan. Mas Arfan yang dulu dan sekarang sungguh jauh berbeda. Perbedaan itu bagaikan bumi dan langit.
Maaf, Mas Arfan, karena aku tidak mungkin menerima lamaranmu. Saat ini, aku sedang dekat dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah cinta pertamaku. Walaupun kami belum pernah bertemu secara langsung, tetapi aku mencintainya.
“Kamu udah ingat aku?” Mas Arfan kembali membuka suara.
Aku tidak memberikan respons sama sekali karena masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba dalam hidupku. Aku tetap sangat membencinya sama seperti dulu. Bagiku saat ini, ia tidak lebih dari teman walaupun kenyataannya dulu, ia bagaikan musuh. Hati ini telah aku serahkan kepada Kak Dylan—seorang penulis yang sangat aku kagumi.
==========
🏵️🏵️🏵️Mas Arfan adalah cucu salah satu tetanggaku yang tinggal di luar kota Tanjungpinang. Aku masih sangat ingat kalau keluarganya menetap di Palembang. Dulu, ia berkunjung ke kota ini hanya saat liburan sekolah. Ia mengunjungi rumah kakek dan neneknya. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dirinya lagi setelah kami dewasa.Mas Arfan pernah mempermalukanku saat dirinya liburan kelulusan SMP. Ia memgirimiku surat, tetapi justru Tiara—temanku yang membacakannya. Di dalam surat itu, Mas Arfan mengutarakan isi hatinya. Ia mengaku suka dan jatuh cinta kepadaku. Aku benar-benar kesal dan sangat malu jika mengingat kejadian tersebut. Nama panggilannya kala itu bukan Arfan, tetapi Fandy.“Surat apa ini, Bang?” tanya Tiara kepada Mas Arfan. Kami pun akhirnya menghentikan permainan kasti yang sedang kami gemari waktu itu.Mas Arfan tidak memberikan respons, ia hanya tertunduk. Ketika Tiara membacakan isi surat pemuda yang kini berada di sampingku, di depan teman-teman lain, hati ini bena
🏵️🏵️🏵️Bagiku, ini seperti mimpi karena pemuda yang dulu membuatku kesal, kini ada di depan mata. Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya kembali bertemu dengan dirinya. Ia telah tumbuh menjadi sosok yang berwibawa. Stop, Rena! Jangan memujinya walaupun hanya dalam hati.Kenapa aku sepolos ini hingga bersedia memenuhi keinginan Mas Arfan? Aku kesal jika mengingat jawaban Ayah tadi. Beliau sama sekali tidak mengerti dengan perasaan anaknya, padahal tadi aku berharap agar Ayah tidak memberikan izin kepada Mas Arfan karena telah membawaku ke tempat ini.Aku benar-benar bingung dengan sikap Ayah. Kenapa beliau bersikap seolah-olah sudah sering bertemu dengan Mas Arfan? Aku sangat tahu kalau Mas Arfan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi setelah menuliskan surat untukku kala itu. Ini aneh, tetapi nyata.“Hai, Mah. Coba tebak, deh, Fandy bawa siapa.” Ya, aku tahu namnya Fandy waktu kecil. Entah kenapa sekarang berubah menjadi Arfan.Aku dan Mas Arfan kini berada di ruangan ya
🏵️🏵️🏵️Ternyata Mas Arfan mengikutiku. Ia menyejajarkan dirinya berjalan di samping kananku. Aku tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja tidak berhenti menggangguku. Ia seolah-olah ingin mengetahui apa pun yang aku lakukan. Ia tidak sewajarnya bersikap seperti itu karena dirinya bukan siapa-siapa bagiku.Seandainya Kak Dylan yang berada di posisi Mas Arfan sekarang, aku pasti akan langsung menggandeng tangannya. Namun, itu tidak mungkin karena kenyataannya, Kak Dylan hanya ada di dunia maya. Ia selalu menolak bertemu denganku di kehidupan nyata walaupun kami sudah sangat sering berbalas pesan bahkan menelepon.Sebenarnya, aku sangat bingung kenapa Kak Dylan tidak bersedia bertemu denganku, padahal ia mengaku sangat mengagumi bahkan mencintaiku. Jika dirinya bersedia bertemu denganku, aku ingin memperkenalkannya kepada Devi. Sahabatku itu selalu meledekku yang masih berstatus jomlo.“Ngakunya udah punya cowok yang dicintai, tapi mana? Tunjukin, dong.” Devi sering melontarkan kal
🏵️🏵️🏵️ Malam ini seperti biasa, kami makan bersama di meja makan. Sambil menyantap menu yang disuguhkan asisten rumah tangga di rumahku, aku kembali mengingat kata lamaran yang Mas Arfan ucapkan. Kenapa pemuda itu tampak yakin kalau aku yang akan mendampingi dirinya kelak? Di samping itu, mamanya juga bersikap seolah-olah aku pasti tinggal di rumah mereka nanti. Kenapa saat aku telah menyerahkan hati dan perasaanku kepada Kak Dylan, justru Mas Arfan tiba-tiba muncul? Jika memang benar ia serius ingin melanjutkan hubungan pertemanan masa kecil kami ke jenjang yang lebih serius, harusnya ia hadir lebih awal, bukan sekarang. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Aku akui kalau dulu hati dan pikiranku tidak ingin lagi mengingat Mas Arfan setelah kejadian waktu itu. Namun, jika ia menemuiku lebih cepat dan bukan sekarang, mungkin aku akan berpikir untuk mempertimbangkan lamarannya. Aku tidak yakin langsung menolak niatnya. “Ren, tadi Ayah ketemu Om Mandala.” Ayah membuyarkan lamunanku
🏵️🏵️🏵️ Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah. “Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku ng
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan
🏵️🏵️🏵️ Status sebagai istri Mas Arfan tetap aku ingat walaupun ia telah berbuat tidak mengenakkan. Saat ia membangunkan untuk salat Subuh, aku tetap menjadikannya imam. Aku akan berusaha memaklumi apa yang terjadi tadi setelah dirinya kembali meminta maaf. Aku berpikir sejenak, mungkin sangat keterlaluan jika aku harus tetap kesal terhadap Mas Arfan hanya karena kejadian itu. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperpanjang. Aku harus ingat nasihat Ayah dan Bunda. Setelah selesai menunaikan dua rakaat, aku mencium punggung tangan Mas Arfan. Ia pun mencium puncak kepalaku lebih lama dari biasanya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa bersalah karena sempat berpikir kalau tujuannya menikahiku hanya ingin mengusikku. Jika melihat usaha dan mendengar pengakuan Mas Arfan selama ini, aku tidak seharusnya meragukan cinta dan ketulusannya. Ia mengaku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain setelah mengenalku. Aku tidak pernah menyangka kalau cinta seperti itu ter