Share

Gara-gara Paket

Sebulan ini ibu banyak diam. Aku kira dirinya sudah berubah seperti dulu lagi pada Arumi. Namun, pagi ini rupanya kata-kata ibu makin dahsyat.

Tak mau memperkeruh keadaan. Aku pun masuk ke ruang dalam. Ibu berlalu mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dan ketika menyapu ruang dalam, sesaat beliau melewati kamar kami. Ketika di dekat pintu kamar kami, ibu terdiam. Ternyata memperhatikan sebuah kardus yang cukup besar di dekat lemari di dalam kamar.

Kemudian ibu mendekatinya, memperhatikan dengan seksama isinya dan berteriak "Arumiii!! ini apaaa??" Ibu sepertinya sangat marah melihat isi kardus itu.

Arumi sampai terperanjat mendengar teriakan ibu yang menggelegar dan segera berlari ke dalam.

Seperti yang sudah kami duga, ibu musuh sekali sama paket. Pasti dikiranya Arumi belanja online lagi.

Kardus itu adalah paket dari tante Erlita, aku dan istriku tadi malam hanya membuka isolasi dan tutup atas kardus paket untuk melihat isinya, memastikan isi paket aman dari barang atau makanan yang harus dibongkar segera, melihat gak ada yang mengharuskan bongkar cepat dan sudah ngantuk banget. Jadi, ya udah tidur aja dulu.

Paket sengaja dikirim ke alamat kantor. Aku mengatakan pada Tante Erlita supaya ekspedisi mudah mencarinya. Ya, alasan yang di buat-buat padahal sebenarnya supaya ibu tak tahu kalau ada paket untuk Arumi. Karena malas kalau ibu tahu bisa berbuntut panjang. Bisa begini, begitu. Ribetlah pokoknya. Sepertinya kami kecolongan juga.

Padahal sore kemarin waktu pulang kantor, ibu sedang di halaman belakang. Diam-diam aku manaruh ke kamar. Cuma tadi malam karena Arumi sibuk bantu ibu. Setelah dia selesai, kekuatan mata sisa lima Watt jadi tak dibongkar dan ditaruh ke tempat lain. Aku pun lupa untuk menaruh jauh dari jangkauan. Soalnya ku pikir ibu sangat jarang masuk ke kamar kami. Aku menganggap di kamar pun sudah aman.

Arumi yang belum selesai mencuci piring langsung ke dalam mendengar teriakan ibu. Istriku langsung membuka kardus itu dan membongkar isinya. Begitu pun aku langsung membantu istriku. Kami buka satu persatu. Isinya cukup banyak. Ada baju hamil 5 helai, novel 2 buah, bedak, lipstik, 2 helai baju untuk ibu, baju laki-laki yang pastinya untukku, beberapa kerudung dan ku lihat baju-bajunya tidak ada yang harga murah, juga ada kue kering dan makanan ringan lainnya.

"Kamu belanja lagi Arumi, boros sekali kamu!" Itulah komentar ibu pertama kali, ketika semua sudah di bongkar. Tadi ibu hanya diam. Kelihatan wajah ibu memerah menahan amarah.

Belum sempat kami menjawab, ucapan beliau berlanjut, "Walaupun belanja pakai uang sendiri tetap boros namanya. Lama-lama kalau begini 'kan uang tabunganmu juga habis. Bagus di simpan buat keperluan tak terduga. Apalagi kamu hamil, kalau Raga kebetulan kepepet pas lahiran 'kan uang itu bisa buat cadangan. Jangan dikit-dikit minta bantuan orang tua, apalagi minta bantuan orang tuamu. Nanti bisa-bisa dibilang Raga tak bertanggung jawab." panjang lebar uraian ibu.

"Bukan, Bu. Ini kiriman dari Tante Erlita. Beliau sangat senang mendengar Arumi hamil," Aku segera menjawab ibu sebelum Arumi.

"Masa! ini kelihatan belanjaan pribadi gak hanya baju. Ada segala bedak, lipstik, novel."

"Iya, Bu Tante Erlita tahu semua barang kesukaan Arumi," jelas Arumi lagi.

Tante Erlita adalah adik bungsu mamanya Arumi. Mama mertua, anak pertama, tante Elita, anak terakhir. Usia Arumi dan tante bungsu hanya terpaut usia lima tahun dan sangat dekat seperti teman.

"Halah!! ibu gak percaya, ini pasti belanjaan kamu, Arumi! Ada segala kue kering dan cemilan kesukaan kamu," cerca ibu sambil melihat-lihat kue kering yang masih terbungkus rapi dalam plastik yang jelas cemilan mahal.

"Ini kiriman Tante Erlita, Bu. Masa Ibu gak percaya sama Arumi. Ibukan tahu Arumi gak pernah bohong, apalagi sama Ibu," jawab Arumi matanya mulai memerah dan ada linangan air mata karena tuduhan ibu. Melihat itu semua aku tak tahan.

Hingga aku menimpali, "Kenapa ibu gak percaya? Ini memang paket dari Tante Erlita, Bu. Dan andaipun dia belanja dengan uangnya sendiri 'kan gak masalah juga Bu! Masalah lahiran kan aku suaminya harus siap siaga. Menyangkut urusan uang lahiran, kan Arumi gak mendadak melahirkan. Ada jangka waktu kan semua sudah di atur untuk uang lahirannya. Bahkan sudah ku persiapkan sebelum Arumi hamil," jelasku, sejelas-jelasnya.

Ibu mendengkus kesal. Sepertinya menyangkut menantunya itu semuanya salah. SAALAAH!

"Iya, Bu. Ini dari Tante Erlita bukan Arumi yang beli. Mungkin saking senangnya. Ini juga sekalian kirim buat ibu dan Bang Raga," jelas istriku.

"Kamu ini memang manja ya, pasti kamu minta ini-itu 'kan sama Tantemu. Gak baik begitu Arumi."

"Enggak, Bu. Sama sekali Arumi gak ngomong apa-apa, gak ada minta ini-itu sedikit pun."

"Terus! Kenapa? Tantemu sampai ngirim barang sebanyak ini!"

"Kemaren Tente telfon, beliau menanyakan kehamilan Arumi. Setalah mendengar cerita Mama kalau Arumi hamil. Tante sangat senang makanya beliau nanya alamat mau ngirim hadiah. Karena Tante bahagia sekali, sudah setahun lebih menunggu akhirnya Arumi hamil juga, Bu."

"Hah, pasti kamu cerita hidup kamu di sini susah ya, gak baik cerita begini- begitu tentang hidup kita ke keluarga kalau sudah menikah Arumi. Kita itu harus ngikutin pendapatan suami. Menjaga nama baik suami dihadapan keluarga." Ibu terus mencerca Arumi dengan pertanyaan, tuduhan, sekaligus nasehat. Ya, begitulah kalau ibu udah ngomong sama menantunya itu.

"Enggak Bu, sumpah! Arumi gak ada cerita apa-apa." Kasian istriku. Aku mau menjawab ibu dan menjelaskan nanti di bilang aku ngebela istri. Malah akan lebih panjang kali lebar yang ibu permasalahkan.

Jadi aku memilih diam mendengarkan, duduk di dekat istriku dan memegang tangannya sebagai penguatnya menghadapi ibu. Walaupun aku kini hanya terdiam setelah penjelasan ku tadi, istriku tahu aku ada untuknya hanya diam kembali karena tak ingin membuat keruh keadaan.

Ibu melihat barang-barang yang tak murah itu satu persatu.

"Pasti semua ini harganya jutaan, ya? Baju apa emas."

"Ibuu, ini murah buat mere---" ucapanku terhenti karena Arumi mencolekku dan melirikku memberi kode agar aku diam dan tak terpancing ucapan ibu. Istriku yang baik yang sangat sabar. Aku semakin menyayanginya. Aku tak tega melihat dia digitukan sama ibu.

Ibu malah melanjutkan "Kenapa Raga. Salah ibu? Ibu'kan ada benarnya." Kami berdua hanya diam mendengarkan Arumi menggenggam tanganku dia melarang aku bicara.

"Ada novel juga, buat apalah baca yang beginian bikin baperan. Baca itu buku motivasi. Baca buku begitu nanti mewek, nangis. terus apa ini? Bedak, lipstik. Mahal lagi! Bedak, lipstik aja sampai segitu harganya kan mending beli beras. Bisa berbulan-bulan makannya atau beras bagi fakir miskin jadikan hidup gak biasa mubazir. Walau kaya kita gak tahu hidup kedepannya gimana. Betul gak Arumi?"

"Betul, Bu. Ibu benar banget." Sahut Arumi cepat. Mungkin dia ingin ibu cepat mereda omelannya. Padahal keluarga Arumi juga sering banget sedekah sama fakir miskin, malah ada sedekah rutin tiap bulan untuk yatim piatu, tetapi 'kan gak perlu diomongin juga mereka sedekah sama ibu.

"Oya, kok, ibu gak tahu paket datang, gak dengar ada kurir ngantar. Diam-diam ya kamu waktu kurir ngantarnya. Mau sembunyi dari Ibu, ya?"

"Enggak Bu, bukan sembunyi emang gak ada kurir datang ngantar. Ini Bang Raga yang bawa karena di kirim ke kantor."

"Kenapa pakai alamat kantor, 'kan sampai juga kalau pakai alamat rumah ini."

"Bang Raga yang minta kirim ke alamat kantor." Arumi seperti menahan tangis di interogasi ibu begitu hanya gara-gara paket.

"Ya Bu, aku yang nyuruh kirim ke alamat kantor." jawabku.

"Kenapa!?"

"Karena tahu begini Bu! hanya karena paket aja ibu bisa begini!" Suaraku agak tinggi. Aku terpancing.

"Suara kamu, ya Raga." Mata ibu membulat menatapku.

"Maafin Raga, Bu. Raga gak bermaksud begitu." Ku raih tangan ibu dan memcium punggung tangannya.

Ibu pun marah hendak keluar dari kamar.

"Ibu ... " panggil Arumi. Beliau menoleh, istriku memberikan baju dan kerudung yang memang tante Erlita beli untuk ibu.

Ibu menyambutnya dibarengi ucapan, "Bilang Tantemu, lain kali gak usah repot-repot. Kayak Ibu gak bisa beli sendiri atau kayak Raga gak bisa beli aja buat Ibu!"

"Ibu bersyukur dong, Bu. Itu tandanya Tante Erlita peduli dan menganggap ibu keluarga mereka. Seharusnya Ibu berterimakasih," tukasku.

"Raga!!" Suara ibu meninggi "Iya, Arumi bilang Tantemu makasih!!" Ibu melotot padaku murka dan berlalu.

Ibu lanjut menyapu. Sambil ngedumel "Kerjaan rumah pun kalau gak ibu ikut nyapu, beberes. Lamaa ke bersihnya. Lama selesai kerjaan. Haduh."

Mendengar itu Arumi segera ke dapur lagi melanjutkan cucian piring yang di tinggal karena mendengar teriakan ibu tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status