16. Pasar Malam (Bagian B) Aku manyun, niatku yang hari ingin membuat dia marah malah gagal. Aku segera beranjak menuju jendela dan menutup sedikit gordennya karena aku lihat Aksa mengernyit akibat paparan sinar matahari sore."Dek, beli baju Aksa berapa pasang?" tanya Bang Galuh sambil mengamati segala kegiatanku yang mondar-mandir di kamar kami yang luas ini."Sepasang, Bang." Aku menyahuti dari balik pintu lemari."Loh, kok cuman sepasang, Dek? Belikan lah entah tiga pasang gitu," katanya protes.Aku mengernyit dan menatap Bang Galuh dari balik pintu lemari, sedangkan yang ditatap malah balik menatap seolah bertanya kenapa aku menatapnya."Lah, kan emang cuma nginap satu malam, Bang. Besok juga sudah diantar pulang," kataku heran."Walaupun satu malam, kan nggak ada salahnya membelikan beberapa pasang, Dek." Bang Galuh menyahut sambil membetulkan posisi tidur Aksa yang mulai merosot, dan hampir jatuh ke bawah."Iya, sih. Besok deh Bang," jawabku singkat."Lagian, kita kan punya ban
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 17. Permulaan (Bagian A) "Walah, walah, ngakunya sudah tidak punya uang. Lah, ternyata habis untuk keponakan istrimu ini. Galuh … Galuh … jadi suami kok, ya, bodoh sekali?" ujar Kak Ambar. Kak Ambar menggelengkan kepalanya sok dramatis, dia mendekat sambil melihat Aksa dengan pandangan jijik. Lah, kok jijik? Keponakanku kan tidak salah apa-apa? Huh, Untung saja Aksa bukan model anak yang cengeng, yang dilihat oleh orang baru langsung menangis. Malahan anak abangku satu-satunya ini memelototi balik Kak Ambar, dia tidak gentar. "Apa sih, Kak? Malu didengar orang," ucap Bang Galuh, dia melihatku dengan pandangan meminta maaf. Aku sih santai, aku tidak ambil pusing kelakuan Kak Ambar dan juga Bang Gery. Semakin kesini, aku semakin cuek bebek menghadapi mereka. Biar saja mau bilang apa, aku sudah tidak peduli. Lah, wong yang menyakitkan hati saja sudah biasa aku terima. Kalau hanya ucapan-ucapan seperti ini, aku sudah tahan banting! "Malu? Kal
18. Permulaan (Bagian B) Galuh bergedik horror sambil merangkul Gitok. "No, no, Adek gak suka, Adek gak mau, Adek gelayyyyy!" Balasnya tak kalah mendayu. Pecah sudah tawa mereka bertiga, bahkan kernet Gitok sampai tersandung batu bata karena melihat candaan mereka yang lumayan menjijikkan. Torik segera merangkul Gitok dan juga Galuh menuju depan warnetnya yang sudah tersedia kursi untuk duduk-duduk. "Gimana, Bang? Ada yang kurang bahannya?" tanya Galuh saat mereka sudah duduk dengan santai di teras warnet Torik. "Sejauh ini enggak ada, entar kalau ada yang kurang, si Usman udah pesan suruh ngambil aja di panglong Wak Adi," kata Gitok sambil menyalakan rokoknya. Galuh mengangguk mengerti, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sini lah nanti dia mencoba membangun usaha, yang diharapkannya menjadi besar dan dia bisa membahagiakan Ellena. "Kamu mau ke mana? Cuma mau mengantar semen?" tanya Torik pada Galuh sambil menunjuk beberapa sak semen, yang ada di atas jok motor milik
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 19. Dicuri? (Bagian A) Galuh, Gitok, dan juga Torik terbengong sesaat, mereka saling pandang seakan tengah melakukan telepati. Sedangkan Gery bersikap cuek bebek, tidak merasa diperhatikan oleh tiga orang itu. Dia malah santai menghidupkan rokoknya, dan berkacak pinggang seperti mandor proyek. Matanya memindai ke sekeliling, dan langsung tertumbuk di semen tadi Galuh bawa. Seringai nampak di wajahnya, membuat Galuh merinding. "Cuma itu semennya?" tanyanya menunjuk. "Lah, bukannya kemarin di rumah kamu banyak? Kok, sekarang semennya cuma segitu?" katanya dengan nada heran yang sangat kentara. Galuh menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa tolol luar biasa karena dia terpaku pada setiap ucapan dan tindakan Abang iparnya ini. Gery ini, tipe lelaki keras. Penjilat ulung di depan Ibunya, namun bertindak sesuka hati di belakang beliau. "Untuk hari ini, memang butuhnya segitu, Ger," jawab Gitok. "Oh …." Gery mengangguk mengerti. "Ya udah, Luh
"Dasar manusia bersel satu, gak ada otak!" umpatnya pelan. "Luh, mana semennya? Langsung aku bawa aja deh, males aku lama-lama di sini. Manusianya bodoh semua, nggak ada otak!" kata Gery memaksa. "Nggak bisa, Bang. Pokoknya ini punyaku, udah pas untuk bangunan yang mau aku bangun. Kalau Abang mau, ya silahkan beli di panglong Wak Adi sana," ucap Galuh setengan mengusir. "Berani kamu ya? Aku adukan sama Ibu, mampus kamu!" gertak Gery dengan nafas memburu. "Ya udah, aduin aja, Bang," balas Galuh dengan santai. "Baru menyewa tanah strategis aja, sombong bener. Aku doain usaha kamu nggak laku!" umpatnya sambil berlalu. "Eh, Ger …." Panggilan Gitok mampu menghentikan langkah Gery, dia menoleh tanpa membalikkan badannya. Kernyitan di dahinya terlihat jelas, menandakan kalau dia heran luar biasa akan panggilan Gitok. "Lah, nyewa dari mana? Tanah ini punya Ellen kali, lo lupa? Keluarga Ellen itu juga kaya, jangan tanya tanahnya ada dimana-mana," ucap Gitok sambil menahan tawa. Dan de
21. Dicuri? (Bagian C) Wajah Ibu terlihat tidak enak, dan Kak Ambar yang biasa judes juga sedang memasang wajah yang lebih menakutkan. Aku mengernyitkan dahi, melihat mereka seolah melihat mimpi buruk datang. Astaghfirullah, aku beristighfar dalam hati. "Jeng, sudah selesai patrolinya?" tegur Wak Sarkam pada Ibu mertuaku, Kak Ambar memberhentikan motornya tak jauh dari kami. Wajahnya sinis saat melihat aku dan Kak Ika, sedangkan kami berdua hanya berpandangan heran. Salah kami apa? Kok tiba-tiba disinisin begitu? "Udah Mas," kata Ibuku sopan. Wak Sarkam dan Ibu tumbuh bersama di desa ini, mereka sudah seperti saudara kata Ibu dulu. "Jadi gimana?" tanya Wak Sarkam lagi. Kami yang tidak mengerti apa-apa hanya diam mendengarkan, sedikit penasaran dengan keadaan ini. "Banyak yang hilang, Mas. Sudah dua bulan ini, aku sampai stress memikirkannya," kata Ibu memijat keningnya. "Apa yang hilang, Bu?" tanyaku ingin tahu. "Sawit Ibu, Len," kata Ibu pelan. "Kok, ya sudah dua bulan ini
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 22. Kegelisahan Gery (Bagian A) "Bang," sapa Kak Ambar pada suaminya. Bang Gery terlihat datang dari arah utara, menuju ke tempat kami duduk. Motornya, tepatnya motor baru yang dibelikan Ibu, terparkir manis di sebelah motor kak Ambar. Entah kenapa, wajahnya terlihat sangat gusar. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, seolah tengah mengawasi sesuatu. Sesekali dia melirik Ibu yang terlihat diam saja dari tadi, aku jadi penasaran hal apa yang bisa membuat Bang Gery secemas ini. "Bu, kenapa kalian ke kebun?" tanyanya pada Ibu dengan lembut. Dasar bermuka dua! Di depan Ibu, Bang Gery ini terlihat seperti kucing manis yang butuh dilindungi dan diayomi. Tapi dia ini aslinya kasar, aku pernah melihat secara tidak sengaja, dia memarahi Kak Ambar habis-habisan hanya karena tidak sengaja menjatuhkan gelas. "Ini loh Ger, Akim semalam ngadu, katanya sawit kita sudah dua bulan ini di eggrek orang, di curi entah sama siapa," jelas Ibu dengan nada lesu.
23. Kegelisahan Gery (Bagian B) "Tapi aku menantu laki-laki," balasnya sewot. "Iya, nih, kamu jangan ikut campur." Kak Ambar ikut-ikutan, demi membela suami tidak berfaedahnya itu. "Halah, cuma menantu laki-laki saja bangga. Suamiku itu, yang anak laki-laki Ibu satu-satunya saja biasa saja tuh!" kataku menyeringai. Suami istri yang minim akhlak itu terdiam sambil berpandangan. Lihat kan? Kalau aku mau saja, mereka bisa tidak berkutik ku buat. "Sudah-sudah," kata Ibu pelan. "Ya sudah, pokoknya Ibu harus menambah orang untuk jaga malam," tegasku. "Jangan mengharapkan sesuatu yang tidak bisa diharapkan, Bu!" tegasku lagi, sambil ku sunggingkan senyum mengejek ke arah Bang Gery. "Maksud kamu apa? Aku tidak bisa diharapkan? Begitu?" Dengan nada geram Bang Gery bertanya beruntun padaku. "Hah? Siapa yang bilang Abang tidak bisa diharapkan? Loh, Abang merasa?" jawabku santai sambil mengejek. “Ya kalau memang merasa, Alhamdulillah. Berarti Abang memang masih punya hati nurani,” lanjutk