"Jangan gemuk-gemuk Mega, lihat itu perut Mak Alika, baru juga melahirkan dua anak, perut sudah lebar seperti hamil lima bulan saja!"
Bu Siti menunjuk perut Mega menantunya, wanita yang sudah memberinya dua cucu perempuan nan cantik itu tertunduk, kembali melanjutkan tugasnya memarut kelapa."nggak besar itu bulek, namanya juga sudah melahirkan, nanti juga kecil sendiri."Dewi keponakan Siti berusaha mencairkan suasana, sudah tabiat Siti memang, tak bisa mengukur lidah sendiri dan pandai sekali menaruh luka baru di hati menantunya."Kecil apa, anak ke dua saja sudah mau dua tahun, masak iya masih sebesar sak beras begitu!"Mega tersenyum, meski saudara Siti yang lain melihatnya kasihan. "Ini mungkin masih ada calon bayinya Mak, mungkin bayi kembar lelaki."Mega berucap mencoba menghibur diri nya sendiri, di tepuk-tepuk nya perut sendiri sambil mengurai senyum, menutupi rasa tersinggung nya atas ucapan ibu mertua."Heh, kayak mampu aja ngurus anak lagi! Suamimu itu cuma kuli bangunan, kerja di sawah, nggak usah lah gaya mau punya anak banyak! Jangan ya Allah, Kasih saja anak itu ke perut Siska anak perempuanku ya Allah!"Mega terdiam, ia tak berniat membuat hati mertuanya memanas, ia hanya ingin mengobati rasa tersinggung nya sendiri, atas perilakuan ibu suaminya itu.Siska, Kakak kandung Ridho, suami Mega memang belum juga memiliki keturunan, hampir tujuh tahun menikah Siska tak juga hamil. Mereka bilang Agus suami nya yang bermasalah dengan kesuburan."Biar anak Ridho, Alika dan Alina saja ya Allah, kasih anak ke Siska saja ya Allah, anakku itu sudah berlebih harta, hanya tinggal menunggu keturunan saja!"Siti masih mengangkat tangannya, bahkan do'a itu tak berhenti terucap, hingga menutup rapat mulut keluarga yang lain, termasuk Mega menantunya. Sementara hati Mega serasa tercabik, punggungnya tak berhenti di belai kakak kandung Siti, Halimah."Bude do'akan Mega masih bisa hamil sekali lagi ya, nggak harus kembar juga tidak apa, semoga bisa punya satu lagi anak lelaki." "Iya ga, dua anak kurang ramai ya ga, Bulek do'a kan juga mega cepat hamil lagi, Siska juga segera hamil." Rut adik Siti ikut bicara.Mega tersenyum merasa hatinya di lapangkan, meski ibu mertuanya masih terus mengangkat tangan, seolah menyumpahi dirinya tak bisa lagi memiliki keturunan lain."nggak, Semoga Siska saja yang hamil ya Allah!" Siti masih terus berdo'a."Do'a itu ya semua to bulek, do'a kok satu-satu!" Dewi melirik iba pada Istri adik sepupunya itu. ia tau betul bagaimana sakitnya menjadi menantu rasa anak tiri seperti Mega."Lha Siska anakku kok yang belum punya anak, ya tak do'a kan dulu. ngapain do'a kan anak orang!""Hust Siti orang tua itu dijaga ucapannya. Do'a bagus nanti juga baliknya bagus! Mega juga anakmu, jangan di beda-bedakan." Halimah sudah hilang sabar, rasanya kalimat adik iparnya itu sudah sangat keterlaluan."Bude, bulek, mbak Dewi, semuanya, Mega pamit pulang dulu sudah azan duhur, anak-anak belum makan juga." Mega beranjak dari tempat nya duduk, ia berpamitan pada empunya rumah dan segera pulang lewat pintu belakang, rumahnya dan rumah Halimah memang saling punggung.Ia tak lagi mau mendengar belati dari mulut ibu mertuanya, Mega merasa lebih baik memang dia tak datang ke rumah Halimah lagi.sampai di rumah Ridho suaminya sedang menyuapi Alina, ia terkejut melihat wajah merah sang istri. "kamu kenapa dek?""nggak apa-apa mas." Mega berjalan masuk ke dalam kamar."nggak apa-apa kok nangis begitu!" Ridho berjalan menyusul istrinya ke kamar."ini bukan nangis mas, ini kena uap air yang panas. Mega mau mandi dulu mas, mau sholat duhur,." Mega segera masuk ke kamar mandi, menghindar dari interogasi suaminya.Tak lama setelah mega masuk ke kamar mandi, Dewi datang dari pintu belakang. " Asalamualaikum!""waalaikumsalam mbak Dewi to, ada apa mbak? Mega baru mandi mbak, ada perlu?" Ridho berdiri mendekati Dewi yang menaruh sesuatu di meja makannya."Nggak dho, ini ada soto buat anak-anak, Mega lupa bawa pulang tadi. Em dho, Istrimu baik-baik saja kan dho?"Ridho terdiam, ia semakin merasa ada yang aneh. "Memangnya ada apa sih mbak?""Oh, Mega nggak cerita? Lah ya sudah, lupakan saja!""Lho mbak Dewi ini, aku jadi penasaran kalau begini. Ada apa memangnya? Apa karena Emak?"Ridho sudah bisa menebak, memang ini bukan kali pertama dirinya mendengar ibunya menyakiti hati Mega."Biasa lah, Emakmu itu memang begitu." "Memang Emak bilang apa mbak?""Jangan tanya mbak dong Dho, Sudah ya, kerjaan mbak masih banyak, Emakmu juga baru saja pulang. bilang sama Mega, jangan di ambil hati ucapan tadi, nanti di tunggu datang lagi ke rumah Makku ya, cuma dia yang bisa bikin bumbu sedep buat nanti malam."Dewi segera berlalu pergi, ia juga takut salah bicara jika di rumah Ridho lebih lama. Sementara Ridho hanya duduk di kursi makan, bertanya sendiri apa yang sudah terjadi pada Mega dan Ibu kandung nya."Dek, masih lama?" Ridho berjalan ke depan kamar mandi."Sebentar lagi mas, ada apa?""Mas keluar dulu ya, ke warung, anak-anak mas bawa.""Ia Mas."Mendengar jawaban Mega, Ridho segera membawa Alika dan Alina berjalan ke jalan rumah."Ayah, kita mau ke mana?" Alika bertanya, bocah empat tahun itu memang sudah begitu pandai bicara."Ke rumah Nenek, kita main di rumah nenek sebentar ya."Ridho segera menggandeng Alika dan menggendong Alina berjalan ke rumah Siti, Emaknya. Rumahnya hanya berjarak satu rumah milik Dewi. Mereka memang masih satu keluarga, tinggal di tempat yang berdekatan, karena tanah tempat mereka membangun rumah adalah tanah peninggalan kakek Ridho dari sang Ayah.makin melangkah masuk, suara Emak bercakap jelas terdengar dari ruang tengah."Mak nggak suka si Mega do'a punya anak lagi pak! Mak do'a kan saja dia nggak hamil lagi pak, Siska saja belum hamil, enak sekali dia brojol terus!""Do'a yo yang bagus to Mak, sama anak sendiri kok do'a begitu!" Harun Bapak Ridho mengingatkan."Anak menantu pak, bukan anak kandung, jadi ya terserah dan Mak mau do'a apa!"Kalimat itu membuat hati Ridho ikut tercabik, Pantas saja jika istrinya pulang dengan wajah sembab, ia sendiri begitu terluka dengan kalimat Emak kandungnya, bagaimana dengan Mega yang jelas di bedakan oleh Emaknya."Mak, Jangan begitu dengan istriku, Ridho mohon Emak jaga ucapan juga." Ridho berjalan masuk, membuat Siti dan Harun terdiam karena terkejut.Siti terpaku melihat Ridho berdiri di ambang pintu ruang tengah, ia melihat Alika di sisi anaknya dan Alina ada dalam gendongan, dua cucunya itu menatapnya dalam keluguan."Eh cucu nenek di sini, ayo nenek suapi dulu. Kita makan soto dari tempat Nek Halimah." Siti menarik tubuh Alina dari gendongan dan mendudukannya di atas tikar. Sesekali Siti masih melihat Ridho, ia jadi salah tingkah mendapati anak lelakinya masih menatap lekat."Sini Alika, maem sama adek juga." Siti menarik tubuh kecil Alika."Duduk dho!" Harun mempersilahkan anak lelakinya duduk, ia juga merasa tak enak hati atas ucapan istrinya.Ridho duduk dan kembali melihat ke arah ibunya, ada rasa kecewa pada wanita yang melahirkannya itu sekarang. Mengapa Emak yang begitu ia hormati tega berucap bagai belati tepat menghulus di hatinya."Mak, apa yang Emak katakan pada Mega di tempat bude Imah?""Apa memang, Emak nggak bilang apa-apa. Ngadu apa istrimu itu?" Siti melirik tajam, Ridho tau betul watak Ibunya, wanita itu aka
Setelah hari itu Mega lebih banyak diam, dia bahkan tak ikut berkumpul saat saudara yang lain saling mengobrol di gubuk kecil belakang rumah mereka. Bukan tak mau, ia lebih memilih di rumah menulis apa yang menjadi hobinya.Namun hari ini ia di minta mbak Dewi ikut keluar rumah, "Emakku potong tiga ekor ayam kampung ga, kita buat rica ayam yang pedas sama-sama. Kamu yang bumbuin!" Begitu kalimat yang Dewi katakan, meski Mega sudah memberi alasan untuk menolak, tapi Dewi lebih pandai memaksa."Aku nggak minta tolong ya, aku maksa kamu dateng, kalau kamu nggak keluar, aku paksa!"Kalimat itu sukses membuat Mega kini duduk mengulek bumbu di cobek batu miliknya. Alika dan Alina duduk di atas tikar anyam milik Halimah, mereka sibuk memakan kerupuk dari dalam toples di hadapannya."nggak pernah kelihatan ga, sibuk apa di rumah?"Santi adik Harun bertanya, ia memang terbilang paling ingin tau di antara yang lain."Di rumah saja bulek, sibuk momong anak." Mega menjawab santai, ia masih mengu
Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah."Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, p
Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam."Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya."Nanti Ayah, nonton HP dulu." Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan."Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu."Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja."Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah."Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina"Halah, semua aturan dia buat sendiri, s
Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng."Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya."Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak." Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?""Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?""Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih kh
Aku terkejut, baki tempatku membawa gelas bergetar, mas Agus meminta pisah, padahal rumah tangga mereka baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba ia meminta pisah?"Sabar dulu lah gus, watak Siska memang begitu, kamu jangan terbawa emosi berlebih!" Emak memberi nasehat, meski kalimatnya terdengar memberikan Pembelaan sepihak."Emak nggak tau rasanya jadi aku mak. Coba Dho kamu jadi aku, setiap kali dia marah cucian baju nggak ada yang di sentuh, makan beli sendiri, dia bawa sendiri ke dalam kamar dan di kunci!"Kami terdiam, sebenarnya tak heran juga jika begitu watak mbak Siska. Setiap kali marah dengan Emak juga terkadang ucapan nya sangat kasar. Pernah ia membanting panci di dapur Emak hanya karena Emak tak juga selesai berdandan saat ia ingin mengajak pergi."Coba pak aku harus bagaimana? Ada saudaraku datang kalau dia nggak suka ya nggak bakal keluar kamar, bahkan sekedar menjabat tangan saja nggak mau, apa nggak buat malu suami kalau begitu?""Wataknya kan memang begitu gus, ya
Mega sedang menyapu halaman saat mobil merah milik Siska masuk ke penerangannya. Klaksonnya berbunyi nyaring berkali-kali, bahkan lampunya mengarah tepat ke wajahnya.Wanita angkuh itu keluar dan membanting pintu dengan keras, ia berjalan tak suka ke arah Mega, seolah ingin segera menerkam wanita berperawakan kurus itu."Mana Ridho?" Siska melirik ke dalam rumah, tangannya terlipat ke depan dengan tatapan meremehkan iparnyaMege menatap Siska yang sedang memperlihatkan keangkuhannya. "Ke sawah mbak, ada perlu apa dengan mas Ridho?""Bukan urusanmu aku mau apa sama Ridho!"Mega mengehela napas oelan, berusaha sabar dengan watak menyebalkan kakak iparnya. "Jika begitu mbak bisa duduk dulu sambil menunggu mas Ridho pulang dari sawah." Ia menawarkam diri, merasa tak sopan juga memiarkan tamu berlama-lama di luat rumah."Nggak perlu, aku nggak mau masuk rumahmu yang kotor itu. Heh Mega, mengadu apa kamu dengan suamiku?" Siska berkacak pinggang dan menatap tajam adik iparnya."Ngadu? Aku ng
Ridho hanya terdiam saat Mega bercerita dengan air mata mengalir di pipinya, bukan dia tidak percaya kata-kata istrinya, hanya saja begitu sulit menerima kenyataan kalimat itu datang dari kakaknya sendiri.Ridho berdiri dari tempatnya, tangannya mencengkeram seolah segala amarahnya berkumpul di sana. Tanpa berkata, Ridho berjalan meninggalkan rumahnya, di terangi lampu jalan ia melangkahkan kaki menuju rumah kedua orang tuanya.Mobil Siska masih terparkir di halaman rumah, tanda wanita yang bersetatus kakaknya itu masih ada di sana. Saat Ridho masuk, rumah begitu hening ia lalu menuju ke dalam kamar ibunya.Brak!Ridho membanting pintu kamar, menimbulkan suara nyaring di antara benturan hendel dan tembok rumah. Siska sedang tertidur bersama Emak di sampingnya."Bangun!" Ridho menyibak kasar selimut yang menutup tubuh Siska.Siska terperanjat, seketika dia terduduk memperhatikan siapa yang sudah menganggu nya."Ridho! Gila kamu." Hardiknya terbawa amarah."Keluar dari kamar!" Ridho men