Share

3. Dijemput Mertua

Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.

“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.

Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.

“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.

“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.

“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.

Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina pun bergegas menuju toilet yang ada di dalam kamar tersebut karena lokasi musholla yang jauh dari kamar inap Harun.

“Apa Nadhif yang membawaku ke sofa? Tapi mana mungkin? Pemuda itu bahkan tampak sangat cuek! Dan jika iya, berani sekali dia menyentuhku!” sergah Nadina dalam hatinya.

Lima belas menit kemudian, Nadina keluar dari toilet dan langsung terkejut saat melihat Nadhif yang saat itu juga baru tiba di depan toilet.

“Tidak baik menunggu di depan pintu toilet! Ini bukan toiletmu saja! Jangan berdiri di depannya seperti itu!” sergah Nadina.

“Oh, iya! Maafkan saya. Saya juga baru tiba di sini, saya pikir kamu sudah selesai menggunakan toilet. Ehm, kita akan berjamaah ‘kan, Nadina?” tanya Nadhif sedikit ragu.

Bukannya membalas pertanyaan sang suami, Nadina malah langsung melengos pergi.

“Assalamuaalikum warahmatullah,” ucap Nadhif bersamaan dengan menoleh ke kiri.

Pria itu kini mulai melantunkan dzikir dan doa-doa yang memang biasa dia baca setiap selesai menunaikan sholat fardhu. Usai menyelesaikan serangkaikan doa, ia membalik tubuhnya dan menyalami Khori dengan kedua tangannya.

Baru saja Nadhif hendak beralih ke Nadina, wanita itu malah langsung bangkit dari posisi duduk tasyahud akhir dan meringkas mukenanya cepat.

“Nadina! Kau belum bersalaman dengan suamimu!” pekik Khoiri berteriak.

“Tidak apa, Bu. Nadina pasti masih memerlukan waktu,” sahut Nadhif sambil tersenyum.

Matahari akhirnya mulai menunjukkan dirinya hingga membuat sekitar semakin terang. Beberapa saat lalu Harun kembali sadarkan diri dan dokter segera memeriksanya. Dokter mengatakan bahwa kondisi Harun perlahan telah membaik. Bahkan pria paruh baya itu kini telah bisa kembali menatap wajah Nadina sambil tersenyum bangga.

“Bapak bangga sama kamu, Nak! Kamu harus menjalankan pernikahan ini dengan baik. Taati suamimu dan jadi istri yang sholehah, ya Nak! Surgamu ada padanya sekarang,” lirih Harun sembari mengelus ujung kepala Nadina yang kala itu menunduk guna menutupi tangisnya.

“Maaf, Pak! Nadina masih belum bisa menerima Nadhif. Semua ini masih sulit untuk Nadina. Entah sampai kapan semua akan seperti ini. Entah kami bisa benar bersama atau berhenti di tengah jalan nanti,” batin Nadina.

Keluarga Nadhif kembali datang, kali ini mereka membahas sesuatu yang memang sudah semestinya mereka bicarakan. Mengenai pernikahan Nadhif dan Nadina yang mesti diumumkan baik ke kantor urusan agama maupun para keluarga pondok. Pun Nadina juga harus segera meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama Nadhif.

“Apa ini tidak terlalu cepat? Bapak bahkan belum pulih total!” sela Nadina di tengah perbincangan dua keluarga itu.

“Tidak ada yang terlalu cepat, Nadina! Sudah semestinya pernikahan kalian diurus dengan baik sebelum jatuh fitnah.” Harun menyahut.

Lagi-lagi takdir memihak Nadhif, keputusan telah dibuat dan besok adalah hari dimana perayaan pernikahan Nadhif dan Nadina digelar di pondok milik keluarga Nadhif.

“Nak Nadina ikut pulang bersama kami, ya! Lebih baik Nak Nadina bersiap di dalem—sebutan untuk rumah inti yang ada di pondok, sehingga tidak mendadak untuk acara besok, ya?” tutur Aminah—ibu Nadhif.

“Tapi Bapak,” lirih Nadina.

“Bapak diperbolehkan pulang nanti sore. Ibu bisa mengurus semuanya di sini. Kita akan bertemu besok di acaramu, Nak! Kamu tidak perlu khawatir!” sahut Khoiri.

“Begini saja Ibu Khoiri. Jika Nadina masih ingin bersama ayahnya sebentar lagi, tidak masalah. Nadina bisa pulang ke dalem bersama Nadhif. Nadhif membawa mobil sendiri, kalian bisa pergi bersama nanti,” tutur Aminah.

Ali dan Aminah berpamitan pada Harun, Khoiri, juga Nadina. Beberapa saat setelah kepulangan sang mertua, Nadina malah tampak bengong memandang ayah dan ibunya yang sedang terlibat kegiatan makan itu.

Sebelumnya ia berpikir tidak akan menikah secepat ini dan meninggalkan kedua orang tuanya. Namun apa boleh buat, pernikahan itu bahkan terjadi begitu cepat dan tak memberinya jeda napas lega.

“Kita pergi setelah ashar ya, Nadina!” bisik Nadhif menoleh memandang sang istri.

“Aku ingin berbicara denganmu empat mata. Kita bicara di luar!” Nadina langsung pergi tanpa menunggu jawaban Nadhif.

Pria itu hanya menurut dan menemui Nadina yang telah berdiri menunggunya di ujung koridor rumah sakit.

“Tidak perlu basa-basi lagi! Aku menjalankan pernikahan ini karena permintaan Bapak! Yang artinya sebenarnya tak ada sedikit pun ruang di dalam hati dan kehidupanku untukmu! Dan satu yang perlu kamu tahu! Aku tak akan mudah menerimamu sebagai suamiku apalagi mencintaimu! Aku mengagumi pemuda lain. Dan selama tujuh tahun terakhir dialah yang menjadi pemilik hatiku!”

“Jadi sebelum semuanya semakin terlambat, sebelum acara besok, kamu masih bisa membatalkan pernikahan kita!” sergah Nadina.

“Membatalkan yang bagaimana Nadina? Nama saya dan namamu telah menjadi satu sejak akad saya ucapkan kemarin. Kita telah sah menjadi sepasang suami istri. Tidak ada yang bisa dibatalkan,” sahut Nadhif tenang.

Nadina tampak gusar lalu melipat tangannya di depan dada.

“Kalau begitu ceraikan saja aku! Toh aku mencintai pemuda lain! Kamu tentu tidak mau berbagi hati bukan? Boro-boro berbagi, aku bahkan mungkin tak akan memberikan hatiku padamu!” sergah Nadina lalu memalingkan wajahnya.

“Saya menerima semuanya. Dan keputusan saya tetap sama. Saya akan mempertahankan pernikahan kita sampai saat dimana Allah mencabut nyawa dari tubuh saya. Saya akan selalu berusaha menjadi suami yang kamu idamkan. Dan saya berharap waktu itu akan segera datang.”

“Mimpi kamu, Mas! Kenapa batu sekali?! Kamu hanya akan merasakan sakit karena tak dicintai oleh istri sendiri! Lepaskan saja ikatan ini! Kamu hanya menyakiti satu sama lain!” sergah Madina menatap Nadhif ketus.

“Saya rela sakit untuk istri saya. Dan itu kamu, Nadina!”

“Dasar batu!” umpat Nadina bahkan hingga menunjuk Nadhif dengan telunjuknya tepat di depan muka pria itu.

“Aku akan ikut denganmu ke dalem. Tapi tak akan kuizinkan kamu menyentuhku sebelum aku sendiri yang memberikan izinnya!” pekik Nadina lantang.

“Saya terima syaratmu, Nadina. Tetapi saya juga memiliki syarat. Pernikahan ini dibangun di antara dua keluarga yang bahagia. Tidak boleh ada sedikit pun kesedihan yang muncul di dalam hati mereka terkait pernikahan kita. Apapun pertengkaran yang terjadi di antara kita, hanya kita yang boleh mengetahuinya,” tutur Nadhif lembut.

“Terserah!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status